Risnan Ambarita, 32 tahun, terus menghitung-hitung luasan lahan adat Sihaporas yang terampas PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Saban hari, kata salah satu pemuda masyarakat adat Sihaporas itu, ada saja bagian dari hutan adat yang masuk wilayah konsensi perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto tersebut.
"Sampai saat ini, masyarakat adat Sihaporas tetap memperjuangkan tanah adat dengan menguasai lahan yang dirampas oleh PT Toba Pulp Lestari," kata Risnan saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (27/11).
Sihaporas merupakan salah satu nagori (desa) yang terletak di Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Wilayah adat Sihaporas diklaim PT. TPL dengan izin konsesi yang diperoleh tahun 1992 melalui KEPMENHUT No. SK.493/Kptsil/1992 jo. KEPMENLHK No.SK.307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020.
Dengan izin konsesi itu, TPL mengubah lahan adat seluas 1.500 hektare menjadi hutan eukaliptus. Tanaman eukaliptus merupakan bahan baku utama untuk memproduksi bubuk kertas. Perusahaan juga melarang masyarakat yang tinggal di sekitar hutan melakukan kegiatan di tanah konsesi.
Perampasan lahan adat ini sudah berulang kali melahirkan konflik. Dalam sebuah video yang ditayangkan BPAN Lamtoras Sihaporas di Facebook, Agustus lalu, terlihat aksi unjuk rasa masyarakat adat Sihaporas menentang PT TPL diadang aparat Polri.
"Masalah tanah adat ini, belum ada solusi atau penyelesaian dari pihak pemerintah. Yang masuk konsesi TPL itu sekitar 1.500 hektar," ucap Risnan menyoal aksi unjuk rasa tersebut.
Oppung Moris Ambarita, tetua masyarakat adat Sihaporas yang juga kakek Risnan, mengatakan konflik lahan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah sudah terjadi sejak 1913. Ketika itu, lahan adat Sihaporas sempat dipinjam pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan perkebunan pinus.
Saat Indonesia merdeka pada 1945, tanah adat Sihaporas tidak dikembalikan. Pemerintah Indonesia mengambil alih penguasaan atas lahan adat Sihaporas dan menjadikannya hutan negara. Sejak dikuasai PT TPL, warga kesulitan berburu dan menjalankkan ritual.
“Sebelum izin tersebut, keluar kami bebas berladang dan mengambil kayu. Setelah masuk ke hutan adat, perusahaan melarang dengan alasan mereka telah mengantongi izin," terang Moris itu sebagaimana dikutip dari situs resmi Bakumsu
Bakumsu kependekan dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara. Berdiri sejak 2001, Bakumsu merupakan lembaga nonprofit yang fokus mengadvokasi kelompok masyarakat sipil dan kaum adat yang dilanggar hak-haknya, baik oleh pemerintah maupun perusahaan.
Kian marak
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman menyebut perampasan lahan masyarakat adat Sihaporas hanya satu dari sekian banyak kasus perampasan lahan adat yang terjadi di Indonesia. Dari total 26,9 juta hektare, AMAN mencatat sudah ada sekitar 8,5 juta hektare lahan adat yang dirampas.
Modusnya macam-macam, mulai dari obral izin tambang, dipakai untuk membuka perkebunan sawit, hingga pembangunan infrastruktur. Tren perampasan hutan adat dan tanah ulayat, kata Arman, kian "menggila" setelah Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) diberlakukan pada November 2020.
"Ada banyak sekali yang diberi label PSN (proyek strategis nasional). PSN ini itu kan menjadi senjata pamungkas yang digunakan sebagai dalih untuk mengambil secara paksa wilayah adat itu atas nama pembangunan, semisal kita bisa melihat food estate di Kalimantan Tengah dan di Papua Barat," ucap Arman kepada Alinea.id, Senin (27/11).
Sejak awal tahun hingga 9 Oktober 2023, AMAN mencatat setidaknya ada 28 kasus perampasan tanah adat di berbagai daerah. Untuk memuluskan pengambilalihan lahan adat atau tanah ulayat, polisi dan aparat TNI dikerahkan. Walhasil, konflik antara masyarakat adat dan aparat pun kerap pecah.
"Aparat polisi dan tentara itu memaksa masuk ke wilayah adat supaya proyek bisa segera bisa dilakukan. Itu ada aparat kepolisian. Jadi, pada proyek-proyek berkategori PSN itu, selalu ada tindakan represif aparat," ucap Arman.
Pemerintah Joko Widodo (Jokowi), menurut Arman, seolah tutup mata terhadap peristiwa-peristiwa perampasan lahan adat. Ia menyebut lembaga-lembaga negara yang seharusnya melindungi kaum adat justru kerap saling lempar tanggung jawab.
Setidaknya ada tiga kementerian yang seharusnya bertanggung jawab melindungi lahan masyarakat adat. Untuk hutan adat, tanggung jawabnya ada pada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK). Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) bertugas menjaga tanah ulayat, sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dimandatkan menjaga kawasan pesisir dan daerah tangkapan ikan.
"Intinya, (kementerian-kementerian) itu yang harus ditagih (pertanggungjawabannya) karena ketiga institusi itu yang diberikan perintah oleh undang-undang untuk menjaga wilayah-wilayah adat," ujar Arman.
Ketidakseriusan pemerintah, kata Arman, juga terlihat dari mandeknya pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Padahal, RUU itu diharapkan bisa mendorong lahirnya lembaga khusus yang mengurusi persoalan-persoalan masyarakat adat.
"Supaya dia satu pintu dan tidak sektoral. Jadi, menurut saya, negara itu belum melaksanakan kewajibannya secara utuh atau gagal menjalankan perintah konstitusi (untuk melindungi) tumpah darah Indonesia, termasuk (berpihak pada) masyarakat adat yang berhadapan dengan proyek-proyek investasi ini," ucap Arman.
Pada Maret 2017, Jokowi pernah bertemu dengan perwakilan masyarakat adat dan AMAN di Istana Negara. Ketika itu, Jokowi menyampaikan dukungan untuk pengesahan RUU Masyarakat Adat. Ia juga sepakat Satgas Masyarakat Adat dibentuk untuk mengelola persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat adat.
Naskah RUU Masyarakat Adat dilaporkan telah diselaraskan Baleg DPR dan diserahkan kepada pimpinan DPR sejak 2020. Namun, nasib RUU itu tidak jelas di tangan pimpinan DPR. Pengesahan RUU disebut-sebut terganjal kepentingan investor.