close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Vokalis band Efek Rumah Kaca (ERK) Cholil Mahmud mempertontonkan kepiawaiannya memainkan gitar di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (20/1). Alinea.id/Annisa Rahmawati
icon caption
Vokalis band Efek Rumah Kaca (ERK) Cholil Mahmud mempertontonkan kepiawaiannya memainkan gitar di Kios Ojo Keos, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (20/1). Alinea.id/Annisa Rahmawati
Politik
Rabu, 22 Januari 2020 20:40

Cholil Mahmud dan aktivisme politik Efek Rumah Kaca

Di markas Efek Rumah Kaca, Cholil bercerita tentang unjuk rasa, korupsi, demokrasi, dan reformasi.
swipe

Cholil Mahmud mengambil gitar akustik. Jari-jari vokalis Efek Rumah Kaca (ERK) itu mulai memetik senar. Suara Cholil melengking. Bait-bait lagu "Sebelah Mata" ia tandaskan. 

Kios Ojo Keos masih sepi, Senin (20/1) pagi itu. Selain Cholil dan sang istri, Irma Hidayana, terlihat hanya beberapa pengunjung yang nongkrong di kafe buku di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan itu.  

"Niat kami membuka toko (Kios Ojo Keos) ini sebenarnya untuk ruang diskusi dan menampilkan karya bermusik kami. Tujuannya, supaya ada percakapan dengan sesama warga," ujarnya kepada Alinea.id menceritakan alasan para penggawa ERK bersepakat mendirikan Kios Ojo Keos.

Kafe itu kini jadi semacam "markas" bagi para personel ERK. Deretan buku "berat" dipajang di rak-rak yang menempel pada bidang dinding Kios Ojo Keos. 

Cholil menyebut kafe yang resmi berdiri pada 2017 itu sebagai "laboratorium demokrasi". Korupsi, reformasi, dan demokrasi menjadi kata-kata yang lazim terucap dari mulut pengunjung setia kafe bergaya minimalis itu. 

Khusus bagi Cholil, tiga kata itu memang jadi santapan sehari-hari. Apalagi, Cholil merupakan satu dari segelintir musisi yang paling aktif mengawal aksi unjuk rasa mahasiswa bertema "Reformasi Dikorupsi" pada September 2019. Ketika itu, Cholil dan para personel ERK bahkan ikut turun ke jalan.

"Saya pun merasa berbahagia ada di tengah-tengah mereka (mahasiswa). Sebab, di sana ada banyak harapan," ujar penyandang gelar master dari New York University tersebut. 

Aksi unjuk rasa itu digelar untuk memprotes pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan rencana DPR mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut Cholil, dagelan politik yang dipertontonkan pemerintah dan DPR dalam pengesahan UU KPK bikin muak. Sebagai musikus, Cholil mengatakan, sudah sewajarnya ia hadir bersama rakyat. 

"Musisi tak boleh diam kala masyarakat sedang berjuang memperjuangkan hak-haknya. Musisi itu punya kemampuan meresonansi sebuah aspirasi. Jadi, jangan diam," ujar dia. 

Apa sebenarnya alasan ERK bikin lirik lagu bernuansa kritik terhadap kondisi sosial-politik?

Sebenarnya kami hanya ingin menjadikan musik sebagai (cara) mengutarakan pendapat. Tujuannya agar terjadi percakapan dan orang bisa tahu sudut pandang saya. Tapi, sebenarnya enggak seluruhnya bertema kritik terhadap sosial politik. Saya pikir imbang antara porsi yang bertemakan sosial-politik dengan lagu-lagu yang bertemakan kehidupan pribadi.

Dugaan saya, mungkin karena enggak banyak yang membuat lagu bertema soal politik. Akhirnya, Efek Rumah Kaca dipandang band yang menyuarakan lagu-lagu sosial-politik. Sebenarnya, ada permasalahan lain yang kita angkat. Ada beberapa isu yang membuat saya terpanggil untuk nulis lagu.

ERK aktif dalam memprotes RUU KUHP dan RUU KPK saat aksi Reformasi Dikorupsi. Bagaimana awalnya Anda dan rekan-rekan bisa terlibat?

Ya, karena merasa demokrasi terancam. Saya belajar dari musik yang bertema sosial, politik dan demokrasi. Kami membuka Kios Ojo Keos ini pun karena ingin ada diskusi untuk menampilkan musik dan karya. Dari sini, kita mengharapkan terciptanya percakapan antarsesama. Jadi, kami merasa mungkin bisa berupaya lebih banyak lagi selain bermusik.

