Blunder Wiranto dan payung hukum KPK
KPK tetap meneruskan proses hukum terhadap calon kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Pertimbangannya, KPK adalah lembaga negara independen yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, tak bisa diintervensi kekuasaan manapun. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif pun tak berhak meminta akselerasi, penundaan, atau penghentian proses hukum KPK. Hal itu terang termaktub dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Dalam kaitannya dengan penetapan tersangka ini, dalam Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, calon kepala daerah yang jadi tersangka tak bisa diganti dengan yang lain. Ia hanya bisa diganti apabila telah dijatuhi hukuman pidana berkekuatan hukum tetap. Kandidat juga bisa diganti apabila mengalami gangguan kesehatan atau berhalangan tetap.
Dengan pertimbangan itulah, maka proses hukum akan tetap dilanjutkan oleh KPK. Lagipula pasal 7 ayat (2) UU Pilkada tak pernah mengharamkan mereka yang pernah jadi tersangka, untuk ikut berkompetisi. Mereka hanya disyaratkan tak pernah menjadi terpidana, atau bagi mantan napi diharuskan terbuka mengakui kesalahannya.
Mengacu pada regulasi tersebut, berarti kekhawatiran tentang gangguan proses pemilu dinilai tak masuk akal. Jika calon kepala daerah nekat terus berlaga di pemilu pun, maka secara hukum tetap diperbolehkan, sepanjang belum berkekuatan hukum tetap. Bahkan dalam sejarahnya di Indonesia, ada sejumlah kepala daerah yang dilantik di penjara karena kasus korupsi.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah tegas mengungkapkan, KPK memutuskan untuk melanjutkan proses hukum. Alasannya, karena sudah ada dasar hukum yang jelas, untuk mengadili pelaku korupsi, di antaranya hukum acara pidana, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU KPK. “Sepanjang ada aturan di sana, maka kita akan proses," terangnya, dilansir dari Antara, Rabu (14/3).
Untuk proses pilkada, lanjutnya, justru KPK memberikan dukungan penuh di bidang pencegahan berupa pelaporan kekayaan calon kepala daerah. Tak hanya itu, KPK bersama Polri juga bekerja sama dalam pertukaran informasi terkait politik uang serta pembangunan politik berintegritas.
"Para pasangan calon juga akan kita datangi nanti di beberapa daerah untuk memberikan pembekalan antikorupsi. Jadi KPK berjalan tetap di koridor hukum di bidang penindakan dan kedua untuk pencegahan kita memberikan dukungan sepenuhnya dengan segala kewenangan yang KPK miliki untuk pelaksanaan pilkada serentak ini," ungkap Febri.
Dua hari sebelumnya, Senin (12/3), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto blunder meminta KPK menunda pengumuman calon kepala daerah dalam pilkada 2018, yang menjadi saksi maupun tersangka kasus korupsi. Dalih Wiranto kala itu adalah demi menjaga ketenangan dalam proses pencalonan.
Menurut Wiranto, risiko proses hukum tersangka korupsi adalah kegaduhan yang bisa berimbas pada penurunan suara calon kepala daerah.
"Risiko dengan dia dipanggil sebagai saksi atau tersangka itu akan bolak-balik KPK, berpengaruh pada perolehan suara. Itu pasti akan berpengaruh terhadap pencalonannya," kata Wiranto.
Apalagi, lanjutnya, bila orang tersebut sudah dinyatakan sebagai pasangan calon (paslon) kepala daerah oleh komisi pemilihan umum (KPU) setempat. Menurutnya, paslon itu sudah bukan pribadi tunggal, melainkan milik para konstituen, parpol pendukung, dan milik orang banyak.
Ia menyarankan, penetapan tersangka mestinya dilakukan sebelum penetapan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan begitu, tak akan merugikan banyak pihak yang berkelindan dengan pemilu ini. Baru setelah pilkada usai, proses hukum bisa dilanjutkan kembali.
Sontak pernyataan politisi Hanura itu panen respons dari sejumlah kalangan. Donal Fariz dalam rilis Indonesia Corruption Watch menyatakan, pernyataan Wiranto berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi dalam pilkada, sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih. Sebab, ajang lima tahunan itu menjadi penentu nasib Indonesia di periode mendatang. Tatkala kontestan terindikasi korup, lanjutnya, proses hukum bisa membantu masyarakat agar tidak salah pilih pemimpin daerah mereka.
Ia menilai, pernyataan Wiranto tak lebih dari usaha intervensi proses hukum yang dijalankan KPK. “Pemerintah telah mencampuradukkan proses politik dengan proses hukum. Penyelengaraan pilkada merupakan proses politik yang tidak boleh menegasikan dan menyampingkan proses hukum. Sebab konstitusi menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum,” urainya.
Di samping itu, ia berkeyakinan, penetapan tersangka oleh KPK terhadap lima calon kepala daerah 2018, tak akan menghentikan atau mengganggu tahapan pilkada setempat. Justru itu membantu masyarakat memfiltrasi calon pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas. “Mekanisme seleksi calon pemimpin yang bersih dan berintegritas tak dilakukan oleh partai saat penjaringan kandidat,” imbuhnya.
Kritik senada juga sempat dilontarkan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu. Ia mendukung tetap dilanjutkannya upaya hukum oleh KPK. "Kami meminta aparat penegak hukum, KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk terus melakukan proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sesuai dengan bukti dan peraturan perundang-undangan yang ada," ujarnya.
Ia menyampaikan proses penegakan hukum adalah sesuatu yang harus terus dijalankan KPK tanpa perlu menunggu pelaksanaan pilkada selesai. Permintaan penundaan oleh Wiranto justru tak memperlihatkan sinergi positif dari proses pelaksanaan pilkada dengan proses hukum, khususnya penanganan tindak pidana korupsi.
Padahal, menurutnya, penegakan hukum yang segera dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi berpeluang meminimalisir salah pilih calon pemimpin. "Ini untuk menyelamatkan pemilih dari calon kepala daerah yang berperilaku koruptif," terang Titi.
Terkait potensi gangguan keamanan di daerah, ia menilai aparat keamanan sudah diberikan tanggung jawab dan bisa ditambah kekuatannya dalam mengatasi gangguan ketertiban menjelang pilkada. Oleh karena itu, Perludem menganggap permintaan pemerintah untuk menunda penegakan hukum calon kepala daerah yang diduga terlibat korupsi, tidak tepat.