Praktik politik uang mewabah menjelang pemungutan suara 14 Februari lalu. Sejumlah warga DKI Jakarta yang ditemui Alinea.id mengaku menerima duit dari calon anggota legislatif di tingkat DPRD dan DPR RI. Ada pula yang mengaku ditugasi menyebar duit untuk serangan fajar jelang pencoblosan.
Syamsudin, bukan nama sebenarnya, misalnya. Warga Bojong Indah, Rawa Buaya, Jakarta Barat itu menerima empat amplop "kiriman" empat caleg DPRD DKI Jakarta dari Golkar, Nasdem, Demokrat dan Perindo. Isi per amplop Rp50 ribu hingga Rp75 ribu.
"Enggak ada yang saya coblos dari keempatnya. Enggak ada yang kenal sebelumnya. Tetapi, jujur saya ambil uangnya. Wong duit kita kadang diambil juga sama politikus dan juga enggak diawasi," ujar Syamsudin kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Meski namanya tertera dalam daftar pemilih tetap KPU, Syamsuddin tak pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Amplop dari para caleg tetap ia kantongi. Syamsudin berdalih politik uang pantang ditolak lantaran sudah jadi tradisi hajatan politik lima tahunan.
"Dari tahun 1997 saya nyoblos sampai terakhir tahun 2014, enggak ada perubahan sama sekali. Mau beli rumah enggak kebeli-beli karena harganya makin gila," ujar dia.
Nurma pun serupa. Jelang pencoblosan, warga Semanan, Kalideres, Jakarta Barat itu menerima amplop berisi uang Rp50 ribu dari salah satu saudaranya yang jadi koordinator lapangan seorang caleg asal NasDem.
Nurma tak kenal dengan caleg tersebut. Sang caleg, menurut penuturan saudara Nurma, bertarung di dapil Jakarta 9 yang meliput Kalideres, Cengkareng, Tambora, Jakarta Barat.
"Tetapi, mau nolak (duit) enggak enak. Ya, sudah, (untuk caleg) DPRD saya pilih dia. DPR RI saya pilih dari PDI-P. Buat jaga hubungan aja sama saudara," kata perempuan yang tak mau menyebut nama lengkap itu kepada Alinea.id.
Cerita berbeda diungkap Saiful, juga bukan nama sebenarnya. Sehari sebelum pemungutan suara, Saiful mendapat tugas mendistribusikan uang dari seorang caleg Partai Golkar yang bertarung di dapil 9 DKI Jakarta.
Ia diinstruksikan menebar duit sebesar Rp50 juta di kawasan Bojong Indah dan Rawa Buaya, Jakarta Barat. Targetnya 1.000 suara di tingkat rukun warga (RW). Untuk tugas itu, Saiful mendapat honor sekitar Rp5 juta-Rp7 juta.
"Tetapi, jujur uang Rp50 ribu susah buat bikin orang milih (klien Saiful). Uang boleh diambil, tapi ada juga caleg lain yang rela bayar mahal. Bisa aja uang (dari Saiful) diambil warga tetapi dia enggak coblos di TPS," kata Saiful kepada Alinea.id
Usai pencoblosan, Saiful menemukan misinya tak berjalan sempurna. Target yang ia pasang tak tercapai. Saiful menduga ada caleg lain yang jauh lebih tajir bermain di dapil yang sama. "Ada yang ngasih Rp75 ribu. Ya, warga mah nerima semua," kata tokoh pemuda di Cengkareng, Jakarta Barat itu.
Serangan fajar juga dirasakan Heriandi, seorang warga di Kembangan, Jakarta Barat. Namun, mahasiswa jurusan politik dan pemerintahan di salah satu perguruan tinggi di Jakarta itu menolak duit yang disodorkan para tim sukses sejumlah caleg dan pasangan capres-cawapres di Pemilu 2024.
"Dia (caleg dan tim sukses) beli suara itu jatuhnya. Setelah kepilih, pasti enggak ingat sama pemilih. Lupa semua sama janjinya," kata Heriandi kepada Alinea.id.
Heriandi mencoblos sesuai pilihan hatinya. Namun, ia hanya memilih capres-cawapres dan caleg DPD RI. Kotak surat suara caleg DPRD dan caleg DPR RI tak ia buka. "Enggak milih caleg DPR," ujar dia.
Semakin permisif
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro mengatakan publik kian permisif dengan politik uang. Itu disimpulkan Agung dari serangkaian survei yang digelar oleh Trias Politika Strategis jelang pemilu.
Salah satu pernyataan survei ialah terkait pandangan masyarakat mengenai politik uang. Mayoritas responden, kata Agung, mengaku tak sejuju dengan praktik lancung itu. Namun, ketika diberi amplop, mereka tetap menerima.
"Alasannya karena dikasih. Jadi, dalam tataran konseptual mereka menolak politik uang. Tetapi, dalam tataran praksis, mereka menerima itu," ucap Agung kepada Alinea.id, Kamis (22/2).
Menurut Agung, pemilih yang permisif dengan politik uang terutama berasal dari kalangan masyarakat yang punya pendapatan dan tingkat pendidikan yang rendah. Politik uang dianggap seperti sedekah lima tahunan.
"Jadi, mereka itu tidak setuju politik uang. Tetapi, ketika diberikan, mereka menerima. Ketika mereka disuruh milih (caleg), belum tentu mereka memilih (sesuai dengan instruksi) yang memberikan uang," kata Agung.
Meskipun masif, menurut Agung, duit bukan faktor utama pemilih menentukan kandidat yang dicoblos dalam pemilu. Agung membagi preferensi politik pemilih dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang memilih karena pertimbangan sosiologis, yakni agama, suku, dan ras.
Kedua, pemilih rasional yang menentukan pilihan berbasis tawaran program kerja dan rekam jejak. "Kemudian, ada pemilih yang identik sebagai pemilih yang sifatnya psikologis, semisal karena (kandidat) ganteng atau cakep dan seterusnya," ucap Agung.
Lebih jauh, Agung meyakini politik uang bisa dibendung bila pengawasan dan penegakan hukum mengenai politik uang dilakukan serius oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Bawaslu. "Pasti mendukung masyarakat. Problem kita di pengawasan," ujar dia.