Awal tahun 2018, KPU menetapkan masa pendaftaran para calon kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada serentak pada Juni mendatang. Bahkan, saat ini, sebanyak 56 kandidat telah mendaftar untuk Pilgub yang akan berlangsung di 17 provinsi di Indonesia.
Namun, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) telah ancang-ancang untuk menyiapkan kadernya di Pilpres 2019. Tak tanggung-tanggung, sembilan nama diajukan oleh Majelis Syuro PKS. Majelis Syuro adalah sebagai forum tertinggi di partai dan telah melakukan musyawarah pada Sabtu-Minggu, kemarin.
Para kandidat yang dipertimbangkan diantaranya ialah Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ahmad Heryawan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS Anis Matta, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno. Selanjutnya Presiden PKS M Sohibul Iman, mantan Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, mantan Menkominfo, Tifatul Sembiring, anggota DPR, Al Muzammil Yusuf serta Mardani Ali Sera.
“Musyawarah Majelis Syuro VI PKS membahas tentang bakal calon presiden dan atau bakal calon wakil presiden dari PKS,” ujar Sohibul di Jakarta, Senin (15/1).
Nama-nama itu kemudian, berikutnya akan ditawarkan kepada masyarakat dalam suksesi kepemimpinan nasional pada 2019. Ia mengklaim, PKS telah melakukan proses kaderisasi kepemimpinan dalam berbagai jenjang.
“Saat ini PKS memiliki stok kepemimpinan yang cukup banyak untuk menjadi bakal calon presiden dan atau bakal calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019,” tandasnya.
Meski telah menjaring calon internal, PKS dipastikan tak bisa mengusung capres sendiri dalam Pilpres 2019. Merujuk pada Pasal 222 UU Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilu, disebutkan adanya ambang batas pengajuan capres atau presidential threshold. Di aturan itu, partai yang memiliki 20% kursi atau 25% suara sah secara nasional pada Pemilu 2014 boleh mengajukan capres dan cawapres. Sedangkan PKS, hanya memiliki 40 kursi atau sekitar 7,1% di parlemen.
Pasal tentang ambang batas tersebut telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah elemen. Namun, MK berpendapat presidential threshold bisa menguatkan sistem presidensial sekaligus menolak gugatan Pasal 222 UU Pemilu.