Sebelum perhelatan Pilgub DKI Jakarta, elaktabilitas, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat terbilang sangat tinggi dibanding para pesaingnya. Setidaknya hingga awal Oktober 2016, Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut elaktabilitas petahan sebesar 31,4%, unggul jauh diatas penantangnya Anies-Sandi sebesar 21,1% dan 19,3% untuk pasangan Agus-Sylvi.
Namun pada 6 Oktober 2016, Buni Yani memposting cuplikan pidato Ahok di depan nelayan di Kepulauan Seribu. Dalam potongan video itu, Ahok berujar, “Bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya. Ya, kan, dibohongi pakai surat Al-Maidah: 51. Macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu, ya. Jadi, Bapak-Ibu, perasaan enggak bisa pilih, nih, karena 'saya takut masuk neraka', dibodohin itu, enggak apa-apa,"
Sementara dalam unggahannya, Buni Yani menulis sebagai berikut:
“Penistaan Terhadap Agama? bapak ibu (pemilih muslim).. dibohongi Surat Al Maidah 51.. (dan) masuk neraka (juga bapak ibu)" dibodohi”. “Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dari video ini”.
Pilgub DKI pun semakin riuh dengan tuntutan massa untuk meminta Ahok dipenjara. Tercatat, serangkaian aksi seperi demo 411 dan 212, mendesak agar Ahok dihukum karena pidatonya dianggap bernuansa menodakan agama.
Elaktabilitas Ahok-Djarot pun menurun drastin menjadi 24,6% pada November 2016. Hingga pada akhirnya, Ahok pun menjadi tersangka dalam kasus penodaan agama dan divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan negeri Jakarta Utara.
Sedangkan Buni Yani, dilaporkan oleh relawan Ahok yang tergabung dalam Komunitas Advokat Muda Ahok-Djarot (Kotak Adja) ke polisi atas tudingan pelanggaran UU ITE pada November 2016 silam.
UU ITE untuk Buni Yani
Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, memvonis Buni Yani dengan pidana setahun enam bulan. Majelis hakim yang dipimpin oleh Satono menilai Buni Yani secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 32 ayat 1 jo Pasal 48 ayat 1 UU ITE tentang orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa satu tahun enam bulan," kata Ketua majelis hakim Saptono seperti dikutip dari Antara, Selasa (14/11).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap perbuatan Buni Yani telah menimbulkan keresahan di Ibu Kota menjadi poin pemberat dalam penjatuhan pidana. Terlebih Buni Yani tidak mengakui kesalahannya.
Namun, karena belum pernah dihukum dan mempunyai tanggungan keluarga, hakim mempertimbangkan untuk memberikan keringanan hukuman.
Alhasil, ia divonis lebih rendah dibanding tuntutan jaksa yang meminta mantan dosen itu dihukum dua tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider tiga bulan.
Sementara Buni Yani memastikan akan mengajukan banding. Ia mengklaim fakta-fakta persidangan tidak sesuai.
"Kami akan banding karena fakta-fakta persidangan tidak sesuai, karena tadi ribut, saya tidak mendengar perintah apapun soal eksekusi," ujar Aldwin Rahadian.