Celah sumbangan dana ilegal untuk kampanye pemilu
Hampir enam bulan ini Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana memantau transaksi mencurigakan terkait dana kampanye ilegal, yang diduga berasal dari praktik korupsi. Ia mengatakan, terjadi kenaikan signifikan laporan transaksi keuangan tunai (LKTK) pada Mei 2023, sebesar 76% dibanding April 2023.
"PPATK terus memantau pergerakan LTKT dan masuknya kripto dari LN (luar negeri) sampai berakhirnya Pemilu 2024," kata Ivan kepada Alinea.id, Senin (3/6).
Sejauh ini, pihaknya sedang mendalami gejala transaksi mencurigakan untuk kepentingan pendanaan pemilu, dengan membentuk tim analisis kolaborasi yang melibatkan pejabat terkait.
“Tim ini untuk deteksi dini politik uang dan pidana lainnya,” ucap Ivan.
PPATK juga sudah memetakan kerawanan modus pidana korupsi untuk kepentingan pemilu, melalui riset topologi dan analisis strategis. "Kerawanan terkait korupsi untuk pendanaan pemilu terjadi pada dana hibah, perizinan, dan pengadaan," kata Ivan.
Mencegah pendanaan ilegal
Humas PPATK M. Natsir Kongah menuturkan, pihaknya sudah membuat kolaborasi riset dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengidentifikasi indikasi praktik korupsi guna kepentingan dana kampanye pemilu dan pilkada.
"Di dalam hasil kajian analisis strategis tersebut, dimuat beberapa hal yang terkait, di antaranya tipologi TPPU (tindak pidana pencucian uang) terkait proses pendanaan pemilu," ucap Natsir, Selasa (4/7).
PPATK sudah menandatangani nota kesepahaman dalam upaya pencegahan pemberantasan TPPU, serta penindakan pelanggaran dan pengawasan dana kampanye di Jawa Timur pada Selasa (7/2).
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, seperti dikutip dari situs web Bawaslu, mengatakan beberapa klausul lingkup kerja sama ini akan digunakan sebagai pedoman pengawasan di lapangan, seperti pertukaran informasi, penelitian, dan sosialisasi.
Sebagai informasi, jumlah maksimal sumbangan dana kampanye untuk pemilu presiden, wakil presiden, DPR, DPRD, dan DPD diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 24 Tahun 2018 tentang Dana Kampanye Pemilu.
Pasal 10 beleid itu menyebut, dana kampanye pemilu presiden dan wakil presiden yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan paling banyak Rp2,5 miliar selama masa kampanye. Dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah paling banyak Rp25 miliar selama masa kampanye.
Lalu, pasal 16 aturan itu menyebut, dana kampanye untuk DPR dan DPRD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan paling banyak Rp2,5 miliar selama masa kampanye. Sedangkan dana kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah paling banyak Rp25 miliar selama masa kampanye.
Kemudian, pasal 22 dalam aturan yang sama menyebut, dana kampanye pemilu anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan paling banyak Rp750 juta selama masa kampanye. Sedangkan yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan, atau badan usaha nonpemerintah paling banyak Rp1,5 miliar selama masa kampanye.
Lebih lanjut, Natsir menjelaskan, PPATK sudah berusaha menutup celah pidana pencucian uang, dengan beberapa langkah. Termasuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.
"Kemudian memperbaharui penilaian risiko nasional terkait tindak pidana pencucian uang," ucap Natsir.
Selain itu, Natsir juga berkata, saat ini pihaknya sedang memantau pergerakan aset kripto yang berpotensi menjadi celah modus pencucian uang teranyar, termasuk untuk pendanaan pemilu.
Potensi praktik korupsi untuk kepentingan kampanye Pemilu 2024 sudah tercium Transparency International Indonesia (TII). Menurut peneliti TII Sahel Muzzammil, indikasi itu bakal terjadi sejak kewajiban laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) dihapus dari PKPU 34/2018. Penghapusan itu dilakukan KPU, dengan dalih tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Penghapusan kewajiban untuk adanya LPSDK, jelas kita lihat sebagai kemunduran dalam kualitas dan integritas penyelenggaraan pemilu," kata Sahel, Senin (19/6).
Sebelumnya, dalam rapat dengan pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR bersama Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di DPR, Jakarta, Senin (29/5), KPU menyatakan menghapus LPSDK dari peserta pemilu kepada KPU.
Selain alasan LPSDK tak diatur dalam UU Pemilu, anggota KPU Idham Holik mengatakan, KPU menghapus ketentuan itu karena masa kampanye Pemilu 2024 lebih singkat dibandingkan Pemilu 2019.
“Singkatnya, masa kampanye mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK,” kata Idham, seperti dikutip dari Antara.
Alasan lainnya karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye itu telah dimuat dalam laporan awal dana kampanye (LADK) dan laporan penerimaan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).
Padahal pada Pemilu 2019, LPSDK diwajibkan bagi peserta pemilu, seperti diatur dalam PKPU 34/2018. Sebelum dihapus, dalam aturan itu disebut, peserta Pemilu 2019 harus menyusun pembukuan penerimaan sumbangan dana kampanye yang diterima setelah pembukuan LADK, lalu menyampaikan laporan itu kepada KPU sesuai tingkatannya.
Imbas penghapusan LPSDK
Sahel berpendapat, penghapusan kewajiban LPSDK ini bakal punya dampak turunan, yakni maraknya korupsi politik berupa pengumpulan dana sumbangan ilegal, baik jumlahnya yang melampaui batas atau berasal dari sumber yang dilarang.
