Cerita di balik "raibnya" draf final RUU Ciptaker
Mengenakan batik berwarna cokelat bercampur kuning, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas membuka rapat kerja bersama pemerintah dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di ruang Baleg, DPR, Senayan, Jakarta, Sabtu (3/10) sekitar pukul 21.00 WIB.
Setelah memperkenalkan diri sebagai Ketua Baleg sekaligus Ketua Panja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), politikus Gerindra itu kemudian melaporkan kinerja Panja selama enam bulan. Supratman mengklaim semua daftar inventarisasi masalah (DIM) sudah digarap.
Pelantang kemudian beralih ke Wakil Ketua Panja RUU Ciptaker Willy Aditya. Setelah mengulas kerja keras anggota Panja, pemerintah, DPD, dan pihak-pihak terkait dalam pembahasan, Willy sampai pada penghujung laporan.
"Panja berpendapat bahwa RUU dilanjutkan ke pembahasan tingkat II, yakni pengambilan keputusan agar RUU tentang Cipta Kerja ditetapkan sebagai undang-undang," kata politikus NasDem itu tanpa membacakan naskah final RUU Ciptaker.
Rapat kemudian berlanjut ke agenda mendengarkan pandangan mini fraksi-fraksi, pemerintah, dan perwakilan DPD. Tujuh fraksi pendukung pemerintah setuju RUU dilanjutkan ke pembahasan tingkat II. Hanya Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak.
Dari pihak pemerintah, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang hadir mengapresiasi kinerja Baleg dan DPR dalam membahas dan merumuskan RUU sapu jagat itu. Khusus untuk Demokrat dan PKS, Airlangga berpesan, pemerintah masih membuka ruang dialog.
"Apabila diperlukan, kami siap hadir di fraksi PKS atau Demokrat sambil kita menunggu rapat paripurna," ujar Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Dua hari berselang, rapat paripurna digelar di DPR. Dipimpin Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, RUU Ciptaker diketok. PKS protes, Demokrat walk out. Sebagaimana rapat di Baleg, naskah final RUU Ciptaker kembali "absen".
Sumber Alinea.id di DPR mengatakan, wajar jika naskah final RUU Ciptaker terkesan disembunyikan. "Sampai dengan hari terakhir itu, belum selesai pekerjaan (menyusun draf) ini. Apa yang mau dilaporkan ke tim perumus? Tapi, deadline waktu kan sudah (ada)," kata dia.
Sumber Alinea.id turut ikut hadir dalam sejumlah rapat pembahasan RUU Ciptaker yang digelar di beberapa hotel di Tangerang, Banten, pada 25-27 September. Di situs dpr.go.id, rapat-rapat yang terkesan diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi itu tidak tercatat dalam kronologi pembahasan RUU Ciptaker.
Meskipun digelar jauh dari Gedung DPR dan nyaris tak terpantau media, rapat antara Panja RUU Ciptaker dan pemerintah berlangsung alot. Pada rapat di Swis-Belhotel, Tangerang, Minggu (27/9), hujan skors deras. Untuk mengebut pembahasan, Supratman mengusulkan rapat setengah kamar.
"Bukan deadlock. Itu kita menskorsing kurang lebih mungkin ada lima kali. Sampai kemudian keputusan diambil itu (ada) 32 kali (skorsing)," kata Supratman kepada Alinea.id, Kamis (15/10).
Selain pasal-pasal terkait klaster ketenagakerjaan, menurut sang sumber, tidak ada lagi pembahasan mendalam terkait substansi. "Pasal banyak begitu enggak mungkin diubah dalam tempo lima bulan kan? Yang terjadi di Panja, ya, ketok-ketok aja," kata dia.
Pembahasan terakhir antara panja dan pemerintah berakhir pada 29 September 2020. Naskah yang disepakati kemudian dibawa untuk disusun tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin). Sebuah hotel di Cianjur, Jawa Barat, dipilih jadi venue rapat timus dan timsin.
Dalam dokumen naskah mentah bertanggal 30 September yang didapat Alinea.id, terlihat masih ada belasan pasal yang mesti dirumuskan redaksionalnya dan disinkronisasi dengan UU terkait lainnya. Total ada lebih dari 6.000 kata yang dimerahkan pada naskah RUU itu.
Karena beragam kendala teknis, timsus dan timsin baru bekerja pada 1 Oktober. Jika mengacu pada jadwal rapat pengesahan tingkat I pada 3 Oktober, maka timsus dan timsin hanya bekerja selama dua hari untuk merevisi naskah yang penuh tanda merah itu.
