Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengusulkan pembentukan
Undang-Undang Lembaga Kepresidenan dan Mahkamah Etik yang mengatur tata-laku lembaga eksekutif dalam menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) saat menjalankan pemerintahan.
Darmansjah Djumala, anggota Dewan Pakar Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri BPIP menilai penyusunan kode etik penyelenggara negara urgen jika berkada pada penyelenggaraan pemilu dan pilkada tahun ini. Menurut dia, rakyat melihat secara kasat mata bagaimana elite politik dan pejabat negara bersiasat dalam memperjuangkan kepentingan politiknya.
"Demi kekuasaan, elit politik rela menyiasati hukum. Rakyat menyaksikan dengan geram, hukum menghamba pada kepentingan politik," kata Djumala dalam focus group discusion (FGD) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara” di Jakarta, Selasa (27/8).
Itu merupakan diskusi perdana dari serangkaian diskusi yang rencananya bakal digelar di tujuh kota. Sejumlah pakar dan akademikus hadir dalam diskusi tersebut, semisal mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Ikrar Nusa Bhakti, eks Ketua KomnasHAM Hafid Abbas, ekonom Universitas Indonesia (UI) Ramlan Surbakti, dan pengajar Fakultas Ilmu Hukum UI Harkristuti Harkrisnowo.
Turut hadir sebagai pembicara, mantan Gubernur Lemhanas Andi Widjajanto, pengajar hukum tata negara STH Jentera Bivitri Susanti, Sulistyowati Irianto, antropolog UI Sulistyowati Irianto, dan mantan Wakil Ketua Komsii Pemberantasan Korupsi (KPK) Thony Saut Situmorang.
“Inisiatif BPIP mendiskusikan kerapuhan etika penyelenggara negara merupakan upaya benah diri dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Diharapkan ke depannya akan ada standar etika dan moralitas penyelenggara negara yang selaras dengan nilai Pancasila," kata Djumala.
Dari rangkaian diskusi itu, menurut Djumala, BPIP berharap dapat menyerap aspirasi publik tentang etika dan tata-laku penyelenggara negara. Hasil diskusi bakal dituangkan dalam bentuk rekomendasi yang akan diserahkan kepada pemerintah dan lembaga terkait.
"Untuk lembaga legislatif dan yudikatif sudah ada regulasi etika masing-masing, sedangkan di lembaga eksekutif atau kepresidenan belum ada. Etika dan moralitas mestinya berada di atas hukum dan politik," kata pria yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Austria dan PBB di Vienna itu.
Saat memberikan sambutan, anggota Dewan Pengarah BPIP Amin Abdullah menekankan pentingnya mendengarkan pandangan dari kalangan pakar, akademikus, dan pemangku kepentingan lainnya sebelum menyusun pedoman etika bagi penyelenggara negara.
BPIP, kata dia, merekomendasikan perlunya dibentuk semacam office of government ethics (OGE) yang tugasnya nanti menilai apakah etika dan tata-laku penyelenggara negara selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
.