close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) menyalami kader dan simpatisan pada acara
icon caption
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) menyalami kader dan simpatisan pada acara
Politik
Rabu, 04 April 2018 10:13

Balada kegaduhan Prabowo, tiru strategi Trump

Prabowo kembali membuat gaduh dengan melontarkan pernyataan kontroversial dalam safari politiknya di Depok. Apa motif ia sebenarnya?
swipe

Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto baru-baru ini kembali melempar opini yang memicu kegaduhan dalam kancah politik di Indonesia. Sebelumnya ia sempat meramal Indonesia tengah di fase senjakala dan tamat pada 2030, yang kemudian jadi viral.

Tidak hanya itu, ia mengaku menyesal tidak melakukan kudeta pada 1998 silam berlanjut ke pernyataan bahwa 80% kekayaan negara dikuasai oleh 1% golongan. Pernyataan lainnya, pada kampanye pemenangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Depok, Jawa Barat ia berujar kapok pada elit di pemerintahan termasuk partai politik. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta juga tidak lepas mendapatkan sindiran, dengan menyatakan penyesalannya telah menunjuk Ahok sebagai kandidat DKI-2, pada pilkada DKI Jakarta 2012 silam. 

Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari mengatakan apa yang dilakukan Prabowo meniru strategi perang Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Sebelas dua belas, mereka sama mempertentangkan kalangan bawah dan atas, dan "menjual" persoalan kesenjangan.

Selanjutnya, mencoba mereproduksi rasa takut, seperti di Amerika yang menjadikan ancaman asing sebagai ketakutan bersama. Donald Trump dalam kampanyenya kerap menjadikan China sebagai musuh yang harus diwaspadai dan upaya ini berhasil.

“Awas ada ancaman dari Islam, awas tenaga kerja imigran. Jadi menurut saya agak mirip (dengan Prabowo), yang disebarkan adalah pesimisme dan ketakutan,” katanya. 

Rupanya di Negeri Paman Sam, pesimisme dan ketakutan disambut baik oleh warga setempat. Inilah yang terus dikapitalisasi Trump agar masyarakat AS menaruh kepercayaan padanya. Di Indonesia, pola serupa diterapkan Prabowo, agar suara mayoritas konstituen bisa terfokus pasa Prabowo, alih-alih Jokowi.

Pesan utama yang disampaikan, lanjutnya, Indonesia saat ini dan ke depannya tidak akan baik-baik saja, jika bukan Prabowo yang jadi pemimpinnya.

Meskipun ada sedikit perbedaan antara AS dan Indonesia namun Qodari melihat ada kemiripan pola strategi. Pertama, berbicara melalui media sosial (medsos). Sebab persebaran isu-isu sensitif begitu mudah direproduksi di kanal ini, mengingat karakter reaktif warganet kita.

Kedua, isu pertentangan merupakan persoalan global, tidak hanya di Amerika tapi juga di Indonesia. Jika di AS isu yang berkembang adalah ketakutan pada islam, maka di Indonesia ketakutan pada Barat yang dikapitalisasi.

“Jadi saling takut menakuti, sehingga politik ketakutan dan pesimisme itu dimainkan untuk mengganti pemimpin dengan calon yang lebih kuat,” katanya di Harris Hotel, Jakarta. 

Meskipun begitu, menurutnya strategi yang dilakukan Prabowo belum tentu efektif atau tidak. Pihaknya akan melihat perkembangan opini publik dan survei lebih lanjut.

Baginya yang menarik, Donald Trump hanya melontarkan pepesan kosong, kebenaran pesan tak penting sepanjang ia didengar orang. Semakin kontroversial pernyataan yang ia gulirkan, maka akan semakin bagus upaya mendongkrak elektabilitasnya. Sebab pro kontra yang tumbuh di diskursus publik, lambat laun bisa mengubah cara pandang seseorang.

Sementara itu, pengamat sosial politik Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, opini Prabowo bisa menimbulkan penilaian negatif oleh masyarakat terhadap sosoknya. Terlebih jika diukur dengan statistik, lebih banyak masyarakat yang kontra terhadap pernyataan Prabowo itu. 

Jika hal tersebut dilakukan terus menerus, maka krisis kepercayaan pada Prabowo akan makin menguat. Ujungnya ini bisa membahayakan elektabilitas Prabowo di pilpres mendatang.

“Nah, sentimennya negatif. kalau ini kemudian terus bergulir menjadi perbincangan publik kemudian dikapitalisasi oleh lawan politik Prabowo, ini bisa berdampak pada peluang dia pada pilpres 2019,” katanya.

Blunder Prabowo menurut Karyono tak lebih merupakan pemanasan untuk menarik perhatian jelang perhelatan pilpres. Namun demikian, ia menyayangkan tokoh sekelas Prabowo melontarkan narasi yang bertendensi sarkasme tanpa disertai data yang akurat.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan