Centang perenang komunikasi politik Jokowi
Beberapa waktu lalu saat gelombang protes terhadap UU MD3 menguat, Presiden Joko Widodo curi panggung dengan berkoar-koar soal keengganannya meneken UU itu. Tak ayal sikap Jokowi ini direspon dingin sejumlah aktivis, yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil tolak UU MD3. Salah satu pegiatnya yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, menganggap sikap Jokowi tak lebih dari sekadar aksi akrobat politik.
Menurutnya, akrobat politik itu tampak dari sikap presiden dan pernyataannya yang enggan menandatangani UU MD3, tapi kemudian mempersilakan publik untuk menggugat ke MK. Berangkat dari situ, Roy memandang Jokowi sebagai pemimpin yang miskin keberanian terutama saat dihadapkan pada masalah. Di matanya, mantan Walikota Solo itu dinilai latah melempar bola panas, namun meminta bawahannya untuk menyelesaikan. "Lempar batu sembunyi tangan," katanya pada Alinea.
Bukan hanya sekali ada blunder dalam langgam komunikasi Jokowi. Sebelumnya dalam pertemuan dengan peserta forum Brookings Institution Amerika pada 2015, Jokowi juga melempar pertanyaan dari audiens kepada menteri-menterinya dan enggan menjawab sendiri. Saat dimintai respons soal film “Dilan” yang ia tonton bersama putrinya pun, Jokowi mengomentari dengan terbata.
Yang terbaru, saat polemik sertifikasi lahan mengemuka, Jokowi juga tak terang-terangan bicara. Justru Luhut Binsar Pandjaitan yang vokal menanggapi isu ini. Bahkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman itu tak ragu merespons kritik Amien Rais sebagai upaya penjatuhan kredibilitas jelang pemilu, jika tak disertai bukti-bukti yang memadai. Luhut juga kedapatan mengancam akan mencari dosa-dosa politik politisi PAN tersebut.
Kendati pihak istana lewat staf khusus presiden bidang komunikasi Johan Budi menegaskan, pernyataan luhut bukan cerminan sikap Jokowi. Namun publik terlanjur bereaksi, menghubungkan Jokowi dengan ancaman Luhut.
Peneliti Poltracking Ali Rif’an menulis, kepercayaan publik pada Jokowi-JK bisa tergerus, ketika problem komunikasi yang centang perenang ini tak segera dirampungkan. Ia menilai selama memimpin Indonesia, ketidaksesuaian pernyataan-pernyataan yang muncul dari Istana, baik antara presiden dan wakil presiden, antara presiden dan para menteri, ataupun antarmenteri kerap terjadi.
Ia mencontohkan beda pendapat antara Jokowi dan JK tentang isu reshuffle kabinet beberapa waktu lalu. Kemudian saat pembentukan staf khusus kepresidenan pun, JK mengaku tak diajak komunikasi tentang itu. Dalam problem UU MD3 pun, Jokowi juga mengaku tak mendapat laporan dinamika sidang DPR dari menterinya Yasona Laoly. Akibatnya, muncul berbagai reaksi yang cenderung mengarah pada karut marutnya koordinasi dan komunikasi Jokowi dan “para pembantunya.
Saat penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang kenaikan tunjangan uang muka pembelian mobil pejabat negara. Kala itu Jokowi mengatakan, ketika meneken perpres tersebut ia tidak memeriksa lebih detail isi rancangan perpres. Meskipun akhirnya ia tergesa-gesa membatalkan perpres tersebut, namun kejadian itu kian mengukuhkan komunikasi orang-orang di lingkaran elit Istana yang sangat amburadul. Apalagi, atas terbitnya perpres yang diteken sendiri itu, Presiden Jokowi juga sempat menyalahkan anak buahnya.
Disharmoni dan kegagalan komunikasi antara Jokowi dan orang-orang di lingkaran kekuasaan, menurutnya jadi isu yang krusial. Pengamat politik dari Universitas Indonesia Rocky Gerung, dalam wawancara dengan CNN beberapa waktu lalu menilai, Jokowi adalah figur yang kurang wawasan.
“Sebagai negarawan, dia sosok yang baik, tapi untuk wawasan, terhitung sangat minim,” tandasnya. Padahal menurutnya presiden harus dibekali dengan kemampuan mengolah isu. Namun itu tak terlihat dari sosok Jokowi.
Merujuk pada tradisi di Amerika Serikat, di mana presiden di sana diperkuat dengan kalangan west wing atau orang-orang di lingkar kekuasaan, yang mampu menguraikan gagasan yang lebih baik. Maka Rocky berharap west wing Jokowi bisa menjalankan peran serupa. Namun sayangnya, melihat berbagai peristiwa dewasa ini, Jokowi kerap miskomunikasi dengan para menterinya.
Ia mencontohkan kebiasaan presiden Indonesia zaman dulu yang kerap mengundang para sineas, filsuf, dan kalangan akademisi untuk mengolah isu. “Jadi ketika diminta pendapat soal film contohnya, bisa enak menjawab, karena punya basic,” imbuhnya.
Membandingkan jurus komunikasi politik presiden terdahulu
Mengutip teori “Great Man Theories” versi van Wagner, ada seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin besar. Soekarno merupakan presiden yang masuk kategori ini karena hampir semua karakter ideal ada padanya, seperti tegas, berani, empatik, dan haus akan ilmu.
Tjipta Lesmana dalam bukunya bertajuk “Dari Soekarno sampai SBY” (2009) menulis, Soekarno menghabiskan waktunya melahap buku para pemikir seperti Karl Marx, Engels, Lenin, Mao Je-dong, John Locke, hingga Marthin Luther. Dibesarkan dalam nuansa revolusi juga membuat wawasannya kian terbuka. Alhasil ia tak pernah gagap saat menganalisis peristiwa dan situasi sosial politik.
Pria yang dijuluki singa podium itu selalu lantang menguraikan segala hal dalam kaitannya dengan negara yang ia pimpin, tanpa keraguan. Yang utama, dalam segala situasi, ia selalu sukses membangkitkan semangat rakyat dan membuat mereka mengamini pidatonya.
Berbeda dengan Soekarno, Soeharto selalu bicara seperlunya. Tak jarang dengan bahasa non verbal dan penuh isyarat yang hanya dimengerti menteri-menterinya. Muladi yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM berkisah, jika Soeharto tak suka, dia akan komentar. Contohnya saat merespons UU Anti-subversi yang memicu konflik sosial. Soeharto selalu berdalih, “Ya nanti saja.” Frase “nanti saja” ini membungkam semua orang yang ingin mengkritisi Soeharto. Untuk menolak usulan menterinya, dia berkata “Nanti saya pertimbangkan.”
Bicara Soeharto yang oleh Tjipto disebut kental dengan kultur Jawa dan kepura-puraan, membuat publik berhati-hati bicara dengannya. Apalagi dalam banyak situasi, Soeharto bicara dengan bahasa kekerasan alias diwakili pentungan militer.
Presiden-presiden berikutnya seperti BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid yang notabene merupakan pemimpin yang doyan baca buku, membuat kebijakan yang diambil cenderung tak populis dan mengejutkan. Gebrakan Gus Dur menghapus peraturan yang mendiskreditkan etnis Cina juga dinilai sangat timpang dengan kebijakan sebelumnya. Termasuk caranya berkomunikasi dengan bahasa yang ringan namun tetap berbobot, membuat ia jadi figur pemimpin yang selalu dinantikan kejutan-kejutannya.
Sementara Megawati dan SBY menerapkan jurus komunikasi politik yang berbelit dan cenderung tak langsung pada tujuan. Bahkan Mega dianggap sebagai orang yang cenderung alergi terhadap kritik, sehingga kerap reaktif ketika dihujani kritik dari publik. Demikian halnya dengan SBY yang dikenal “baper” saat dihadapkan pada komentar yang berseberangan dengannya.
Selain itu ia juga selalu hati-hati menganalisis setiap kata yang hendak dikeluarkan. Muladi menilai pernyataan SBY selalu dianalisis dengan cermat sehingga diperoleh konteks yang tinggi. Ia kerap menggunakan analogi dalam menggambarkan persoalan. Publik harus menginterpretasi sendiri. Ia juga mirip pendahulunya, Soeharto, yang tidak berbicara langsung, karena hanya menyentuh hakikat persoalan.
Beda dengan SBY, Jokowi dinilai sebagai figur yang senang berbicara secara spontan. Ia juga selalu menjawab pertanyaan atau menggulirkan pernyataan dengan sekadarnya. Rocky Gerung menilai, Jokowi adalah figur yang miskin gagasan. Solusinya hanya memperkuat posisi orang-orang di lingkar kekuasaannya (west wing) untuk mengolah isu. Kemudian Jokowi harus bisa menerjemahkan ringkasan pemikiran dari orang-orang di sekitarnya, supaya lebih berbobot saat merespons isu.