"Sumbangan demikian jelas bukan sumbangan cuma-cuma. Kelak itu akan dibayar oleh politisi dengan cara yang kita sebut korupsi," ucap Sahel.
Penghapusan LPSDK, lanjut Sahel, juga akan memberi keleluasaan persekongkolan jahat antara pengusaha dengan politisi. Imbasnya, dapat melahirkan aturan sesuai pesanan pemodal kampanye saat pemilu.
"Perkawinan pengusaha dan penguasa yang seolah direstui setelah hapusnya LPSDK ke depan akan menjelma ke dalam kebijakan yang tidak berkeadilan dan tidak menyejahterakan,” tuturnya.
“Di sisi lain, kredibilitas pemilu sebenarnya juga tengah dipertaruhkan.”
Pimpinan KPU saat ini, kata Sahel, sudah berulangkali memberi angin segar kepada peserta Pemilu 2024 untuk bertindak tak transparan. Sebelumnya, menurut Sahel, KPU pun mengakali masa jeda bagi para mantan narapidana korupsi. Belum lagi masalah lainnya.
"Ada penghapusan kewajiban pelaporan harta kekayaan, ada tahapan sosialisasi yang tidak pernah diatur jelas, dan seterusnya. Jadi sekarang publik mulai bertanya-tanya, kenapa semua ini kok rasanya mengarah pada politik yang busuk," ucap Sahel.
Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengungkapkan, dampak penghapusan LPSDK adalah menurunnya transparansi penyelenggaraan pemilu.
"LPSDK merupakan instrumen bagi pemilih sebagai salah satu indikator untuk menentukan pilihan politiknya," kata Khoirunnisa, Senin (19/6).
LPSDK, kata Khoirunnisa, merupakan saluran publik untuk menelusuri sumbangan kampanye kontestan pemilu. "LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014, Pilkada 2015, 2017, 2018, 2020, dan Pemilu 2019,” katanya.
“Dan tidak ada masalah dengan penerapan LPSDK ini.”
Mekanisme LPSDK, ujarnya, cukup berhasil meningkatkan transparansi partai politik di beberapa edisi pemilu sebelumnya. Di samping transparansi, senada dengan Sahel, Khoirunnisa menyebut, penghapusan LPSDK bisa membuat lebar potensi sumbangan ilegal, yang berasal dari praktik korupsi.
"Kalau LPSDK dihapus, maka kita tidak bisa mengetahui gambaran sumbangan yang diterima oleh partai politik. Menurut saya, tidak pas kalau alasannya (LPSDK) tidak diatur di undang-undang," ucap Khoirunnisa.
Indikasi perilaku pejabat korup yang meningkat menjelang Pemilu 2024, ujar koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, sudah terlihat dari kasus yang menjerat Bupati Meranti Muhammad Adil.
Adil ditangkap KPK pada Kamis (6/4) atas tiga kasus dugaan korupsi, yakni suap pengadaan jasa umrah, fee proyek dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Meranti, dan suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Riau. Uang haram hasil korupsi itu, menurut KPK, dipakai Adil sebagai dana operasional kegiatan safari politik untuk kepentingan dirinya maju dalam Pilgub Riau 2024.
"Pencegahan yang dilakukan KPK menurut saya saat ini gagal total. Mestinya KPK bisa menekan pemerintah atau setidaknya bekerja sama dengan pemerintah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik," kata Boyamin, Kamis (6/7).
Boyamin memandang, bila pencegahan KPK berjalan baik, kasus suap promosi jabatan tidak akan terjadi menjelang pemilu. Namun, saat ini banyak pejabat di daerah berlomba mendapatkan promosi strategis dengan suap.
"KPK belum mengikis sedikitpun. Bahkan sekarang makin tambah di tahun-tahun politik seperti ini. Sudah 4 tahun ini menurut saya gagal dan tidak ada perbaikan," ucap Boyamin.
Praktik korupsi yang bakal marak menjelang pemilu, menurut Boyamin karena tak ada lagi mekanisme yang transparan. Akibatnya, caleg atau capres bisa dengan mudah disponsori oleh dana ilegal dari kartel politik yang hendak menggunakan kekuasaan guna memonopoli bisnis.
“Dalam hal ini, KPK benar-benar gagal dalam melakukan pencegahan, sehingga banyak kepala daerah melakukan korupsi,” ujarnya.
“Karena memang dia ingin meneruskan jabatannya dan meneruskan dinasti pada anak-cucunya atau membiayai politik ke level lebih tinggi.”
Di sisi lain, Sahel menerangkan, KPU harus mengaktifkan lagi, bahkan meningkatkan efektivitas LPSDK bagi peserta pemilu, supaya tak ada praktik korupsi. Ketidakdisiplinan dalam pelaporan LPDSK juga bisa diganjar dengan sanksi paling berat berupa diskualifikasi bagi calon terpilih. Selain itu, Sahel memandang, KPU perlu melakukan evaluasi terhadap serangkaian blunder yang dilakukan.
"Kita tentu tidak ingin Pemilu 2024 tercatat sebagai pemilu terburuk di era reformasi," ujar Sahel.
Alinea.id sudah berusaha mengonfirmasi mengenai temuan PPATK, yang mendeteksi dugaan transaksi korupsi untuk kepentingan pendanaan kampanye Pemilu 2024 kepada Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan juru bicara KPK Ali Fikri. Namun, keduanya belum merespons.