"Jadi, memang pengambilan keputusan di tingkat satu belum ada naskah karena belum selesai. Apa yang mau dibacakan? Ini (draf) belum ditandatangani, apa yang mau dibaca?" ujar sumber Alinea.id.
Lebih jauh, ia mengatakan, perumusan naskah final hanya melibatkan tim dari Panja RUU Ciptaker dan pemerintah. Pihak pengusaha dan buruh tidak dilibatkan.
Hal itu dibenarkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Ia mengatakan, Apindo hanya diundang sekali untuk memberi masukan sepanjang pembahasan RUU Ciptaker.
"Seolah-olah kayak dituduh pengusaha yang mendalangi, yang membiayai. Gila aja tuh. Apa urusan kita? Kita juga diminta pendapat. Itu enggak benar," kata Hariyadi saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (14/10).
Ketua Komite Tenaga Kerja dan Jaminan Sosial untuk Upah Apindo, Aloysius Budi Santoso ikut mengamini pernyataan Hariyadi. "Diskusi sampai keputusan final adanya di pemerintah dan DPR. Jadi, enggak pernah ada nanti diskusi kemudian ada kesepakatan," kata Aloysius.
Dalih menghemat biaya
Draf final RUU Ciptaker hingga kini masih misteri. Menurut tenaga ahli (TA) Ketua Komisi IX DPR RI Felly Estelita Runtuwene, Faisal Pranoto, hingga kini naskah final RUU sapu jagat itu masih belum dibagikan ke anggota DPR selepas disahkan di rapat paripurna.
"Saat paripurna naskah resmi itu enggak ada. Biasanya itu bakal dikirimin kalau sudah diparipurnakan. Tapi, Ibu (Felly) naskah resminya belum dapat," ujar Faisal kepada Alinea.id, belum lama ini.
Lazimnya, naskah final RUU yang telah disahkan langsung dibagikan ke anggota DPR. Apalagi, lanjut Faisal, RUU itu berkaitan dengan tugas bosnya sebagai anggota DPR di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan.
"Serikat buruh ini mitra Komisi IX. Ya, akhirnya banyak serikat buruh itu yang mengadu ke Komisi IX. Intinya mereka itu pengin tahu sejauh mana peran Kementerian Ketenagakerjaan dalam menengahi masalah buruh," jelas Faisal.
Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul berdalih, naskah final RUU Ciptaker memang tidak wajib dibagikan ke anggota DPR pada rapat paripurna dan setelahnya. Aturan lama yang mewajibkan pembagian naskah, kata dia, sudah diubah demi penghematan biaya.
"Kalau bahan undang-undang, dulu ada (dibagikan). Tapi, sekarang karena kesulitan teknis itu akhirnya (ditiadakan). Di samping itu, pemborosan dan sebagainya. Ya, udah. Hanya memang itu tidak diatur," kata dia kepada Alinea.id di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (6/10) sore.
Namun demikian, Inosentius memaparkan, draf final RUU Ciptaker ada di Baleg. Sesuai mekanisme yang berlaku, naskah RUU dipegang Kabagset Baleg. "Kemudian ke kepala biro. Dari kepala biro ke deputi. Dari deputi proses ke pimpinan (DPR). Jadi, semuanya melalui mekanisme itu," kata dia.
Terkait jumlah halaman yang kerap berubah, Inosentius mengatakan, itu hanya karena persoalan teknis. "Begini, undang-undang itu kan sangat rigid, ya. Sama dengan tulis tesislah. Kalau (posisi) halaman itu menggantung, terus diturunin," kilahnya.
Meskipun sekantor dengan Supratman, anggota Baleg DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Amin Ak mengaku tidak pernah memegang draf final UU Ciptaker Kerja sejak pengambilan keputusan tingkat I hingga kini.
"Baik dalam waktu meminta pandangan di Baleg atau di pengambilan keputusan tingkat satu. Di Baleg, dalam (rapat) hari Sabtu dengan pemerintah yang diwakili tiga menteri itu maupun di rapat paripurna hari Senin, itu enggak ada draf final," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (12/10).
Menurut Amin, ketiadaan draf final RUU di sejumlah rapat jelang pengesahan tidak lazim. Dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I di Baleg DPR, misalnya. Ketika itu, perwakilan fraksi diarahkan untuk menandatangani lembar persetujuan saja.
"Mestinya setiap fraksi yang setuju itu menandatangani draf per halaman. Karena UU ini sakral, mestinya per lembar ditandatangani. Setiap halaman ada tanda tangan perwakilan fraksi supaya tidak ada penyimpangan di dalam pasal-pasalnya," paparnya.
Rapat pengganti rapat Badan Musyawarah DPR pun demikian. Digelar sekira 90 menit sebelum sidang paripurna di DPR, Senin (5/10) lalu, rapat itu tidak "dihadiri" draf final RUU Ciptaker.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin itu, fraksi PKS dan Demokrat menolak DPR menggelar sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Ciptaker. Perdebatan tajam pun terjadi. Mekanisme voting diambil untuk menyudahi perdebatan itu.
"Demokrat dengan PKS, ya, kalahlah. Rapat itu dipimpin oleh tiga wakil pimpinan DPR. Mereka yang giring dan menentukan. Ketiganya adalah Pak (Sufmi) Dasco (Ahmad), Pak Rahmat Gobel lalu yang pegang palu Pak Azis. Akhirnya diparipurnakan," ungkap Amin.
Apa pun alasannya, menurut Amin, ketiadaan draf RUU Ciptaker menyalahi aturan. Draf itu, kata dia, wajib dibagikan supaya semua anggota DPR bisa mengawasi kesalahan-kesalahan redaksional dan potensi munculnya pasal-pasal titipan.
"Tidak ada tambahan kata, perubahan parafrase, dan perubahan ayat. Kami belum tahu ini (isi RUU) dan belum disajikan ke masing-masing fraksi," ujarnya.
PKS, lanjut Amin, menyarankan agar Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan RUU itu. Ia pesimistis uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai hasil optimal.
"Kalau di MK, banyak pihak pesimistis karena melihat fakta proses-proses UU yang lain. Pimpinan PKS menilai jauh lebih efektif bila Presiden mengeluarkan Perppu," kata Amin.
Peluang Perppu
Berkaca dari perjalanan revisi UU KPK yang juga ditolak publik secara besar-besaran, guru besar hukum tata negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Muhammad Fauzan mengaku tidak yakin Jokowi bakal bersedia mengeluarkan Perppu.
"Melihat fenomena perubahan UU KPK yang mendapat tantangan lumayan besar dari masyarakat, kayaknya Presiden tidak akan mengeluarkan Perppu (untuk RUU Ciptaker)," ujar Fauzan kepada Alinea.id, Selasa (13/10).
Gelombang aksi penolakan RUU Ciptaker yang belakangan muncul, kata Fauzan, belum cukup kuat untuk dikatakan kegentingan memaksa sebagaimana syarat dikeluarkannya Perppu. Pasalnya, aksi-aksi unjuk rasa itu belum berpengaruh besar terhadap jalannya pemerintahan.
Karena itu, Fauzan lebih menyarankan uji materi di MK. "Tinggal bagaimana para hakim konstitusi dalam mengambil keputusan. Saya sangat berharap para yang mulia hakim konstitusi dapat mengambil keputusan progresif yang memenuhi rasa keadilan," imbuh Fauzan.
Pandangan berbeda disampaikan guru besar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Ni'matul Huda. Ia menilai uji materi RUU Ciptaker ke MK bakal sia-sia.
"MK belakangan ini sudah tidak lagi menjadi yang diharapkan memberikan keadilan bagi masyarakat. Menurut saya, selama hakim-hakim MK tidak independen dalam menjaga dirinya. Percuma saja maju ke MK," ujar Ni'matul kepada Alinea.id.
Karena itu, Ni'matul berharap Jokowi bisa mengeluarkan Perppu untuk menyudahi polemik RUU Ciptaker. Menurut dia, Jokowi justru bakal jadi "sasaran tembak" kelompok buruh, aktivis, dan mahasiswa jika bersikukuh tak mau menerbitkan Perppu.
"Stigma yang muncul itu Presiden Jokowi pro dengan kapitalis dan tidak pro rakyat atau buruh. Jokowi (dianggap) tidak demokratis, tetapi otoriter. Ini bukan persoalan menang dan kalah, tetapi seni memimpin dan keberanian untuk berpihak," cetus dia.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus berharap para hakim MK bisa bersikap rasional saat mengadili permohonan uji materi RUU Ciptaker. Apalagi, terlalu banyak kejanggalan dalam proses pembahasan RUU itu di DPR.
"Terlalu jika semua kisah ini akan diremehkan begitu saja oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim dan para penggugat mesti tahu dan punya pemahaman akan semua keanehan yang dipertontonkan DPR dan pemerintah terkait proses perjalanan misterius RUU Ciptaker," kata dia.