Hendaru Tri Hanggoro, 36 tahun, mengaku terkejut saat mengetahui nomor induk kependudukan (NIK) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dirinya diduga dicatut untuk dijadikan syarat dukungan oleh pasangan calon (paslon) independen Pilkada DKI Jakarta, Dharma Pongrekun-Raden Kun Wardana Abyoto.
Semula, Hendaru mengetahui kabar pencatutan dari banyak komentar di media sosial X, yang dipicu unggahan akun @AyamDreamPop. Akun itu mengunggah bukti tangkapan layar NIK KTP-nya yang dicatut secara sepihak pada Jumat (16/8).
Namun, dia tidak menggubrisnya. Lalu, seorang temannya mengatakan banyak warga Jakarta yang NIK KTP-nya dicatut untuk mendukung Dharma-Kun. Hendaru pun lantas memeriksa apakah NIK KTP-nya juga dicatut lewat aplikasi infopemilu.kpu.go.id. Ternyata, NIK KTP dirinya benar terdaftar sebagai pendukung calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.
“Padahal saya tidak sama sekali pernah menyerahkan serta dimintai KTP atau tanda tangan apa pun untuk mendukung Dharma-Kun,” ucap Hendaru kepada Alinea.id, Jumat (16/8).
Bukan hanya dirinya, ternyata anggota keluarga Hendaru lainnya juga dicatut. “(Ada) empat orang, bapak, ibu, saya, dan kakak saya,” tutur Hendaru.
Mengetahui hal itu, warga Srengseng Sawah, Jakarta Selatan ini langsung menginformasikan kepada seluruh anggota RT tempat dia tinggal melalui grup WhatsApp. Ternyata, ada pula beberapa warga lain yang ikut dicatut. Pihak pengurus RT juga mengaku tidak pernah memberikan data warga atau diminta mengumpulkan KTP untuk pasangan Dharma-Kun.
“Juga tidak ada pengumpulan tanda tangan calon independen (untuk Pilkada DKI Jakarta) di wilayah ini, atau permintaan secara pribadi kepada RT setempat,” ujar Hendaru.
Bahkan, ada yang anggota keluarga di tempatnya tinggal dicatut hingga enam orang. “Padahal, mereka kenal aja enggak sama Dharma Pongrekun,” kata Hendaru.
Sanksi jika terbukti mencatut
Persoalan serupa juga menimpa seorang warga yang tinggal di Jakarta Timur, Valerian, 30 tahun. Dia kaget bukan kepalang ketika membaca perbincangan di media sosial soal pencatutan NIK KTP untuk calon independen Dharma-Kun.
Dia merasa, pencalonan Dharma-Kun beraroma skandal politik untuk skenario pemenangan calon tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta. Sebab, KTP NIK warga Jakarta yang dicatut sangat banyak.
“Padahal, (saya) sama sekali enggak nyerahin data KTP NIK buat hal-hal politik,” tutur Valerian, Jumat (16/8).
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta telah membuka posko pengaduan bagi warga yang identitasnya dicatut sebagai syarat mendukung paslon independen Pilkada DKI Jakarta.
Diketahui paslon independen Dharma-Kun dinyatakan lolos untuk maju dalam pertarungan Gubernur-Wakil Gubernur Pilkada DKI Jakarta mendatang. Mereka lolos usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menggelar rapat pleno verifikasi faktual kedua pada Kamis (15/8). Dharma-Kun sudah mengumpulkan syarat minimal 618.968 dukungan. Total, calon independen itu mengumpulkan 677.468 dukungan, yang diperoleh dari NIK KTP warga kala pengumuman pleno verifikasi faktual kedua.
Menurut Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, pencatutan NIK KTP terjadi di banyak tempat yang banyak calon perseorangan untuk pilkada. Karena itu, DEEP Indonesia membuka kanal posko pengaduan untuk pemilih yang namanya dicatut dan juga beum terdaftar dalam data pemilih.
“Sebetulnya, pencatutan nama ini bisa dikenai sanksi pidana karena memberikan laporan yang tidak sesuai dan menyalahgunakan data orang lain tanpa izin,” ucap Neni kepada Alinea.id, Jumat (16/8).
Neni menyebut, di situs web KPU terdapat ketidaksinkronan soal data pendukung. Sebab, di lapangan terdapat kasus, ada pemilih yang tidak terdata sebagai pendukung di situs web KPU, tetapi di portal sistem informasi pencalonan (silon) KPU terdata sebagai pendukung.
“Menurut saya, ini juga yang perlu dibenahi karena ternyata sistem KPU tidak terintegrasi,” kata Neni.
Soal dugaan pencatutan NIK KTP warga DKI Jakarta, Neni memandang, Bawaslu semestinya bisa bertindak tegas terhadap calon independen yang terbukti melakukan pencatutan. Namun, terlebih dahulu Bawaslu harus melakukan pembuktian syarat formil dan materil.
“Bawaslu perlu menindaklanjuti dengan proses penanganan pelanggaran karena ini berpotensi pidana dan banyak masyarakat yang dirugikan,” tutur dia.
Jika calon independen terbukti jelas memberikan informasi tidak benar, kata Neni, bisa dikenai sanksi pidana. Selain itu, bisa dilakukan pembatalan sebagai calon kandidat peserta pilkada, jika memang pencatutan yang dilakukan jumlahnya signifikan dan mengakibatkan tidak memenuhi syarat dukungan.
“Di manapun (daerah) yang terdapat calon perseorangannya (untuk pilkada), memang tidak ada yang benar-benar bersih 100% dukungan yang disampaikan tidak melakukan pencatutan,” ujar Neni.
“Kalau tidak dicatut, ada banyak (data) yang ganda.”