close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Omnibus Law Ciptaker berpotensi memicu krisis ekologi. Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Omnibus Law Ciptaker berpotensi memicu krisis ekologi. Ilustrasi Alinea.id/Oky Diaz
Politik
Senin, 09 Maret 2020 06:10

Bayang-bayang krisis ekologi dalam Omnibus Law Cipta Kerja

Pasal-pasal di draf Omnibus Law Cipta Kerja dianggap mengabaikan prinsip pelestarian lingkungan hidup.
swipe

Gelombang aksi unjuk rasa mulai mengalir menolak rencana pemerintah dan DPR membahas rancangan Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Tak hanya digelar kelompok buruh, kalangan mahasiswa juga kini telah turun ke jalan guna menolak rancangan beleid kontroversial itu. 

Meski begitu, pemerintah sepertinya bakal jalan terus dengan rencana tersebut. Pertengahan Februari lalu, surat presiden (surpres) untuk memulai pembahasan RUU Ciptaker di parlemen telah diserahkan kepada Ketua DPR Puan Maharani. Lobi-lobi agar publik mendukung beleid itu juga terus dilakukan. 

Upaya mengendorkan penolakan dari publik, misalnya, dilakukan oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Dengan alasan meminta masukan dari masyarakat sipil, KSP mengundang 16 lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk rapat di kantor KSP, Jakarta Pusat, Selasa (3/3) lalu. Namun, hanya empat LSM yang hadir dalam rapat tersebut. 

Salah satu yang lantang menolak hadir ialah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala KSP Moeldoko pekan lalu, Walhi menyatakan bahwa RUU Ciptaker dibuat hanya untuk melindungi investasi dengan membabat regulasi-regulasi yang dianggap menghambat. 

"Dan bukan didasari pada semangat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang bertujuan melindungi hak-hak warga negara. Selanjutnya, WALHI berpandangan muatan dalam RUU ini memperlihatkan komitmen buruk Presiden terhadap perlindungan lingkungan hidup," tulis Walhi. 

Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Boy Even Sembiring membenarkan penolakan keras Walhi. Menurut dia, Walhi mencium gelagat tak beres dalam RUU Ciptaker, khususnya dalam pasal-pasal yang mengatur kewajiban perusahaan di bidang lingkungan hidup. 

"Kenapa kita tolak? Karena dia sangat kapitalistik, dia enggak pro rakyat dan dia berpotensi mengakibatkan krisis ekologi yang makin besar," kata Boy saat berbincang dengan Alinea.id di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Kamis (5/3). 

Menurut Boy, ada dua hal utama yang menjadi sorotan Walhi dalam draf RUU Ciptaker. Pertama, direduksinya norma pertanggungjawaban hukum korporasi-korporasi yang potensial merusak lingkungan ketika menjalankan usaha. 

Terkait hal ini, Boy mencontohkan frasa-frasa krusial yang hilang dari pasal-pasal yang dicomot dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) ke draf RUU Ciptaker. 

Pada Pasal 23 ayat (35) draf RUU Cipta Kerja misalnya, disebutkan bahwa, 'setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya."

Isi pasal itu dicomot dari Pasal 88 UU PPLH. Bedanya, Pasal 88 UU PPLH menyebutkan bahwa semua orang yang kegiatan usaha yang menghasilkan atau menggunakan B3 harus 'bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.' Artinya, lewat pasal baru itu, pemerintah membuka peluang penggunaan B3 dalam kegiatan usaha. 

B3 merupakan singkatan dari bahan berbahaya dan beracun. Karakteristik limbah B3 ialah mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, korosif, dan beracun. Limbah kategori itu secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak lingkungan, mengganggu kesehatan, dan mengancam kesehatan. 

Pasal 88 UU PPLH biasanya digunakan untuk menjerat perusahaan perusak serta penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan salah satu bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia. Pada 2019 misalnya, tercatat ada 746 karhutla. 

Petugas gabungan dari Polri, TNI, BPBD dan Masyarakat Peduli Api (MPA) Kota Pekanbaru berusaha memadamkan bara api yang membakar lahan gambut di Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau, Senin (2/3). /Foto Antara

Walhi juga mengkritik hilangnya aturan mengenai izin lingkungan dan kelonggaran izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dalam draf RUU Ciptaker. Izin lingkungan yang diatur dalam Pasal 40 UU PPLH tak dimasukkan ke draf RUU Ciptaker. 

Adapun terkait amdal, Pasal 29, 30, dan 31 UU PPLH yang mengatur mengenai komisi penilai amdal dan kewenangan pemda terkait amdal tidak dicomot oleh penyusun draf RUU Ciptaker. Amdal hanya diulas di sejumlah pasal di beleid itu. 

Pada Pasal 24 ayat (1) draf RUU Ciptaker misalnya, disebutkan bahwa dokumen amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup. Pada bagian lainnya, disebutkan pemerintah pusat mengambil alih izin terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah daerah.

Pasal 34 UU PPLH yang tadinya memberi kewenangan kepada gubernur atau bupati/wali kota untuk menetapkan jenis usaha yang wajib dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) kini hanya terbatas pada pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup.

Lebih jauh, Boy mengatakan, langkah pemerintah merevisi pasal-pasal terkait lingkungan hidup di RUU Ciptaker terasa janggal. Menurut dia, tak ada kaitan jelas antara upaya menggenjot investasi dan melindungi UMKM dengan revisi pasal-pasar yang mengatur amdal dan izin lingkungan.

"Sekarang apa buktinya? (RUU) Cipta Kerja yang merusak hak buruh dan lingkungan, plus perpajakan yang memberikan intesif bagi pelaku usaha gede. Yang mana UMKM yang mau didorong? Coba kasih tunjuk UMKM mau dilindungi Jokowi?" tanya dia.

Aktivis buruh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan aksi damai di depan kantor DPRD D.I Yogyakarta, Yogyakarta, Rabu (12/2). /Foto Antara

Dinilai bernuansa balas jasa 

Tak hanya Walhi, kritik pedas terkait substansi RUU Ciptaker juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Manajer Kampanye Jatam Melky Nahar menilai RUU Ciptaker sarat kepentingan investor tambang dan mengabaikan aspek lingkungan. 

Proses pembahasan yang tidak melibatkan kalangan masyarakat sipil juga disebut Melky sebagai indikasi lolosnya pasal-pasal yang hanya menguntungkan kalangan pengusaha tambang.

"Seluruh proses tidak transparan. Bahkan, kita dapat dokumen bukan yang resmi, tapi berdasarkan bahan-bahan presentasi dan yang orang kirim ke kita. Dan, itu dari kementerian yang terhubung dengan omnibus law ini," kata Melky kepada Alinea.id di kantor Jatam di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Kamis (5/3).

Menurut hasil kajian Jatam, setidaknya ada 14 persoalan krusial terkait pertambangan yang potensial muncul jika RUU Ciptaker disahkan tanpa direvisi substansinya. Permasalahan-permasalahan itu muncul lantaran penyusun draf merombak pasal-pasal di dalam UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009.

Ia mencontohkan penarikan kewenangan terkait perizinan, pengawasan, pembinaan, pemberian sanksi dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Pergeseran kewenangan tersebut dinilai bakal melumpuhkan kemampuan pemerintah daerah dalam melindungi lingkungan. 

"Salah satu contoh itu Bupati Jember di Jawa Timur yang menolak ekspansi pengembangan Blok Migas Silo. Dia tolak tambang emas di sana. Artinya, model bupati seperti ini tidak bisa berbuat apa-apa ketika kewenangan diambil pusat," tutur Melky.

Melky juga menyoroti perubahan isi Pasal 134 UU Minerba di draf RUU Ciptaker. Di pasal itu disebutkan peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dengan kegiatan usaha pertambangan dan menghambat investasi cukup disesuaikan dengan Peraturan Presiden (Perpres). 

"Jadi, itu solusinya cukup dengan Peraturan Presiden. Seolah-seolah Peraturan Presiden lebih tinggi dari undang-undang. Misalkan satu perusahaan tambang melanggar UU KLHK atau UU Air atau UU Pertanahan, solusinya cukup dengan Peraturan Presiden," kata dia. 

Kewenangan baru pemerintah pusat tak hanya itu. Dalam penambahan pasal 138A UU Minerba, disebutkan pemerintah pusat turun tangan langsung dalam menyelesaikan permasalahan hak atas tanah bagi perusahaan tambang. 

"Negara menjamin ketersediaan lahan bagi kegiatan usaha pertambangan, tapi tidak menjamin hak atas ruang hidup bagi rakyatnya. Negara menjadi centeng," ujar Melky. 

Lebih jauh, menurut Melky, isi draf RUU Ciptaker beraroma balas jasa dari Jokowi kepada para pengusaha tambang. "Jadi, kalau kita baca, sejak terpilih sudah kelihatan kepentingan investor. Kan 75% biaya kampanye Jokowi (pada Pilpres 2019) ditengarai berasal dari kantong pengusaha tambang," imbuh dia.

Sebelumnya, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono mengatakan Omnibus Law Ciptaker memang dimaksudkan untuk menyederhanakan prosedur izin usaha. Namun demikian, ia membantah draf dalam beleid itu bakal memicu krisis ekologi. 

Dijelaskan dia, izin lingkungan dalam RUU tersebut berbasis pendekatan risiko, yakni risiko tinggi, sedang, dan rendah. Risiko sedang dikelola melalui pendekatan UPL dan UKL, sedangkan risiko rendah cukup diawasi dengan standar baku sebagai alat kontrol.

Adapun kegiatan usaha yang berisiko tinggi tetap wajib menyertakan amdal.  "Jadi tidak benar jika ada yang mengatakan Amdal dihapuskan," kata dia di Yogyakarta, belum lama ini. 

Menurut dia, substansi yang terdapat dalam RUU Ciptaker justru meminimalisir potensi kerusakan lingkungan karena kegiatan-kegiatan perusahaan. Pasalnya, izin lingkungan terintegrasi langsung dengan izin usaha.

"Jadi, kalau tidak memenuhi persyaratan aspek lingkungan, maka melalui RUU itu izin usahanya bisa dicabut," imbuh dia. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil (kiri), Menkum HAM Yasonna Laoly (kedua kiri), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (ketiga kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani (ketiga kanan), Aziz Syamsuddin (kedua kiri) dan Rachmat Gobel (tengah) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2). /Foto Antara

Perlu dikaji lagi 

Anggota Komisi VI DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema mengatakan substansi draf RUU Ciptaker memang perlu dikaji lagi. Menurut dia, ada sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang terkesan mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup. 

Pertama, izin lingkungan yang hilang dan berganti menjadi perizinan usaha. Kedua, sanksi-sanksi hukum yang melemah. Ketiga, penghapusan unsur strict liability atau unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

Terakhir, hilangnya hak partisipasi publik untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui peradilan administrasi seperti tercantum dalam Pasal 93 UU PPLH.

"Jangan sampai RUU Omnibus Law sektor KLH justru menjadi surga bagi investor, sebaliknya bencana bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Membangun butuh investasi, tapi investasi wajib berperspektif dan peduli pada aspek ekologi," kata Yohanis saat dihubungi Alinea.id, Jumat (6/3). 

Diakui Yonanis, upaya menggenjot investasi memang kerap bertentangan dengan semangat melestarikan lingkungan. Namun demikian, ia menolak jika kepentingan-kepentingan pengusaha dan investor diutamakan dalam RUU Ciptaker. 

"Spirit dari omnibus law yaitu RUU Cipta Kerja adalah mempercepat investasi. Bagaimana kedua spirit dari LHK yang bertugas menjaga ekosistem lingkungan dan RUU Cipta Kerja yang ingin meningkatkan investasi bisa dipertemukan? Apa dasar kajiannya?" kata dia.

Infografis Alinea.id/Oky Diaz

Senada, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang draf RUU Ciptaker. Menurut dia, draf RUU tersebut disusun secara terburu-buru tanpa masukan dari publik. 

"Memang belum pas. Pertama keberadaannya itu yang tiba-tiba ada timnya untuk menyusun. Tapi, tim penyusun juga tiba-tiba hanya diminta tanda tangan aja. Tidak diajak diskusi. Diajak diskusi setelah ada bahannya," kata Esther kepada Alinea.id, Kamis (6/3).

Ia juga menyoroti pasal-pasal baru dalam draf tersebut yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Di lain sisi, pasal-pasal lainnya justru memberikan kuasa "absolut" bagi pemerintah pusat untuk mengelola investasi dan lingkungan hidup. 

"Cenderung sentralisasi. Jadi, kalau omnibus law diberlakukan, pemerintah pusat cenderung powerful. Padahal, era sekarang kan seharusnya lebih desentralisasi," jelas Esther. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan