close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kepengurusan gemuk Golkar yang disusun Airlangga Hartarto menyimpan potensi konflik. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Kepengurusan gemuk Golkar yang disusun Airlangga Hartarto menyimpan potensi konflik. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Rabu, 29 Januari 2020 17:59

Bara dalam sekam di 'DPP Airlangga'

Hanya empat loyalis Bambang Soesatyo yang ditunjuk menjadi pengurus di DPP Golkar oleh Airlangga.
swipe

Bagi Tim 9, konflik internal di Partai Golkar belum usai. Tim itu menganggap susunan kepengurusan baru Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar di bawah Airlangga Hartarto tidak mencerminkan semangat rekonsiliasi. Itu setidaknya terlihat dari mayoritas jabatan strategis yang dikuasai kader-kader pro-Airlangga.

"Persaingan munas (musyawarah nasional) kan selesai dengan dia (Airlangga) menang. Tetapi, sebagai pemimpin kan dia harus antisipasi apakah kebijakan yang dia keluarkan itu memicu perpecahan atau membuat Golkar solid," kata juru bicara Tim 9 Viktus Murin saat berbincang dengan Alinea.id di Jakarta, Senin (27/1).

Tim 9 dibentuk sebelum Munas X Golkar dihelat di Jakarta, Desember 2019 lalu. Tim itu umumnya beranggotakan para loyalis Bambang Soesatyo (Bamsoet). Sebelum perhelatan munas, Bamsoet merupakan salah satu kader terkuat pesaing Airlangga untuk posisi ketua umum. 

Akan tetapi, Bamsoet bersama sejumlah calon lainnya memutuskan mengundurkan diri dari pencalonan. Keputusan mundur itu diumumkan setelah Bamsoet bertemu dengan Airlangga di Kemenko Maritim, kantor Luhut Binsar Pandjaitan. 

Bamsoet, kata Viktus, sudah mengantongi kesepakatan politik dengan Airlangga di pertemuan itu. Salah satunya ialah struktur kepengurusan yang bakal melibatkan para loyalis Ketua MPR itu. Namun, saat susunan kepengurusan baru diumumkan di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (15/1) lalu, Tim 9 kecele. 

Dari sekitar seratus loyalis Bamsoet, menurut Viktus, hanya empat orang yang namanya tercantum dalam kepengurusan Golkar periode 2019-2024, yakni Nusron Wahid, Robert J Kardinal, M Misbakhun, dan Junaidi Elvis. 

"Jadi, tidak menunjukkan komitmen rekonsiliasi dan cenderung melecehkan komitmen itu. Bayangkan dari seratus lebih tim Pak Bamsoet, hanya empat yang ditarik," kata mantan Wasekjen Golkar itu. 

Total ada 107 kader yang didapuk Airlangga sebagai pejabat strategis di partai berlambang beringin itu. Pada periode keduanya, Airlangga juga menunjuk 11 wakil ketua umum untuk mendampinginya. Jabatan waketum tergolong baru di Golkar. 

Salah satu kursi waketum kini diduduki Bamsoet. Sisanya dibagikan kepada kader-kader pro-Airlangga, semisal Azis Syamsuddin, Melchias Marcus Mekeng, Agus Gumiwang Kartasasmita, Ahmad Doli Kurnia, Hetifah Sjaifudian, dan Rizal Mallarangeng.

Jika dibanding susunan kepengurusan lama, struktur kepengurusan baru Golkar sebenarnya lebih ramping. Pada 2018 misalnya, Airlangga menunjuk sebanyak 251 orang untuk pengurus DPP. Artinya, ada penurunan jumlah pengurus hingga 144 orang. 

Diakui Viktus, jumlah kepengurusan ini sebenarnya lebih kecil jika dibandingan dengan kepengurusan Golkar pada era Setya Novanto. Bedanya, lanjut Viktus, Novanto mengakomodasi semua faksi-faksi dalam internal partai.

"Kepengurusan Golkar yang gemuk ada zaman Setya Novanto, tapi dia merangkul semua elemen atau faksi-faksi dalam Golkar. Dia menghimpun semua energi menjadi energi kolektif," kata Viktus. 

Tim 9 juga menyoroti masuknya nama anak Airlangga, Ravindra dan Adanti Kurnia dalam struktur kepengurusan baru Golkar. Menurut Viktus, tidak sepatutnya Airlangga memasukan kerabat dekat dalam pengurus inti Golkar. 

Apalagi, Airlangga juga tidak memasukan kader-kader dari organisasi-organisasi sayap Golkar, semisal Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). 

"Bahkan, ada yang baru menjadi kader menjadi pengurus harian. Ini kan tidak patut. Dari konteks itu, saya bisa menyimpulkan bahwa Airlangga bukan seorang pemimpin yang patut diteladani. Dia hanya seorang penguasa partai yang merasa bisa melakukan apa saja," tutur Viktus.

Wakil Koordinator Bidang (Wakorbid) Pratama Partai Golkar Bambang Soesatyo (tengah) menyampaikan keterangan usai menyerahkan berkas pendaftaran bakal calon ketua umum (caketum) Partai Golkar di DPP Partai Golkar, Jakarta, Senin (2/12/2019). Foto Antara/Puspa Perwitasari

Pejabat strategis membengkak

Saat mengumumkan kepengurusan baru, Airlangga mengatakan, ia dan para formatur telah memperhatikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Kepatuhan itu terlihat dari jumlah pengurus perempuan yang mencapai 30%.

Airlangga mengaku, ia dan para formatur juga sepakat memasukkan kader-kader dari kalangan milenial, seperti Putri Komarudin, Dyah Roro, Christina Aryani. "Kepengurusan ini juga inklusif, sudah mengakomodir semua elemen, baik perempuan, milenial, dan dari unsur-unsur yang lain," kata Airlangga.

Wakil Sekjen Golkar Sebastian Salang mengatakan, komposisi pengurus di DPP merupakan hak preogratif ketua umum dan para formatur. Menurutnya, wajar jika tidak semua kader potensial masuk dalam struktur kepengurusan baru.

"Apa yang diputuskan, itulah kepengurusan saat ini. Soal apakah semua terwakili, tentu saja tidak terwakili semua karena jumlah kepengurusan terbatas dan kader yang mau jadi pengurus banyak sekali," kata Sebastian kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (27/1).

Menurutnya, kader-kader yang tak diakomodasi dalam kepengurusan harian akan diarahkan untuk menjabat posisi lainnya di partai. "Kepengurusan ini kan untuk harian. Di luar itu, masih banyak badan dan lembaga. Itu pasti akan diisi," jelasnya.

Meskipun lebih ringkas, kepengurusan baru Golkar diwarnai peningkatan jumlah pejabat strategis. Selain 11 waketum, Airlangga juga menambah jumlah wasekjen dari 13 orang pada 2018 menjadi 35 orang pada periode 2019-2024. 

Airlangga juga menunjuk 18 wakil bendahara umum untuk mendampingi Dito Ganindito. Dito menggantikan Robert Kardinal sebagai bendahara umum. Robert tercatat sebagai salah satu loyalis Bamsoet yang rajin mengkritik kepemimpinan Airlangga sebelum munas. 

Jumlah pengurus harian di Golkar juga terbilang jumbo jika dibandingkan dengan jumlah pengurus di DPP parpol-parpol pemenang pemilu lainnya.  

Di Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), misalnya, Megawati Soekarnoputri hanya menunjuk 27 pengurus harian untuk mendampinginya mengelola partai. Padahal, PDI-P kembali berjaya di Pileg 2019 dengan meraup suara terbanyak atau sebesar 19.33% dari total suara nasional. 

Tanpa menghitung anggota Dewan Syura, PKB yang berada di urutan keempat pemenang Pileg 2019 di bawah Golkar hanya mengalokasikan 62 kursi untuk pengurus harian. Tak jauh beda, NasDem hanya mengalokasikan 51 kursi untuk pengurus harian. 

Jumlah pengurus harian Golkar hanya terpaut sedikit jika dibandingkan dengan Gerindra. Partai peraup suara terbesar kedua di Pileg 2019 itu memiliki sekitar 130 pengurus harian. 

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kanan) dan Ketua Panitia Melchias Marcus Mekeng (kiri) membuka secara resmi Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12/2019). Foto Antara/Muhammad Adimaja

Bara dalam sekam

Pengamat komunikasi politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto menilai jumlah pengurus Golkar memang relatif gemuk jika dibandingkan parpol lainnya. Namun demikian, ia menyebut, Airlangga punya hitung-hitungan strategis dalam membentuk kepengurusan. 

"Jumlah itu sangat bergantung pada basis kebutuhan Pak Airlangga. Jadi, soal gemuk atau tidak sangat relatif. Itu akan sangat bergantung pada apakah efektif atau tidak," kata Gun Gun saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (27/1).

Menurut Gun Gun, tiga faktor yang harus diperhatikan untuk memastikan kepengurusan parpol efektif. Pertama, kejelasan deskripsi jabatan. Kedua, koordinasi lintas sektoral harus kuat. 

Terakhir, lanjut Gun Gun, program yang dicanangkan harus konkret. "Ketiga hal ini menyumbang efektif atau tidaknya 107 orang yang ada dalam kepengurusan Golkar," imbuh Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute itu.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Menyoal rekonsiliasi yang diklaim tak tercapai, Gun Gun menyarankan agar Airlangga segera berkomunikasi dengan faksi-faksi di internal Golkar yang merasa ditinggalkan. Jika dibiarkan, ia khawatir, faksionalitas di Golkar bakal jadi bom waktu. 

"Akan menjadi smoldering cricis namanya. Jadi, potensi krisisnya sudah diketahui, tapi kemudian, kalau dibiarkan, perlahan tapi pasti, akan menjadi besar. Padahal, potensi krisis sudah teridentifiksasi. Artinya, menyimpan bara dalam sekam," kata dia.

Penelilti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai wajar jumlah pengurus di Golkar lebih banyak ketimbang PDI-P. Pasalnya, Airlangga menjalankan politik akomodatif dalam menyusun kepengurusan. 

"Melalui cara ini diharapkan tak muncul kekecewaan atau ketidakpuasan yang berujung pada konflik internal seperti yang pernah terjadi selepas Munas Golkar," kata Siti kepada Alinea.id

Namun demikian, menurut Siti, seharusnya Airlangga menampung lebih banyak loyalis Bamsoet di kepengurusan. "Hal ini yang mestinya clear sejak awal dan ditepati. Jangan ada ketidakpuasan dan kekecewaan di faksi-faksi yang ada. Supaya tidak muncul sengketa," ujarnya. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan