Telepon di kediaman Boediono berdering, Selasa malam itu. Di kalender tertera tanggal 7 Agustus 2001. Jam menunjukkan sekitar pukul 20.00 WIB.
Boediono buru-buru mengangkat telepon. Dari seberang sambungan telepon, suara Megawati Sokarnoputri terdengar. Saat itu, Mega, sapaan Megawati, ialah orang nomor satu di republik. Tanpa banyak basa-basi, Mega langsung 'menembak' Boediono.
"Langsung mengatakan dan menawarkan posisi sebagai Menkeu (Menteri Keuangan) di kabinet beliau (Kabinet Gotong Royong) yang baru akan dibentuk beberapa hari lagi," tutur Boediono di acara perayaan ulang tahun Mega yang ke-72 di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Rabu (23/1).
Ketika itu, Boediono bukan orang baru di pemerintahan. Pada periode 1998-1999, pria kelahiran Blitar 25 Februari 1943 itu tercatat menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Namun, menurut Boediono, ia tak pernah sekalipun bertatap muka dengan Presiden RI ke-5 itu. Karena itu, Boediono kaget tiba-tiba dihubungi putri sulung Bung Karno itu. Tapi, kaget Boediono tak lama. Pinangan Mega pun ia terima.
"Akhirnya saya tarik kesimpulan bahwa Bu Mega pasti dapat informasi dari orang yang dipercayai mengenai saya. Karena, sama sekali belum pernah bertemu," kata dia.
Boediono pun menyimpulkan, pinangan via telepon itu menunjukkan gaya Mega memimpin Kabinet Gotong Royong. Mega tak bakal mempekerjakan orang yang tak ia percayai dan percaya sepenuhnya pada orang yang ia pekerjakan.
"Team work ini terjadi apabila ada trust (kepercayaan) antara kita (para pembantu presiden dan presiden). Kepercayaan yang diberikan oleh pemimpin menjadi kekuatan dalam sebuah tim," tuturnya.
Dikatakan Boediono, gaya kepemimpinan Mega membuat para menteri bebas berkreasi dan otonom dalam mengeluarkan keputusan. Intervensi Mega terasa minim. "Semuanya. Tetapi, tetap dalam koridor anggaran belanja negara," ujarnya.