Kami merasa perlu juga menjalankan lirik yang kami tulis. Itu sebabnya kami merasa perlu berpartisipasi dalam memperjuangkan demokrasi yang kita percayai masih sebagai sistem terbaik. Kita ingin demokrasi ini berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kami ikut aksi. Sebab, teman-teman ERK memandang jangan sampai demokrasi yang sudah kita capai dengan susah payah ini mundur.

Apa yang Anda rasakan ketika berada di pusaran aksi ?

Saya merasa, situasinya agak berbeda dengan 1998. Generasi 98 saya lihat lebih terlatih dalam melakukan demonstrasi sebab sejak 1996-1998 sudah banyak unjuk rasa. Gerakan mahasiswa 2019 kemarin banyak sekali mahasiswa yang terlihat baru pertama kali melakukan demonstrasi. Mungkin karena aksi ini merupakan aksi terbesar pertama pasca-Reformasi.

Tapi, euforianya mirip. Saat di lapangan, saya merasakan gelombang yang begitu besar yang tak pernah terjadi setelah 1998. Semangatnya hampir mirip dengan gerakan 1998. Bedanya, bila 1998 berusaha menumbangkan rezim, 2019 berusaha mempertahankan demokrasi.

Situasinya pun hampir serupa, yakni turut didukung berbagai elemen masyarakat, seperti buruh, tani serta pelajar yang berbaur bersama menyuarakan tujuh tuntutan perbaikan reformasi. Saya pun merasa berbahagia ada di tengah-tengah mereka. Sebab, di sana ada banyak harapan. Itu terlihat dari perjuangan mereka yang mengorbankan tenaga, uang serta waktu. Padahal, mereka terus digempur dengan disinformasi yang dilancarkan pemerintah.

Anda mengatakan reformasi tidak berjalan seperti semestinya. Apa indikatornya?

Pertama, penegakan HAM yang enggak berjalan dengan baik. Lalu revolusi mental tidak berjalan dengan semestinya. Sejauh ini baru sekadar tagline. RUU KPK yang dibahas secara diam-diam pun juga pertanda adanya arogansi dari eksekutif dan legislatif. Terbukti dengan tidak adanya di Prolegnas. Dalam waktu 11 atau 12 hari, UU itu langsung diketok. Ini jelas menunjukkan arogansi.

Sudah diprotes, tapi mereka tetap saja tak bergeming. Tindakan ini, menurut saya, jelas-jelas ingin melemahkan KPK. Bahkan, potret sebelumnya sudah terlihat di pansel KPK, (yakni) saat (pansel) meloloskan calon-calon yang dipertanyakan integritasnya. Kala itu, koalisi masyarakat sipil sudah melayangkan protes, tapi tak digubris. Kami curiga ada anggota pansel yang punya konflik kepentingan dengan kepolisian.

Kenapa merasa seperti itu?

Kami merasa pansel KPK sudah tidak seindependen dulu. Kami pun kecewa dengan sikap Presiden Jokowi yang katanya ingin mendengarkan aspirasi masyarakat terlebih dahulu, tapi langsung meneken (nama-nama yang diloloskan DPR) dengan dalih calon yang terpilih sudah oke. Dari rangkaian itu, timbul kekecewaan. Sebab, setelah perkara HAM tidak terselesaikan, lalu revolusi mental tidak berjalan, kini lembaga yang kami percaya sebagai garda terakhir dalam menjalankan agenda reformasi pun ikut dilemahkan.

Politikus DPR memang akan selalu mencari cara untuk melemahkan KPK. Sepanjang sejarah pemilihan pimpinan KPK, DPR memang selalu memilih calon yang paling rendah peringkatnya untuk dijadikan Ketua KPK. Saat pansel KPK masih kredibel, DPR selalu memilih calon yang lolos seleksi pansel dengan nilai terendah. Contohnya, pada saat KPK dipimpin Abraham Samad. Sebenarnya, Samad bukan yang mendapat nilai terbaik. Dia masih kalah dari Bambang Widjojanto. Tapi, akhirnya Samad yang dijadikan Ketua KPK.

Jadi, menurut saya, sangat beralasan bila banyak orang yang marah atas sikap DPR ini. Sebab, apa lagi yang diharapkan dari KPK bila sudah dihancurkan dari dalam? Oleh sebab itu, kami merasa penting untuk turun ke jalan bersama mahasiswa.

Anda melihat reformasi memang dikorupsi ?

Iya, itu bisa dilihat dari adanya Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang pemilihannya yang sangat bergantung pada presiden. Andai nanti presiden jadi diktator, bisa jadi seenaknya memilih siapa yang mesti jadi Dewas KPK. Padahal, konsep demokrasi mengamanatkan pemecahan kekuasaan.

Kami melihat, keberadaan Dewas KPK tak ada bedanya dengan komisioner. Bahkan mungkin lebih powerful dari komisioner. Keberadaan Dewas KPK yang diatur UU KPK menunjukkan adanya persengkongkolan Presiden dan DPR untuk melemahkan KPK. Pasalnya, terlihat pembagian domain: komisionernya dipilih DPR dan dewan pengawasnya dipilih oleh presiden tanpa melalui panitia seleksi yang transparan.

Anda konon turut duduk satu meja dengan mahasiswa untuk merumuskan aksi?

Saya pernah ada di pertemuan saat mereka (mahasiswa) melakukan konsolidasi untuk melakukan aksi. Itu terjadi pada tanggal 24 September 2019, tapi enggak banyak. Di situ ada koalisi masyarakat sipil. Ada YLBHI, ICW, dan PSHK. Lalu, juga ada beberapa band. Cuma enggak banyak. Tapi, itu sifatnya kebetulan. Karena saya hadir, akhirnya disuruh maju dan ngomong juga.

Pertemuan dengan mahasiswa itu di mana?
Di sebuah tempat di Kuningan, Jakarta Selatan.

Anda juga terbilang seiring melakukan diskusi terkait bencana legislasi pada 2019. Anda merasa punya kapasitas untuk bicara terkait itu?

Enggak sih. Itu karena pergulatan pemikiran saya saja sehingga membuat saya belajar untuk bisa mengambil solusi. Akan tetapi, saya masih jauh. Sebab saya bukan lulusan serjana hukum. Namun, karena elite akan mengatur kita, ya, dikit-dikit, menurut saya, harus tahu. Kalau diundang, perspektif saya bukan sebagai pakar, tapi sebagai orang awam atau sebagai musisi.

Anda penyandang gelar master of arts politics dari New York University. Apakah sekolah di AS punya pengaruh terhadap sudut pandang Anda?

Berpengaruh sekali. Pengalaman saya sekolah di Amerika mempengaruhi cara pandang saya bahwa demokrasi harus terus diperjuangkan. Di Amerika saja masih harus diperjuangkan dari tangan-tangan oligarki. Bila perlu, warga itu mengeluarkan tenaga, biaya dan waktu untuk mempertahankan demokrasinya agar tidak dimanfaatkan oleh para oligarki. Sebab, demokrasi bakal terus diuji oleh nilai-nilai yang baru.

Potret itu jadi contoh buat saya bahwa di Amerika saja yang sebenarnya sudah sangat eksis dan maju sistemnya demokrasi tetap harus dipertahankan. Apalagi, di kita yang politik warganya masih lemah. Jadi, menurut saya, politik warga harus dikuatkan. Pasalnya, itu subtansi dari demokrasi. Yaitu apa? Check and balance. Warga harus bisa terlibat dalam merumuskan kebijakan dan bisa melakukan protes kala kebijakan itu tak berpihak pada mereka. Jadi, kita harus bisa mencapai ke sana untuk bisa menjalankan demokrasi yang lebih kaffah. Sebab, demokrasi kuncinya adalah dari rakyat untuk rakyat.

Khusus untuk revisi UU KPK dan segudang persoalan yang menyertainya. Apa saran Anda?

Masyarakat harus memberikan kritik yang keras sebab hal ini merugikan masyarakat. Kalau masyarakat tak bertindak, tidak akan terjadi perubahan. Pemerintah saat ini hanya konsen terhadap sesuatu yang dapat memancing reaksi publik yang lebih besar. Lihat saja Aksi 212.

Tapi, masalahnya pemerintah saat ini juga pandai dalam meredam protes dengan disinformasi yang merupakan lakukan. Polanya, bila hal itu dapat membuat publik marah, pasti bakal mereka redam. Tapi, kalau tidak, jelas tidak akan digubris. Saya akui konsultan politik Istana cukup pandai memberikan saran. Hal itu bisa dilihat dari cara Istana meredam RKUHP yang sempat membuat rakyat marah. Begitu terlihat banyak menuai protes, secara cepat Istana meminta pembahasan RKHUP dihentikan.

