Revisi Undang-Undang Kementerian Negara resmi disahkan sebagai undang-undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pekan lalu. Lewat revisi, fraksi-fraksi di DPR sepakat memberikan kewenangan bagi Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhannya.
Dengan adanya kementerian-kementerian baru, Prabowo bakal mudah membagi-bagi jatah menteri bagi parpol pendukung pemerintahan. Pasalnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi parpol pendukung Prabowo-Gibran, bakal jauh lebih gemuk jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai NasDem resmi bergabung.
Susunan kabinet baru rencananya bakal diumumkan usai pelantikan Prabowo pada Oktober mendatang. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan Prabowo berniat membentuk kabinet zaken atau kabinet yang diisi oleh kalangan profesional. Namun, ia berdalih menteri dari kalangan profesional itu tak harus dari nonparpol.
"Artinya, ada dia (menteri) yang memang ahli di bidangnya, tapi dia secara politik terafiliasi oleh satu partai politik yang berkoalisi," kata Muzani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/9) lalu.
Sejumlah orang dekat Prabowo sudah digadang-gadang bakal diangkat menjadi menteri di sejumlah kementerian strategis. Kementerian Keuangan (Kemenkeu), misalnya, diisukan bakal dipegang Thomas Djiwandono, keponakan Prabowo. Thomas saat ini sedang "magang" di Kemenkeu sebagai Wamenkeu II.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) diisukan bakal diserahkan kepada Sugiono, Waketum Gerindra. Di DPR, Sugiono menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I. Di lingkaran Gerindra, Sugiono disebut-sebut sebagai anak ideologis Prabowo.
Sebelumnya, Kemenkeu dan Kemenlu diisi sosok-sosok profesional yang tak punya keterkaitan dengan parpol tertentu. Kemenkeu dipegang Sri Mulyani, sedangkan Kemenlu dipimpin Retno Marsudi. Keduanya bisa dibilang pejabat karier di kementerian masing-masing.
Pakar hukum tata negara UPN Veteran, Wicipto Setiadi pesimistis kabinet zaken bisa dibentuk oleh Prabowo. Apalagi, saat ini sudah terlihat banyak kementerian yang dipegang oleh perwakilan parpol. Ia mencontohkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang saat ini dipegang politikus Gerindra, Supratman Andi Agtas.
“Intinya, harus didasarkan pada keahlian profesional. Jadi, menurut saya, sih mestinya perwakilan dari parpol kalau diakomodir harus dipertimbangkan secara keahlian, bukan karena ketua partai atau pengurus partai,” kata Wicipto kepada Alinea.id, Jumat (20/9).
Menurut Wicipto, ada sejumlah kementerian yang semestinya benar-benar diurus oleh kalangan profesional jika Prabowo berniat membentuk kabinet zaken. Selain Kemenkumham, ia menyebut Kemenkeu, Kemenlu, Kementerian ESDM, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
"Kubu Prabowo-Gibran seharusnya juga ada ahli-ahli dalam bidang-bidang tersebut. Saya kira, meskipun diisi oleh (perwakilan) parpol, Kementerian Hukum dan HAM seharusnya juga profesional,“ kata Wicipto.
Tak seperti era Jokowi, menurut Wicipto, para ketua umum sebaiknya "dikumpulkan" di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Dengan begitu, tidak terbangun persepsi Prabowo memberikan peluang bagi para ketua umum mencari dana operasinal di kementerian-kementerian. Apalagi, banyak menteri dengan latar belakang kader partai yang terjerat korupsi.
"Jangan dijadikan menteri-menteri. Jadi, bisa lebih efektif untuk kasih masukan karena bisa langsung koordinasi. Dibandingkan hanya sekadar jadi menteri yang akhirnya hanya mencari dana. Jadi, menteri diisi oleh profesional, sementara ketua partai isi Wantimpres,” ujarnya.
Direktur Kajian Politik Nasional, Adib Miftahul sepakat kabinet zaken bakal sulit direalisasikan oleh Prabowo. Apalagi, jika profesionalisme seorang menteri diukur berbasis parameter keterkaitan dengan parpol atau tidak.
"Standar profesional jelas menunjukan tidak boleh ada sangkut paut dengan parpol. Saya kira akan mengganggu perpolitikan karena kalau dari teorinya betul-betul bukan dari partai politik yang didasarkan ahli dan profesional,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (20/9).
Kabinet zaken sebelumnya pernah dibentuk periode 1957-1959. Dikenal dengan nama Kabinet Djuanda, ketika itu susunan para menteri dibentuk tanpa memperhitungkan jumlah kursi di parlemen. Mayoritas menteri merupakan para ahli yang tak punya keterkaitan dengan parpol.
Menurut Adib, pernyataan Muzani yang menyebut kabinet zaken bisa diisi kalangan ahli dari parpol mengindikasikan Prabowo bakal menunjuk orang parpol di kementerian-kementerian strategis. Kabinet semacam itu tak akan benar-benar profesional dan rawan konflik kepentingan.
“Jika itu diterapkan oleh Peabowo ini tandanya afirmasi atau akomodasi kepentingan politik. Zaken tidak bisa diterapkan dalam kabinet ini sementara zaken itu harusnya pure profesional dan bukan (menteri dari) parpol. Jadi, tidak ada konflik kepentingannya,” kata Adib.