close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil berfoto bersama eks Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. /Foto tangkapan layar Instagram @ridwankamil
icon caption
Calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil berfoto bersama eks Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. /Foto tangkapan layar Instagram @ridwankamil
Politik
Sabtu, 14 September 2024 12:05

Bahaya politik identitas dalam gerakan anti-RK di Pilgub DKI

Elite-elite politik diminta tak memainkan politik identitas di Pilgub DKI.
swipe

Gelombang penolakan terus mengalir terhadap calon gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil (RK). Teranyar, pria yang akrab disapa Kang Emil itu ditolak saat berkunjung ke Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Kala itu, ada warga yang murka lantaran RK bikin acara tanpa izin. 

RK sudah mengklarifikasi kegaduhan yang terjadi di Jatinegara itu. Ia menyebut yang terjadi hanya kesalahpahaman. Ia menegaskan tak ada penolakan sama sekali dari warga setempat. Apalagi, ia diundang oleh Badan Musyawarah (Bamus) Betawi dalam acara tersebut. 

"Karena kurang koordinasi jadi gitu. Kan bukan ke saya aja (protesnya). Kurang lebih gitu," kata RK kepada wartawan usai berkunjung ke kediaman Sutiyoso di Cibubur, Jawa Barat, Kamis (12/9). 

Pekan lalu, RK juga mendapatkan intimidasi saat berziarah ke makam Mbah Priok di Jakarta Utara. Saat mengisi podium, RK disoraki dan diteriaki. Ada pula yang meneriakkan nama Anies Baswedan, eks Gubernur DKI Jakarta. 

Penolakan warga DKI juga terekam dalam vandalisme anti-RK. Di pagar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, coretan bertuliskan "Anti Ridwan Kamil" terpampang. Spanduk-spanduk bernada serupa juga dibentangkan di berbagai titik di ibu kota. 

Musikus Betawi kontemporer Muhammad Amrullah menyebut penolakan RK terjadi karena banyak faktor. Ia mencontohkan perilaku RK di masa lalu yang pernah dianggap pernah menyindir Jakarta hingga menghina klub sepak bola Persija. 

"Kalau gue secara pribadi, sebagai orang Betawi atau Jakarta dan juga suporter Persija, menolak keras RK jadi Gubernur Jakarta. Tidak ada RK untuk Jakarta. Dulu menghina, sekarang ngemis suara. Sorry ye," ujar pria yang populer dengan nama Kojek Jakarta itu. 

Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menilai gelombang penolakan terhadap RK tak akan membesar menjadi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ia meyakini isu kesukuan Betawi tidak cukup kuat menggoyang RK sebagaimana isu SARA menggerus keterpilihan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI 2017. 

"Suku Betawi itu sudah minoritas di Jakarta. Hanya simbol politiknya yang terlihat di Jakarta, yaitu kesenian ondel-ondel. Adanya Sentra Kebudayaan Betawi di Setu Babakan dan juga adanya Bamus Betawi. Tapi, secara jumlah, cuma sedikit," ucap Asep kepada Alinea.id, Kamis (12/9).

Asep berpendapat isu kesukuan tak akan dijadikan komoditas politik lantaran tak satu pun kandidat gubernur yang asli Betawi. Rano Karno yang akrab disapa si Doel, misalnya, hanya populer sebagai orang Betawi di layar kaca. Padahal, Rano keturunan Minangkabau. 

"Tapi isu pribumi seksi bagi suatu instrumen politik. Rano memang sukses mencitrakan dirinya sebagai anak Betawi. Tapi, Rano itu bukan orang Betawi. Jadi, ini hanya isu simbolik yang enggak signifikan pengaruhnya," ucapnya.

Ketimbang isu identitas, menurut Asep, para kandidat harus fokus menyerap aspirasi kaum miskin kota. RK dan kawan-kawan diharapkan siap menghadirkan solusi untuk pemukiman layak huni, pendidikan, dan lapangan kerja. 

"Tapi, untuk memainkan isu ini (secara bijak). Jadi, bukan menawarkan sentimen seperti dulu pada Pilkada DKI 2017. Tapi, lebih kepada solusi. Jumlah rakyat miskin kota itu banyak sekali di Jakarta Utara, dan Jakarta Barat," ucap Asep.

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan sepakat isu kesukuan Betawi tidak bakal kuat di Pilgub DKI. Apalagi, penduduk DKI beragam dan Betawi tak lagi kelompok yang mayoritas di Jakarta.

"Karena DKI ini, walaupun penduduk asli Betawi, secara keseluruhan sebenarnya sangat beragam. Bahkan, menurut survei itu, sudah lebih banyak suku Jawa," jelas Bakir.

Kendati demikian, Bakir menyarankan agar elite politik tidak kebablasan memainkan isu pribumi yang bisa memicu ketegangan antar pendukung. Konflik berbasis SARA akan memicu polarisasi dan merugikan masyarakat.  

"Kalau isu kesukuan dijadikan isu pemenangan di DKI Jakarta saya kira bisa blunder. Karena sekali lagi DKI ini masyarakatnya plural. Jadi tidak homogen berbeda seperti di Jawa Timur yang jawanya dominan. Belajar dari kasus Pilkada 2017 itu kan ada penyulutnya," ucap Bakir.

Bakir juga menyarankan agar warga DKI Jakarta tidak mudah terjebak bujuk rayu elite untuk memainkan politik identitas Pilgub DKI Jakarta. Di lain sisi, ia berharap para kontestan juga tidak main-main dengan isu SARA. 

"Yang harus dikedepankan (saat kandidat) mempromosikan diri adalah langkah-langkah konkret apa yang bisa dikerjakan untuk Jakarta," ucap Bakir.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan