close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-573 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/2). Foto Antara
icon caption
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-573 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/2). Foto Antara
Politik
Selasa, 22 Oktober 2024 13:58

Bayang suram gerakan masyarakat sipil di era Prabowo

Prabowo mengajak sejumlah aktivis 1998 menjadi pembantunya di Kabinet Merah Putih.
swipe

Sesaat sebelum resmi dilantik menjadi Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia mengatakan peristiwa kerusuhan yang menewaskan sejumlah aktivis dan warga sipil pada Mei 1998 bukan pelanggaran HAM berat. 

"Enggak. Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing, mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan," ujar Yusril kepada wartawan yang berkumpul di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (21/10), 

Keesokan harinya Yusril buru-buru merevisi pernyataannya. Ia berdalih keliru mendengar pertanyaan wartawan. "Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait masalah genocide atau ethnic cleansing," kata Yusril. 

Pada 2023, peristiwa Mei 1998 telah ditetapkan sebagai sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasonal Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Presiden Joko Widodo pun telah menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat dalam rangkaian tragedi kerusuhan menjelang kejatuhan Soeharto itu. 

Yusril menegaskan pemerintahan Prabowo akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu terkait peristiwa 98. "Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri," imbuh Eks Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu. 

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat pesimistis pemerintahan Prabowo-Gibran bakal serius menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi 1998. Ia berkaca pidato pertama Prabowo di Gedung MPR yang sama sekali tak menyinggung soal HAM.

"Isu pelanggaran HAM yang itu tidak mungkin dia ungkapkan itu dalam pidatonya. Ketika dia membicarakan pelanggaran HAM, maka dia sebenarnya sedang berbicara mengenai dirinya sendiri. Saya memberikan catatan bahwa tidak ada satu kata pun kalimat yang membahas bagaimana konsen dan komitmen (pemerintah menuntaskan) kasus pelanggaran HAM," ucap Rakhmat kepada Alinea.id, belum lama ini. 

Rakhmat menduga gerakan masyarakat sipil bakal mendapat tekanan berat pada era pemerintahan Prabowo. Upaya-upaya untuk mempermasalahkan rekam jejak Prabowo sebagai terduga pelanggar HAM pada era Reformasi bakal mentah lantaran sejumlah aktivis reformasi telah direkrut sebagai pembantu Prabowo di Kabinet Merah Putih.

"Siasat ini untuk membentuk narasi baru dalam kepemimpinan Prabowo yang dianggap pro demokrasi, yang dianggap mendorong demokrasi. Padahal, itu adalah bagian politik yang ilusionis untuk menutup borok dari kecacatan demokrasi yang dilakukan Prabowo-Gibran di awal," kata Rakhmat. 

Cacat yang dimaksud Rakhmat ialah putusan Mahkamah Kontsitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang merevisi batas usia capres dan cawapres. Putusan itu membuka jalan bagi Gibran untuk maju menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024. "Itu titik awal rezim melakukan berbagai cara untuk melegitimasi kekuasaannya," imbuh dia. 

Rakhmat mengatakan kalangan akademikus dan intelektual tidak boleh mengacuhkan potensi lahirnya otoritarianisme pada era pemerintahan Prabowo-Gibran. Akademisi kampus dan intelektual publik harus terjun langsung membangun konsolidasi di akar rumput untuk memperkuat partisipasi publik.

"Ke depan, demokrasi akan mengalami masa depan suram karena demokrasi terancam dan mengalami kemunduran. Saya melihat wajah asli sesungguhnya dari Prabowo dengan semangat yang berapi-api dengan sesuatu (program-program) yang bersifat utopia. Itu sebenarnya menggambarkan wajah asli dari sosok otoritarian yang dimiliki oleh Prabowo," ucap Rakhmat. 

Selain itu, Rakhmat juga melihat pemerintahan bergaya militeristik yang menuntut ketertiban sipil akan mewarnai era Prabowo-Gibran. Apalagi, Prabowo cukup banyak mengakomodasi purnawirawan TNI/Polri dalam kabinet Merah Putih.   

"Tentu saja suara-suara akar rumput gerakan mahasiswa, akademisi, pers kampus, dan kalangan intelektual tidak boleh tingal diam. Mereka harus bisa melakukan kontribusi dengan berbagi cara. Prabowo tidak bisa dibiarkan. Prabowo harus dikawal meskipun secara politik mereka hegemonik," ucap Rakhmat. 

Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menyarankan sejumlah upaya untuk mencegah gejala otoritarianisme menguat di pemerintahan Prabowo. Pertama, penguatan partisipasi publik dalam mengawasi rezim Prabowo. Kedua, konsolidasi gerakan-gerakan masyarakat sipil. Ketiga, peningkatan kapasitas organisasi gerakan sipil. 

"Keempat, organisasi masyarakat sipil harus membuka diri terhadap kerjasama dan kolaborasi dengan institusi lain dalam meningkatkan efektivitas program. Kelima, perlu kemampuan dan keberanian organisasi masyarakat sipil untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan yang lebih demokratis," kata Wisnubroto kepada Alinea.id

Wisnubroto mengatakan tokoh-tokoh gerakan masyarakat sipil juga perlu memiliki resiliensi agar tidak mudah terkooptasi ke dalam lingkaran kekuasaan. Karena itu, penting bagi gerakan masyarakat sipil untuk melek politik dan membangun jaringan pro-demokrasi.

"Serta memiliki kapasitas dalam kegiatan advokasi publik. Hal penting untuk menjaga pemerintahan yang demokratis, organisasi masyarakat sipil harus terus meningkatkan perannya dalam advokasi, empowerment, dan kontrol sosial," kata Wisnubroto. 
 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan