Siapa biang kerok mangkraknya RUU Perampasan Aset?
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) hampir pasti tak akan tuntas dibahas DPR periode 2019-2024. Hingga masa akhir jabatannya, DPR tak terlihat antusias membahas RUU tersebut. Padahal, surpres RUU Perampasan Aset sudah dikeluarkan Presiden Joko Widodo sejak Mei 2023.
Pakar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menduga anggota DPR sengaja mengulur waktu pembahasan RUU Perampasan Aset agar tidak terselesaikan dan tidak disahkan. Menurut dia, banyak anggota DPR khawatir dengan subtansi RUU Perampasan Aset yang potensial merugikan mereka di masa depan.
"Banyak negara lain telah menerapkannya untuk merampas aset dari hasil tindak pidana yang memiliki nilai ekonomi besar, (korupsi, narkotika, kejahatan lingkungan dan seterusnya) yang memang selama ini di Indonesia justru melibatkan orang-orang di DPR, parpol dan kementerian," ucap Orin kepada Alinea.id, Sabtu (25/5).
Pada Pasal 1 ayat 3 RUU Perampasan Aset disebutkan bahwa negara dapat merampas aset pelaku korupsi tanpa perlu menunggu adanya putusan dari pengadilan pidana. Menurut Orin, negara bisa merampas aset koruptor lainnya untuk menggantikan aset hasil korupsi yang disembunyikan atau berada di luar negeri.
"Aset-aset yang nilainya setara, termasuk apabila di kemudian hari ditemukan ada aset yang belum dirampas setelah proses pidana. Itu juga memungkinkan untuk dirampas oleh negara sekalipun putusan sudah inkracht," jelas Orin.
Menurut Orin, RUU Perampasan Aset mendesak untuk dirampungkan karena maraknya kasus-kasus korupsi bernilai besar di Indonesia. Ia mencontohkan kasus Jiwasraya, Taspen, dan penambangan ilegal di kawasan PT Timah. Kerugian negara karena kasus-kasus itu tidak bisa optimal dipulihkan lantaran ketiadaan UU Perampasan Aset.
"Upaya selama ini hanya menggunakan proses pidana untuk merampas aset koruptor. Upaya-upaya itu selama ini terbukti tidak efektif karena vonis terhadak koruptor ringan dan belum optimal mengembalikan nominal kerugian negara," ucap Orin
Orin berharap DPR periode 2019-2024 bisa mengebut RUU Perampasan Aset. Ia ragu RUU itu bisa disahkan oleh DPR dan pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). Sejauh ini, Orin tak melihat komitmen dari Prabowo-Gibran untuk memperkuat upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Jika memang punya komitmen kuat memberantas korupsi, menurut Orin, Jokowi bisa saja memecah kebuntuan dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengisi kekosongan hukum selagi RUU Perampasan Aset dibahas dan dirampungkan DPR.
"Harusnya bisa, karena syarat perppu itu kan adanya kegentingan yang memaksa dan ada kekosongan hukum. Hanya saja, lagi-lagi ini sangat subjektif. Tergantung pemerintahnya, presidennya mau enggak mengkualifikasikan keadaan minimnya pemulihan kerugian negara itu sebagai kegentingan yang memaksa," ucap Orin.
Naskah RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008. Namun, RUU itu baru berhasil masuk ke dalam daftar Prolegnas prioritas tahun 2023. Meski begitu, surpres RUU Perampasan Aset tak pernah dibacakan pada gelaran rapat paripurna.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai RUU Perampasan Aset mangkrak karena DPR ogah membahasnya. Jika disahkan, UU itu bisa membuat elite pelaku korupsi atau pelaku tindak pidana lainnya kehilangan aset-aset yang mereka diperoleh dari tidak kejahatan atau perilaku melawan hukum.
"Oleh karena itu, menimbulkan kekhawatiran bagi pihak-pihak tertentu yang perolehan asetnya disinyalir dengan cara-cara melawan hukum. Pihak-pihak ini berada di lintas kekuasaan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif atau kalangan peradilan. Jadi, wajar menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan dengan UU PA ini," ucap Fickar kepada Alinea.id, Sabtu (25/5).
Fickar menduga sudah ada persengkongkolan yang melibatkan elite eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk tidak merampungkan pembahasan RUU Perampasan Aset.
"Itulah sebabnya mengapa RUU PA macet pembahasannya. Sepertinya, diam-diam ada kesepakatan hati nurani lintas kekuasaan untuk tidak mengesahkan UUPA ini," ucap Fickar.
Lantaran mandek di DPR, menurut Fickar, harapan ada pundak Jokowi. Ia sepakat Jokowi perlu mengeluarkan perppu untuk mengisi kekosongan hukum terkait perampasan aset koruptor.
"Bahkan, saya kira, ini kesempatan bagi Jokowi untuk mengakhiri kekuasaannya dengan khusnul khatimah, untuk meralat sikapnya yang nyeleneh pada Pilpres 2024 kemarin," ucap Fickar.
Senada, ahli hukum dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Al Wisnubroto menduga RUU Perampasan Aset sengaja ditarik-ulur di oleh pemerintah dan DPR. Ia memandang anggota DPR lebih cenderung ingin memuluskan sederet revisi undang- undang yang memperkuat pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Hingga saat ini tidak ada tanda-tanda DPR merespons desakan dari berbagai pihak tersebut. Padahal, RUU PATP juga masuk Prolegnas prioritas sejak tahun 2023," ucap Wisnubroto kepada Alinea.id, Sabtu (25/5).
Molornya pembahasan RUU Perampasan Aset, kata Wisnubroto, akan berdampak buruk pada pemulihan kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi dan kejahatan lainnya. Di lain sisi, ia juga pesimistis DPR periode selanjutnya akan serius menggarap RUU tersebut.
"Selain itu, ada potensi RUU Perampasan Aset akan hilang dalam daftar Prolegnas selanjutnya karena tenggelam oleh RUU-RUU lain yang, menurut DPR, perlu lebih diprioritaskan pembahasannya," jelas Wisnubroto.
Agar bisa rampung, Wisnubroto menilai perlu ada tekanan dari publik kepada DPR. "Persoalannya, pemerintah saat ini tampak lebih memprioritaskan program-program yang bermuatan stabilisasi politik pasca-Pilpres 2024 dan persiapan Pilkada Serentak 2024," imbuhnya.