Tapi, hal itu berbeda kala menyikapi RUU KPK. Presiden tak mau mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK karena melihat respons masyarakat tidak begitu solid menolak RUU bermasalah ini. Sebab, (revisi UU KPK) tak begitu membuat publik marah seperti RKHUP yang terlalu masuk ke ranah privat. Jadi, menurut saya, perlu ada kesadaran publik yang kuat untuk mendesak pemerintah. Bila tidak, masalah akan dibiarkan mengambang tanpa adanya penyelesaian.

Apakah Anda merasa ERK mendapat panggung pada aksi Reformasi Dikorupsi ?

Enggak sih. Kami hanya melakukan aksi saja. Kami hanya ingin ikut serta dengan lautan rakyat dan mendukung apa yang mereka perjuangkan. Kami turun sebagai wujud gabungan antara musisi dan warga negara yang sudah semestinya memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Selain ERK, siapa saja yang terlibat aktif dari kalangan musisi?

Untuk di lapangannya, saya kurang tahu persis karena tidak ketemu banyak musisi di sana. Tapi, kalau yang seopini yang sering ketemu saat diskusi itu, ada Iksan Skuter, Danto dari Sisir Tanah, Melanie Subono, Jason Ranti, Rara Sekar, Ananda Badudu dan Tashoora

Pascaaksi Reformasi Dikorupsi, kami pun sempat menggelar diskusi yang kami beri tema “Mendesak Tapi Santuy” sebagai media sharing terkait aksi Reformasi Dikorupsi. Diskusi itu kami lakukan di beberapa tempat seperti di Kuningan, Kampus UIN Jakarta, lalu terakhir di Studio Palem di Kemang, Jakarta Selatan.

Ada yang kecewa dengan sikap sebagian musisi yang acuh tak acuh terhadap kondisi sosial, termasuk saat Reformasi Dikorupsi bergulir. Apakah Anda merasakan hal yang sama?

Ya, di luar harapan. Saya enggak tahu mesti kecewa atau enggak. Sebab harapannya, sebagai warga negara, apalagi sebagai musisi yang punya spesialisasi khusus dan privilege, mestinya punya beban moral dan lebih konsen untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Harusnya bisa lebih peka. Jangan hanya peka kala menyangkut hajat hidupnya saja.

Saya melihat, kalau politik, warganya saja kuat. Mestinya, musisi bisa lebih dari warga biasa sebab musisi itu punya kemampuan untuk menjadi fasilitator masyarakat sehingga masyarakat lebih berdaya.

Butuh lebih banyak dukungan dari sesama musisi?

Oh, jelas. Sebenarnya dulu kita pernah coba waktu memprotes RUU Permusikan. Tapi, sayangnya enggak banyak dari mereka yang turun di aksi Reformasi Dikorupsi. Di aksi Reformasi Dikorupsi, kami justru banyak dibantu dari kalangan koalisi masyarakat sipil seperti YLBHI, PSHK, ICW dan segala macam.

Apakah Anda akan terlibat lagi jika ada aksi unjuk rasa serupa pada 2020?

ERK kan hanya bagian dari masyarakat saja. Enggak bakal bisa apa-apa tanpa dukungan masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang sebenarnya harus bersama, dengan segala keterbatasannya, tetap harus mengkritisi pemerintah. Kalau hanya ERK dan LSM yang berusaha, hasilnya tak akan sempurna. Apalagi, kalau dukungan masyarakat juga lemah.

Menurut saya, Reformasi Dikorupsi mestinya bisa jadi awal untuk berkaca bahwa kita sebenarnya bisa menciptakan daya penekan yang besar. Meskipun berhasil digembosi di tanggal 30 (September 2019), tapi aksi Reformasi Dikorupsi adalah prototype dan itu mestinya tak hanya menjadi gerakan besar pertama di era pasca-Reformasi. Tapi, bisa menjadi modal awal penekan pemerintah. Sebab, bila tidak diawasi, pemerintahan kita bakal dikuasai segelintir pihak yakni oligarki.

Ada rencana membuat lagu untuk mengabadikan semangat Reformasi Dikorupsi ?

Enggak. Lebih tepatnya sih belum. Kami hanya ingin terlibat saja dalam aksi Reformasi Dikorupsi. Tapi, untuk sekarang belum ada rencana ke arah sana.
 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan