close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon presiden Prabowo Subianto (kiri) bersama Ganjar Pranowo (tengah) dan Anies Baswedan (kanan). Foto dokumentasi.
icon caption
Calon presiden Prabowo Subianto (kiri) bersama Ganjar Pranowo (tengah) dan Anies Baswedan (kanan). Foto dokumentasi.
Politik
Jumat, 29 Desember 2023 08:35

Asal bukan Prabowo "bising" di Twitter, seberapa besar dampaknya?

Fenomena ini pernah muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kala itu, menyasar Basuki Tjahaja Purnama dengan gerakan asal bukan Ahok.
swipe

Gerakan "asal bukan Prabowo" atau "asal bukan 02", yang merujuk kepada pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menggema di Twitter (X). Berdasarkan pantauan Alinea.id, seruan ini kali pertama mengemuka pada Rabu (27/12) dan menjadi topik populer (trending topic), Kamis (28/12).

"Asalkan bukan Prabowo! Silakan RT (retweet) yang setuju," twit akun @SoeTjenMarching, penulis novel Mati Bertahun yang Lalu. Kicauan itu disukai lebih dari 5.000 akun.

Cuitan tersebut pun dikomentari Ardi Wirdamulia, politikus Partai Demokrat, yang merupakan salah satu pendukung Prabowo-Gibran. "Menurut gue, enggak usah bilang asal bukan Prabowo. Bilang saja saya pilih Anies atau saya pilih Ganjar. Susah? Takut enggak ditemenin sama pendukung 01 (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, red) atau 03 (Ganjar Pranowo-Mahfud MD, red) kalau ngelihatin warna? Lemah!"

Jika ditinjau lebih jauh, akun Twitter @ainunnajib juga sempat memunculkan isu ini, 16 Desember silam. Namun, diolah dalam bentuk jajak pendapat (polling) dan diikuti 30.388 warganet. Hasilnya, Sebanyak 63% netizen memilih asal bukan Prabowo, lalu asal bukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 27%, asal bukan Anies 6%, dan asal bukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 4%.

Untuk diketahui, berdasarkan laporan We Are Social pada Oktober 2023, ada 27,5 juta pengguna Twitter di Indonesia. Itu merupakan tertinggi keempat dunia setelah Amerika Serikat (108,55 juta), Jepang (74,1 juta), dan India (30,3 juta).

Sementara itu, hasil survei Indikator Politik Indonesia periode 23-24 Desember 2023 mengakui peran media sosial sebagai sumber informasi tentang sosial, politik, dan pemerintahan bagi masyarakat. Namun, porsi Twitter hanya 6,7%, terendah dibandingkan Facebook (29,7%), TikTok (23,9%), YouTube (23,1%), Instagram (18%), dan WhatsApp (7,4%).

Riset tersebut melibatkan 1.217 responden melalui sambungan telepon dengan metode random digit dialing atau RDD (265 responden) dan double sampling atau DS (952 responden). Adapun toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.

Bukan fenomena baru

Gerakan "asal bukan Prabowo" bukanlah fenomena baru. Ia pernah muncul pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 dan menyasar petahana kala itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan "Abah" atau "asal bukan Ahok".

Ahok menilai, gerakan tersebut mula-mula didorong Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) lantaran menentangnya menjadi gubernur Jakarta seiring menangnya Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kemudian, berlanjut dengan manuver Forum Ketua Mitra RT/RW se-Jakarta yang menggalang pengumpulan 3 juta KTP di area car free day, Bundaran Hotel Indonesia, pada 7 Agustus 2016.

Suara-suara ini berlanjut pada Pilkada 2017. Bahkan, fenomena tersebut sempat direkam Lembaga Media Survei Nasional (Median) ketika melakukan riset pada 21-27 Februari 2017 atau jelang putaran kedua tentang alasan responden memilih calon gubernur (cagub) Jakarta.

Penelitian itu menyebutkan, sebanyak 25,9% dari total responden yang memilih Anies-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI 2017 dengan alasan asal bukan Ahok. Dalam riset tersebut, Anies-Sandi meraih 46,3%, disusul Ahok-Djarot Saiful Hidayat 39,7%, dan 14% lainnya belum menentukan pilihan (undecided voters).

Survei ini digelar Median dengan melibatkan 800 warga Jakarta sebagai responden, yang dipilih melalui teknik multistage random sampling. Margin of error sekitar 3,4% pada tingkat kepercayaan 95%.

Diketahui, Ahok-Djarot unggul pada putaran pertama dengan 2.364.577 suara (42,99%), disusul Anies-Sandi 2.197.333 suara (39,95%), dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni 937.955 suara (17,06%). Namun, petahana gagal memenangi kontestasi karena hanya meraih 2.350.366 suara (42,04%), sedangan Anies-Sandi meraup 3.240.987 suara (57,96%).

Seperti apa dampaknya?

Direktur Eksekutif Demos Institute, Ade Reza Hariyadi, memaklumi apabila gerakan "asal bukan" kembali muncul dalam arena kontestasi politik di Tanah Air. Menurutnya, kubu Anies maupun Ganjar memiliki kepentingan pragmatis yang sama dengan wacana tersebut, yakni tidak didukung kekuasaan yang efektif atau Jokowi pada Pilpres 2024, dan bisa dimanfaatkan pada putaran kedua.

"Sejauh mana efektivitasnya? Akan kita uji karena setiap periode pilpres, misalnya isu tentang [pelanggaran] HAM [oleh Prabowo], selalu diproduksi dan tidak punya efek elektoral secara signifikan. Daya dukung kekuasaan, saya pikir, lebih realistis [dimainkan] daripada mereproduksi isu-isu HAM yang menjadi isu klasik," ucapnya kepada Alinea.id.

"Terkait daya dukung kekuasaan, ini yang mungkin all out menggunakannya adalah kubu Anies daripada kubu Ganjar karena penguasa sekarang, kan, petugas partainya PDI Perjuangan. Kalau Ganjar menggunakan isu itu, seperti 'menepuk air didulang, terkena muka sendiri'," ujarnya.

Menurut Reza, gerakan ini takkan bisa seefektif Pilkada 2017 di tataran elite karena konfigurasi partai politik (parpol) pengusung Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud tidak memiliki ikatan ideologi yang kuat. "Sehingga, sangat mungkin [dukungan parpol pengusung yang kalah dalam putaran pertama] berdiaspora."

"Misalnya, Anies kalah, tidak mungkin [parpol pengusung] bermigrasi ke kubu Ganjar karena karakteristik partai-partai [pengusung] Anies cukup plural, tidak dalam frame ideologis sama. Bisa jadi PKS lebih nyaman [bergabung] dengan Prabowo daripada PDIP [yang mengusung Ganjar]. Bisa jugas NasDem begitu. Jadi, tidak bisa dipastikan terjadi migrasi yang utuh," tuturnya. "Kedua, adanya kesenjangan antara orientasi [pemilih dalam] pilpres dengan pileg (pemilihan legislatif)".

Di tingkat akar rumput (grassroots) atau pemilih, lanjut Reza, bisa saja optimal mengingat terdapat 2 sentimen yang mendasari pemilih menjagokan Anies atau Ganjar pada Pilpres 2024. Pertama, menentang dinasti politik Jokowi dan kedua, faktor agama yang merupakan residu Pemilu 2014 dan 2019. Masyarakat yang memilih kandidat berdasarkan sentimen agama pada pilpres sebelumnya mendukung Prabowo, tetapi kini ada di kubu Anies. 

Anies maupun Ganjar harus menggunakan pendekatan (approachment) berbeda agar dapat mengoptimalkan gerakan "asal bukan Prabowo" sehingga mendapatkan limpahan suara signifikan pada putaran kedua. Ganjar, misalnya, mesti memiliki kiat efektif dalam merangkul kelompok Islam, khususnya yang memilih karena preferensi agama.

"Ini menjadi tugas bagi Ganjar untuk bisa meraih simpati dari kelompok yang memakai preferensi agama jika Anies tidak lolos di putaran pertama. Mereka harus bekerja keras untuk itu. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) bisa menjembatani ini karena merupakan partai Islam tradisional," jelasnya.

"Kontradiksi antara kubu Ganjar dengan kubu penguasa juga harus dipertegas sehingga tidak ada kemungkinan rekonsiliasi politik mengingat sikap PDIP sampai hari ini masih tegak lurus bersama Jokowi. Sementara, anak Jokowi jadi cawapres Prabowo, ada ambiguitas. Jadi, ada kemungkinan akan rekonsiliasi dengan Prabowo. Kecuali ada kontradiksi dengan melemahnya dukungan politik PDIP terhadap pemerintahan Jokowi semakin terbuka. Jika ini terjadi, maka dukungan untuk meraih pemilih oleh Ganjar menguat," sambungnya.

Bagi Reza, tim sukses (timses) Anies dan Ganjar pun harus bisa merasionalisasikan alasan tidak memilih Prabowo jika memainkan isu ini. Apabila tidak, bisa menjadi bumerang lantaran dianggap publik belum dewasa dalam berkontestasi politik. Apalagi, pemilih pada Pemilu 2024 didominasi kelompok milenial (kelahiran tahun 1980-1996) dan generasi Z (1996-2012), berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), mencapai 115,622 juta dari total 204,8 juta pemilih.

"Pemilih dari generasi muda, milenial dan gen Z, cenderung rasional, kritis, pencermatan terhadap perkembangan politik sangat intens, dan well informerd. Mereka menunggu informasi yang semakin kaya dan lengkap sehingga mengambil keputusan di last minute. Ini tidak terjadi di 2014 dan 2019 lalu. Jadi, kalangan pemilih ini masih menunggu di detik-detik terakhir," urainya. "Dengan demikian, situasi saat ini masih dinamis dan semua isu punya kesempatan yang sama untuk memengaruhi publik sebagai pemilih. Jadi, angka-angka statistik yang dihasilkan survei sebenarnya masih sangat volatile."

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan