Dukungan dari Ormas garis keras, HTI dan Cendana dianggap memberikan indikasi daur ulang Orde Baru oleh Prabowo-Sandiaga Uno. Bahkan, jika pasangan nomor 02 menang disebut-sebut Indonesia seperti mundur 52 tahun.
Dukungan dari Ormas garis keras dan mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terhadap pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dianggap menimbulkan indikasi negatif di masyarakat.
Tak hanya itu, bergabungnya keluarga Cendana dalam koalisi adil makmur juga semakin menambah kesan negatif bagi Paslon nomor urut 02 itu.
Pengamat Politik Boni Hargens mengatakan, Prabowo-Sandiaga Uno dianggap mendaur ulang pemerintahan Orde Baru dengan dukungan dari Ormas-ormas dan keluarga Cendana. Pasalnya, dukungan itu seolah-olah menggabungkan rezim otoriter dengan pro khilafah.
“Dukungan Ormas garis keras, HTI dan Cendana merupakan indikasi kuat bahwa Prabowo-Sandi akan mendaur ulang Orde Baru dalam varian yang lebih buruk,” kata dia di bilangan Jakarta Selatan, Jumat (4/1).
Boni mengungkapkan, dukungan tersebut juga menimbulkan keresahan di masyarakat. Hal itu dikarenakan sikap intoleransi dan sejumlah persekusi yang pernah dilakukan Ormas-ormas tersebut.
“Dukungan HTI, FPI (Front Pembela Islam) dan Ormas-ormas garis keras membentuk keresahan kolektif di tengah masyarakat terkait maraknya intoleransi dan persekusi yang dilakukan oleh Ormas garis keras selama ini,” ujarnya.
Lebih lanjut Boni mengatakan, pernyataan keluarga Cendana mengenai pemberlakukan kebijakan zaman Soeharto jika Prabowo-Sandiaga Uno terpilih, memberikan kekhawatiran di masyarakat.
Berdasarkan sintesis Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), dimensi sosial budaya Prabowo-Sandiaga Uno sampai saat ini ditentukan dari kiprah dan narasi kampanye, dukungan Ormas garis keras dan representasi kekuatan Orde Baru.
“Ada indikasi dan potensi ‘matinya’ ruang sosial dan terbelenggu kebebasan sipil sebagaimana terjadi selama 32 tahun Orde Baru,” katanya.
Boni menyebut, jika pasangan nomor urut 02 menang, maka Indonesia bisa mundur 52 tahun. Mundur dari 2018 ke 1966 pada saat awal Soeharto berkuasa.