Cengkeraman dinasti politik di pilkada seantero Banten
Kandidat dari dinasti politik bertaburan di pilkada-pilkada seantero Banten. Setidaknya ada empat keluarga politik yang memasang kandidat mereka di pilkada-pilkada di provinsi berjuluk Tanah Jawara itu. Ada yang langsung didapuk jadi calon wali kota atau bupati. Ada pula yang hanya sekadar jadi pendamping.
Keluarga besar Tubagus Chasan Sochib jadi yang paling dominan menurunkan para kandidat. Tubagus Chasan ialah ayah dari eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Akrab disapa dengan sebutan Haji Hasan, Tubagus Chasan merupakan politikus Golkar semasa hidup. Tubagus meninggal pada 2011.
Di Pilgub Banten 2024, keluarga itu diwakili mantan Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Airin Racmi Diany. Adik ipar Ratu Atut itu sudah resmi diusung Golkar dan PDI-Perjuangan sebagai cagub Banten. Airin berpasangan dengan Ketua DPD PDI-P Banten Ade Sumardi.
Pada level pilwalkot dan pilbup, setidaknya ada tiga kandidat yang berasal dari dinasti politik Tubagus Chasan. Di Serang, putra Ratu Atut, Andika Hazrumy maju sebagai calon bupati. Ia berpasangan dengan Nanang Supriatna yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Serang. Andika adalah Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022.
Di Tangsel, Pilar Saga Ichsan kembali mendampingi Benyamin Davnie sebagai calon Wakil Wali Kota Tangsel. Pilar Saga merupakan keponakan Ratu Atut atau anak dari Ratu Tatu. Ratu Tatu adik dari Ratu Atut. Sebelumnya, Pilar Saga menjabat sebagai Wakil Wali Kota Tangsel periode 2016-2021.
Adapun di Serang, dinasti Tubagus Chasan menurunkan Ratu Ria Maryana, adik tiri Ratu Atut. Ratu Ria maju sebagai calon Wali Kota Serang. Saat ini, Ratu Ria menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Serang 2019-2024. Berpasangan dengan Subadri Ushuluddin, Ratu Ria mengantongi dukungan dari 10 parpol.
Kandidat-kandidat dari dinasti politik Mulyadi Jayabaya juga turun gelanggang. Mulyadi ialah Bupati Lebak periode 2003-2013. Setelah lengser, kursi Bupati Lebak "diserahkan" kepada Iti Octavia Jayabaya, putri Mulyadi.
Pada pilkada kali ini, Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya, mencoba melanjutkan dinasti politik keluarganya di Lebak. Hasbi ialah adik dari Iti. Sebelum mencalonkan diri sebagai Bupati Lebak, Hasbi ialah anggota DPR periode 2019-2024 dari PDI-P.
Kandidat dari keluarga Mulyadi lainnya adalah Diana Drimawati Jayabaya. Diana salah satu putri Mulyadi. Berstatus sebagai anggota DPRD Banten 2019-2024, ia maju sebagai calon Wakil Bupati Pandeglang. Diana mendampingi calon bupati dari Partai Golkar, Fitron Nur Ikhsan.
Di Tangerang, regenerasi kepemimpinan juga tengah dilakukan keluarga politik Ismet Iskandar. Ismet adalah Bupati Tangerang selama dua periode, yakni 2003-2008 dan 2008-2013. Putra Ismet, Ahmed Zaki Iskandar, juga menjabat sebagai Bupati Tangerang selama dua periode, yakni 2013–2018 dan 2018-2023.
Namun, pada Pilgub Tangerang 2024, keluarga Ismet hanya mendapatkan "jatah" calon wakil bupati. Adik Zaki, Intan Nurul Hikmah sudah resmi diusung sejumlah parpol jadi pendamping Mochamad Maesyal Rasyid. Maesyal ialah mantan Sekda Kabupaten Tangerang.
Di Pandenglang, keluarga Natakusumah juga sedang mendesain estafet kepemimpinan. Pada pilkada kali ini, Raden Dewi Setiani, adik Ahmad Dimyati Natakusumah telah resmi diusung jadi kandidat Bupati Pandeglang. Sebelumnya, Dewi adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pandeglang.
Pandeglang sudah hampir dua dekade dikuasai keluarga Natakusumah. Ahmad Dimyati menjabat Bupati Pandeglang pada periode 2000-2005 dan periode 2005-2009. Pada 2016-2021, jabatan Bupati Pandeglang dipegang istri Dimyati, Irna Narulita. Saat ini, Ahmad Dimyati maju sebagai pendamping Andra Soni di Pilgub Banten.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menilai maraknya perwakilan dinasti politik di pilkada-pilkada Banten mengindikasikan sejumlah hal. Pertama, kultur politik masyarakat Banten masih sangat tradisional.
Kedua, adanya upaya regenerasi kepemimpinan yang masif di kalangan keluarga dinasti politik di Banten. Ketiga, buruknya pola kaderisasi dan rekrutmen calon pemimpin yang dilakukan partai politik.
"Kondisi ini telah melapangkan jalan bagi dinasti-dinasti politik untuk terus berkuasa. Sementara di Banten model kekuasaan dinastik justru dipenuhi catatan hitam. Banyak yang terlibat korupsi. Beberapa bupati, wali kota dan bahkan gubernur Banten (Ratu Atut) pernah menjadi terpidana kasus korupsi," ucap Zaki kepada Alinea.id, Jumat (8/9).
Pola konsolidasi kekuasaan yang dilakukan dinasti politik di Banten tak seragam. Menurut Zaki, dinasti Tubagus Chasan Sochib cenderung menggunakan Golkar sebagai kendaraan politik untuk berkuasa. Airin, misalnya, sudah bersama Golkar sejak jadi Wali Kota Tangsel.
"Sementara dinasti Natakusumah dan Jayabaya menggunakan banyak jalur parpol bagi survival keluarga besarnya dalam politik di Banten. Keluarga Natakusumah, misalnya, ada yang menggunakan kendaraan politik PKS, PDI-P, Demokrat," ucap Zaki.
Zaki berpendapat politik dinasti bakal terus tumbuh subur selama budaya feodal masih kuat dan angka kemiskinan tinggi. "Kultur politik yang dikendalikan dinasti politik dalam jangka panjang akan merugikan warga Banten sendiri," imbuhnya.
Selain diramaikan kandidat-kandidat dari dinasti politik yang sudah mapan, ada pula keluarga politik baru yang mencoba peruntungan di pilkada-pilkada Banten. Pada Pilbup Serang, muncul nama Ratu Rachmatuzakiyah.
Berkarier sebagai aparatur sipil negara di Kementerian Agama Kabupaten Serang, Rachmatuzakiyah adalah istri dari Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga sekaligus Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto.
Tak lagi mencalonkan diri jadi Gubenur Banten, Wahidin Halim menurunkan putranya, Mohammad Fadhlin Akbar, di gelanggang politik. Di Pilwalkot Tangerang, Fadhlin resmi mendampingi Faldo Maldini sebagai calon wakil wali kota.
Membatasi dinasti
Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy merinci sejumlah faktor yang menyebabkan dinasti politik tumbuh subur di Banten. Pertama, kuatnya modal finansial dan politik dari keluarga Tubagus Chasan cs.
"Kemudian, faktor kapital sosial dan koneksi. Dinasti politik yang kuat memiliki jaringan luas dengan elite politik, birokrasi, dan pengusaha, yang memudahkan penguasaan jalur politik bagi anggota keluarganya tersebut," ucap pria yang akrab disapa Memed itu kepada Alinea.id, Jumat (6/9).
Faktor lainnya ialah pragmatisme parpol. Kebanyakan parpol cenderung lebih memilih mendukung calon dari keluarga politik karena dianggap lebih memiliki peluang menang. Resistensi sebagian masyarakat terhadap politik dinasti dikesampingkan.
"Publik sering kali melihat dinasti politik yang sudah berkuasa sebagai figur yang terbukti mampu memimpin, meskipun hal ini terkadang berakar pada pengaruh atau pencitraan politik," ucap Memed.
Meskipun memperburuk kualitas demokrasi elektoral, menurut Memed, hingga kini tidak ada regulasi yang membatasi dinasti politik. Pemerintah dan DPR, kata dia, seharusnya membentuk regulasi atau merevisi UU Pilkada supaya memagari estafet kepemimpinan bermodel politik dinasti.
"Selama regulasinya masih tetap, maka parpol dan pemilih tetap saja membuka ruang untuk melanggengkan dinasti politik. Kiranya komponen NGO, civil society, atau penggiat demokrasi menghadang laju tersebut dengan melakukan judicial review atau menekan untuk merevisi UU yang ada," ujar Memed.