Cerita di balik kegamangan Prabowo
Merujuk pada berbagai hasil survei elektabilitas lembaga survei, Prabowo digadang-gadang menjadi rival terberat Jokowi di pilpres 2019. Dengan perolehan kursi partainya di Senayan, ia bisa melenggang dengan menggandeng satu kekuatan partai saja, PKS misalnya. Namun hingga kini, ia belum memutuskan siapa calon presiden (capres) yang akan diusung pengurus Gerindra pusat. Apakah tetap mengajukan wajah lama laiknya pilpres 2014, atau kader lainnya.
Wacana calon alternatif selain Prabowo yang diusung Gerindra memang sempat menguat. Salah satunya yang didengungkan oleh kader Gerindra Sandiaga Uno, bahwa Anies Baswedan bisa jadi kandidat yang tepat, alih-alih Prabowo. Namun lagi-lagi kepengurusan pusat Gerindra yang punya otoritas memutus kandidat yang diusung partai mereka.
Sementara itu, sejumlah Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerindra sudah banyak yang mendeklarasikan mantan menantu Soeharto itu sebagai capres. Termasuk yang terbaru DPD Gerindra DKI Jakarta. Deklarasi dukung Prabowo di Jakarta, disampaikan Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik, pada acara yang dihadiri ribuan kader dan simpatisan partai di Lapangan Arcici, Jakarta, Minggu (11/3).
Taufik yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta menjelaskan pengusungan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, dilakukan berdasarkan keinginan masyarakat.
"Kami merekam keinginan masyarakat Jakarta. Perekaman itu kami jalankan secara serius dari kelurahan, rukun warga, dan rukun tetangga," katanya, dilansir dari Antara.
Ia berharap DPP Partai Gerindra menerima keinginan masyarakat dan deklarasi tersebut. Sebab menurutnya Prabowo adalah figur tepat untuk menjadi calon pemimpin Indonesia di periode depan.
Beberapa waktu lalu Wakil Ketua Gerindra, Ahmad Reza Patria juga bercerita pada Alinea, Prabowo menjadi sosok ideal untuk jadi Presiden Indonesia. Pernyataan Reza didasari atas penilaian pada sosok Prabowo yang menurutnya sudah teruji. Di matanya, mantan suami Titik Soeharto itu sangat sederhana, selalu berbuat terbaik bagi negara, dan merupakan sosok negarawan sejati.
“Suara partai bulat berpihak pada Prabowo. Kami yakin dan optimis ia bisa jadi Presiden Indonesia di periode mendatang,” tandasnya.
Sementara itu, ihwal masih nihilnya putusan Gerindra pusat soal pencalonan Prabowo, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra Ahmad Muzani menilai, ada banyak pertimbangan sebelum mencalonkan diri.
"Masih berpikir apakah dukungan partai ini masih cukup? Apakah rakyat masih menghendaki? Apakah rakyat masih mendukung? Apakah beliau sanggup mengatasi masalah berat kehidupan berbangsa? Apakah beliau bisa membuat Indonesia kembali berjaya? Beliau masih berpikir," ujarnya dalam acara di Arcici.
Di balik keraguan Prabowo, Muzani mengimbau para simpatisan dan kader partai untuk bersabar menunggu putusan. Namun ia mengaku akan tetap meneruskan desakan kepengurusan Gerindra di daerah pada Prabowo. “Pada waktu yang tepat beliau akan memberikan jawaban," ucapnya.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Kuskrido Ambardi merangkum dua pertimbangan Prabowo untuk berlaga kembali di garda depan. Pertama mengenai hitungan kans kemenangan. Kendati sudah meraup dukungan partai, namun Prabowo memandang perlu mempertimbangkan peluang kemenangannya. Elektabilitas yang tinggi, menurut berbagai lembaga survei, memang jadi salah satu faktor yang menentukan, namun bukan sepenuhnya. Apalagi yang dilawan adalah pemimpin petahana yang sudah disokong dukungan koalisi partai yang relatif gemuk.
Kemudian, mengingat ia telah dua kali mengalami kekalahan, sebagai cawapres Megawati di pilpres 2010 dan capres berpasangan dengan Hatta Rajasa di pilpres 2014. Maka, kekalahan beruntun selama dua periode berturut-turut, mau tak mau memaksa Prabowo untuk berpikir ulang, apakah akan tetap maju atau memilih menjadi ‘King Maker’. Ini yang menjadi latar pertimbangan kedua menurut pengamat yang akrab disapa Dodi tersebut.
“Prabowo tengah menghitung lagi, keuntungan dan kerugian politik jika ia mencalonkan diri,” ungkapnya pada Alinea, Senin (12/3).
Seperti yang terjadi pada dinamika PDIP, ketika Megawati memilih mengusung Jokowi sebagai capres, alih-alih dirinya sendiri. Sebab kekuasaan tak melulu diatur di depan panggung, sehingga ia memilih menjadi ‘King Maker’ Jokowi baik di pilpres 2014 maupun pilpres mendatang.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfaraby menyampaikan dua asumsi yang mendasari lambannya Prabowo mengambil keputusan. Menurutnya, bisa jadi Prabowo hanya tengah memainkan drama tarik ulur saja. “Sebenarnya Prabowo sedang menunggu momentum yang pas, termasuk memantau dinamika politik yang berkembang. Baru kemudian akan secara resmi menerima atau mendeklarasikan diri sebagai capres,” ungkapnya.
Pernyataan tersebut sangat beralasan, mengingat dinamika politik bisa berlangsung demikian cepat. Bahkan menurut Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, popularitas dan peluang kemenangan politik tak diukur dari kerja yang lama. Bisa jadi, lanjutnya, ia dilihat dari beberapa bulan terakhir jelang pemilu.
Itulah yang terpotret dari kejatuhan Ahok pada pemilihan gubernur DKI tahun lalu. Meski sempat dijadikan media darling dan dielu-elukan sejumlah kalangan masyarakat, ia bisa langsung jatuh mendekam di bui hanya karena manuver yang keliru.
Alasan kedua menurut Adjie disebabkan karena penjajakan dengan partai lain untuk membangun koalisi baru. Artinya, Prabowo bisa masuk ke poros lain seperti poros Jokowi atau poros ketiga bersama Demokrat (jika jadi). “Bisa juga Prabowo tengah menimbang pengusungan calon lain untuk diusung poros Gerindra. Sebab bagi saya munculnya dukungan dari DPD tak lebih dari strategi menghidupkan wacana Prabowo sebagai capres belaka,” urainya.
Di sisi lain, kini sudah ada lima partai peserta pemilu yang akan mengusung Jokowi sebagai capres di pilpres 2019. Partai-partai itu adalah, PDIP, Hanura, PPP, Nasdem, dan Golkar. Selain itu, dua partai baru peserta pemilu, yakni PSI dan Perindo juga menyatakan mendukung Jokowi. Sementara Demokrat, PKB, dan PAN belum menyatakan sikap politiknya.