Asa milenial dan generasi Z terhadap Pemilu 2024
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024, melalui rapat pleno terbuka rekapitulasi DPT tingkat nasional di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (2/7). Jumlah DPT mencapai 204.807.222 pemilih.
Hasil rekapitulasi DPT itu menunjukkan, mayoritas pemilih pada Pemilu 2024 adalah generasi Z—mereka yang lahir pada 1997-2012—dan milenial—lahir pada 1981-1996.
Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi DPT tersebut mengatakan, generasi milenial yang jadi pemilih di Pemilu 2024 sebanyak 66.822.386 (33.60%). Sedangkan pemilih dari generasi Z sebanyak 46.800.161 (22,85%).
Dalam Pemilu 2024, milenial dan generasi Z memiliki preferensi tertentu untuk memilih. Terutama soal masalah apa yang harus diselesaikan pemimpin di masa mendatang.
Harapan kaum muda
Siti Nuha, 28 tahun, mengatakan pemimpin mendatang harus memberikan perhatian khusus pada masalah pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesempatan memiliki rumah. Warga Kabupaten Tegal, Jawa Tengah yang bekerja di Kota Semarang itu mengatakan, sistem zonasi yang berlaku dalam dunia pendidikan bukannya mempermudah.
“Salah satu keinginan terbesar orang-orang kita kan pemerataan pendidikan, tapi makin ke sini makin ada saja gebrakan yang dibikin, tapi mempersulit,” kata Nuha kepada Alinea.id, Senin (24/7).
Memperoleh pekerjaan pun, dinilai Nuha, makin sulit. Apalagi memiliki rumah bagi generasi milenial. Sebab, harganya semakin mahal. Terlebih lagi, pendapatan kalangan muda sekadar upah minimum regional (UMR).
“How to saving money dengan harga rumah yang makin ke sini makin mahal?” ucapnya.
Keinginan memiliki hunian makin pelik, sebab kebanyakan orang berduit menjadikan rumah sebagai investasi, bukan ditinggali. Baginya, hal itu berdampak pula dengan semakin tingginya harga properti.
Komitmen pemberantasan korupsi juga menjadi pertimbangan Nuha sebelum memilih pemimpin. Dia mengaku jengkel dengan praktik lancung tersebut, apalagi ketika tahu ada kasus korupsi bantuan sosial Covid-19.
“Orang berusaha mati-matian biar bertahan hidup, terus duit (bansos) dikorupsi. Enggak habis pikir,” kata Nuha.
Rizaniar Itaqa Khalida, 27 tahun, menaruh perhatian terhadap isu kemiskinan dan lapangan pekerjaan. Warga Kota Bekasi, Jawa Barat itu berpendapat, seharusnya persoalan tadi bisa diatasi karena negara ini punya kekayaan alam yang melimpah.
“Namun, sayangnya saat ini Indonesia belum dapat memaksimalkan potensi-potensi yang ada tersebut,” kata Riza yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, Selasa (25/7).
Di samping itu, menurut Riza, isu HAM, ekonomi, hukum, pendidikan, dan pembangunan sumber daya manusia, juga menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dari calon pemimpin.
Isu-isu yang menjadi perhatian generasi milenial, ternyata tak jauh berbeda dengan generasi Z. Dhia Oktoriza Sativa, 25 tahun misalnya, menaruh perhatian pada isu HAM sebelum menentukan pilihannya nanti. Selain itu, ia pun memberi perhatian pada isu lingkungan hidup, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, KKN, redistribusi kekayaan, serta lingkungan kerja yang humanis.
“Berkomitmen dengan kebijakan yang berbasis sains dan keadilan sosial (juga menjadi pertimbangan),” kata pemuda yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah dan bekerja di toko sembako itu, Senin (24/7).
Hapid Ridwanudin, 22 tahun, menaruh perhatian dalam isu implementasi peraturan perundang-undangan. Ia ingin, regulasi yang berlaku diterapkan dengan benar dan penegakan hukum tak tebang pilih. Ia pun berharap, pemimpin mendatang bisa menstabilkan ekonomi dan berkomitmen memberantas korupsi.
“Korupsi harus dicegah karena praktik itu berkorelasi dengan kemiskinan dan ketimpangan,” ujar warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat itu, Senin (24/7).
Gentha Pradipta, 23 tahun, berharap calon presiden mendatang punya kesadaran dalam menjaga lingkungan hidup. Sebab, ada pembangunan yang berimbas pada deforestasi.
“Jadi, bukan cuma menebang, tapi menanam lagi,” kata Gentha yang berdomisili di Kota Depok, Jawa Barat, Senin (24/7).
Faisal Umar, 25 tahun, mengatakan, isu yang beririsan dengan generasinya adalah masalah kesejahteraan, hunian yang terjangkau, dan pelanggaran HAM masa lalu. “Cuma melihat dari yang sebelumnya jadi skeptis kalau mereka (para calon presiden) bawa isu itu,” kata warga Kota Tangerang, Banten ini, Senin (24/7).
Harapan dari milenial dan generasi Z tadi tampaknya sejalan dengan hasil jajak pendapat Indikator Politik Indonesia bertajuk “Kepemimpinan Nasional dan Dinamika Elektoral Jelang 2024 di Mata Generasi Muda” yang dirilis pada Minggu (23/7).
Survei yang menyasar generasi interwar (lahir 1918 hingga 1943), baby bommers (lahir 1944-1964), generasi X (1965-1980), milenial, dan generasi Z menunjukkan, pengendalian harga-harga kebutuhan pokok (27.7%), menciptakan lapangan kerja (21,2%), mengurangi kemiskinan (11,8%), pemberantasan korupsi (10,8%), dan keamanan atau ketertiban (5,5%) adalah lima teratas masalah mendesak yang perlu diselesaikan pemimpin mendatang.
Generasi Z lebih banyak menyampaikan masalah penciptaan lapangan kerja atau mengurangi pengangguran, dibanding generasi lainnya, yakni 24,2%. Masalah lainnya yang jadi perhatian utama generasi Z adalah pemberantasan korupsi (13,2%) dan keamanan atau ketertiban (11,3%).
Kriteria memilih calon
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, penduduk Indonesia yang berada dalam kelompok generasi milenial sebanyak 69.699.972 orang. Sedangkan generasi Z sebanyak 71.509.082 orang.
<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/14543096"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>
Sensus penduduk BPS tahun 2020 mencatat, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah penduduk generasi Z paling banyak, yakni 12.965.399 orang. Disusul Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten. Milenial pun terbanyak di Jawa Barat, dengan jumlah 12.653.335 orang.
<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/14543261"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>
Soal capres, Nuha mengaku belum menentukan pilihan. Ia masih ingin mempelajari kinerja bakal calon yang ada. Sebagai warga Jawa Tengah, ia tak terpengaruh dengan sosok capres PDI-P sekaligus Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang banyak dipuji. Alasannya, dalam mengentaskan kemiskinan, Ganjar masih memiliki pekerjaan rumah.
Pada Maret 2023, BPS mendata di Jawa Tengah ada 3,79 juta penduduk miskin atau 10,77% dari total penduduk. “Di (Kabupaten) Tegal saja masih ada daerah yang (infrastruktur) listrik masih kayak gitu (belum optimal),” ujar Nuha.
Sementara pertimbangan untuk capres Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan Prabowo Subianto adalah masa lalu yang diterpa isu HAM. Sedangkan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, lanjut Nuha, ada jejak politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Hapid bakal memilih presiden, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan sisi agama dari para kontestan. Pertimbangan itu dilakukan tak lepas dari latar belakangnya sebagai santri di Kota Serang, Banten.
“Kalau yang diharapkan ke depannya sih pemimpin yang bisa lebih mementingkan rakyat. Maksudnya, kebijakan-kebijakan yang sesudah Presiden Joko Widodo ini, inginnya lebih bagus dan lebih fokus ke masyarakat,” ujar Hapid.
Adapun untuk caleg, Nuha mengaku tidak terlalu mengikuti perkembangannya, baik DPR maupun DPRD. “Yang familiar paling kayak artis-artis,” ucapnya.
Untuk partai politik, Nuha mengatakan, semua partai sama saja dan akhirnya akan mengendalikan setiap kandidat.
“Misal, kita lihat ada satu orang yang okelah dia punya bibit jadi pemimpin. Cuma kan dia part of partai politik dan dia punya atasan di partai itu. Ujung-ujungnya disetir lagi,” ujar Nuha.
Sedangkan Riza mengaku, sampai saat ini belum tahu siapa saja caleg di wilayah tempat tinggalnya. Akan tetapi, terhadap partai politik, Riza berharap dapat melahirkan sosok pemimpin yang memahami keinginan dan kebutuhan rakyat.
Di sisi lain, Oktoriza mengatakan, ada beberapa pertimbangan sebelum menentukan pilihannya. Poin utama yang menjadi pertimbangannya adalah kontestan memiliki rekam jejak bebas dari KKN. Lainnya, tidak mudah tersinggung dan terbuka terhadap kritik dalam bentuk apa pun.
Sebagai golongan muda, Oktoriza menentang politik identitas dalam pemilu. “Peraturan yang ketat untuk mencegah kampanye politik identitas di Indonesia harus dibuat dan ditegakkan,” ucap Oktoriza.
Lebih lanjut, Oktoriza berpandangan, politik uang dalam hajat demokrasi juga sama buruknya dengan politik identitas. Baginya, politik uang merupakan salah satu biang kerok, sehingga pejabat terpilih ada yang melakukan korupsi. Ditanya soal partai politik, Oktoriza menunjukkan sikap pesimisme. Ia mengaku tak memiliki harapan apa pun terhadap partai politik.
Bicara pilihan capres, Gentha mengatakan, harus ada komitmen memberantas korupsi dan perhatian terhadap HAM. Terkait pileg, ia malas untuk mempelajari sepak terjang kandidat lantaran terlalu banyak. Serupa, Faisal pun akan memasukkan kontestan dalam Pemilu 2024 ke dalam daftar hitam, jika melakukan politik uang dan identitas.
Dihubungi terpisah, pakar komunikasi politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad mengatakan, milenial dan generasi Z memegang porsi dominan, sehingga harus “dikelola” dengan baik.
Nyarwi menjelaskan, ketika milenial dan generasi Z menaruh perhatian terhadap isu korupsi, lingkungan, dan lapangan kerja, maka para kandidat di Pemilu 2024 perlu meresponsnya dengan menawarkan beragam solusi.
“Bahkan keterlibatan gen Z dan milenial dalam pembangunan ke depannya dalam mengelola Indonesia, itu kayak apa. Itu juga harus direspons,” ujar Nyarwi, Senin (24/7).
Milenial dan generasi Z, menurut Nyarwi, bisa saja memiliki isu yang berbeda-beda berdasarkan kondisi di daerah tempat tinggalnya. Selain isu nasional.
Kontestan Pemilu 2024, kata Nyarwi, juga perlu menjelaskan sejauh mana peran milenial dan generasi Z dalam menentukan kebijakan politik. Alasannya, selama ini kebijakan politik hanya melibatkan elite pusat maupun daerah.
“Dan tentunya, jangan hanya menempatkan mereka sebagai tenaga kerja, tapi seperti apa peluangnya menjadi pelaku aktif. Bisa mengakses sumber daya ekonomi dan politik yang ada,” ujarnya.
Meski begitu, Nyarwi memandang, milenial dan generasi Z tak menaruh perhatian khusus dalam pileg. Padahal, parlemen tak kalah penting.
“Parlemen ini kan juga ada anggota-anggota DPR dari partai, mengajukan kebijakan-kebijakan, termasuk arah-arah kebijakan yang terkait isu yang menjadi concern mereka,” katanya.
Menurutnya, penyebab milenial dan generasi Z tak terlalu menaruh perhatian terhadap pileg kemungkinan karena kurangnya literasi politik dan pengetahuan kelembagaan politik.
“Padahal, keterlibatan dua generasi tersebut dalam mengawal pileg, baik DPR maupun DPRD, sangat penting,” kata dia.