close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kursi Wagub DKI Jakarta kembali ke tangan politikus Gerindra. Ilustrasi Alinea.id/Hadi Tama
icon caption
Kursi Wagub DKI Jakarta kembali ke tangan politikus Gerindra. Ilustrasi Alinea.id/Hadi Tama
Politik
Sabtu, 11 April 2020 11:27

Cinta segitiga PKS, PDI-P, dan Gerindra di Kebon Sirih

Terpilihnya Riza Patria sebagai Wagub DKI menandakan babak baru hubungan antara PKS, Gerindra, dan PDI-P.
swipe

Tepuk tangan langsung bergema tatkala politikus Partai Gerindra Ahmad Riza Patria diumumkan terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta di ruang rapat paripurna DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (6/4) siang itu. 

Dari 100 suara sah yang masuk, Riza sukses mendulang 81 suara dukungan. Dalam perebutan kursi pendamping Anies Baswedan itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nurmansyah Lubis alias Anca hanya mampu mengantongi 17 suara. 

Tak lama setelah Riza terpilih, Partai Gerindra menyatakan suka citanya. Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyebut kemenangan Riza atas Nurmansjah merupakan kemenangan rakyat DKI Jakarta.

"Kami merasa berbahagia karena kader kami ada yang menang dalam pemilihan wagub dan kemenangan ini bukan kemenangan Gerindra, tetapi kemenangan dari masyarakat DKI Jakarta," kata Sufmi Dasco dalam siaran pers yang diterima Alinea.id.

Kemenangan Riza atas Anca sekaligus mengakhiri drama panjang pemilihan Wagub DKI setelah hampir dua tahun ditinggal Sandiaga Uno. Sebelum Riza terpilih, perebutan kursi orang nomor dua di DKI itu berlangsung alot.

Pada 2018, sempat beredar rumor kursi Wagub DKI dijadikan alat barter politik antara PKS dan Gerindra di Pilpres 2019. Ketika itu, PKS diisukan setuju berkoalisi dengan Gerindra dan memilih Sandiaga pendamping Prabowo asalkan kursi wagub jatuh ke tangan mereka. 

Kesepakatan itu bahkan sempat dibubuhkan dalam secarik kertas yang ditandatangani Wakil Ketua DPRD Jakarta Muhammad Taufik dan Wakil Sekjen PKS Abdul Hakim di ruangan VIP Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Agustus 2018. 

Namun, belakangan Taufik menyebut dokumen itu sebagai kesepakatan di "warung kopi" alias tidak sah. Pasalnya, keputusan itu tidak diambil dalam rapat resmi dan tidak ada tanda-tangan Sekretaris DPD Gerindra Jakarta dalam dokumen tersebut. 

Tak hanya itu, kontroversi pemilihan wagub pun ditandai ditundanya beberapa kali rapat pimpinan gabungan (rapimgab) untuk menentukan cawagub. Sepanjang 2019, perebutan kursi panas itu juga diwarnai kegaduhan soal uji kepatutan dan kelayakan, pergantian nama calon dari PKS, serta munculnya kandidat dari Gerindra. 

Ketua Fraksi PDI-Perjuangan di DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan alotnya pemilihan Wagub DKI bukan karena adanya "kesepatakan" menjegal kader PKS menduduki kursi DKI-2. Ia justru menyalahkan buruknya komunikasi PKS dan Gerindra. 

"Secara politis, mereka enggak bersepakat sehingga mereka berdua saling berganjal-ganjalan. Akhirnya, tahap berikutnya enggak ada kesepakatan lagi. Lalu, masing-masing partai pengusung mengusung satu nama," kata Gembong kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (8/4).

Sebelum nama Riza dan Anca muncul menjadi dua kandidat cawagub, kampanye 'asal bukan PKS' sempat bergema di Kebon Sirih. Tak jelas siapa yang menginisiasi kampanye itu. Namun, dalam sebuah spanduk penolakan yang terpampang di depan Gedung DPRD DKI akhir Februari lalu, tertulis nama Forum Betawi Rempug (FBR). 

Gembong mengklaim partainya tak ikut-ikutan dalam kampanye itu. Ia juga membantah PDI-P takut PKS bakal menguasai Balai Kota jika Anca terpilih. Menurut dia, sebelum diarahkan untuk mendukung Riza, anggota fraksi PDI-P juga menjalin hubungan yang baik dengan Anca. 

"Maka, teman-teman kita di fraksi PDI-P banyak juga yang merapat ke Nurmansyah Lubis. Tapi, begitu perjalanan berikutnya, partai memberikan arahan. Kita biasa-biasa aja. Enggak ada jegal-menjegal. Bahkan, banyak hal pembahasan di DPRD antara PKS dan PDI-P ada kesamaan perjuangan," ujarnya. 

PDI-P, kata Gembong, lebih memilih Riza ketimbang Anca karena kedekatan ideologis antara Gerindra dan PDI-P. Berbeda dengan PKS yang kental bercorak Islam, Gerindra dan PDI-P lebih bernuansa nasionalis dan terbuka. "Ini soal kedekatan ideologi, bukan soal yang lain," imbuh dia.

Lebih jauh, ia mengatakan PDI-P punya misi khusus dengan menempatkan Riza sebagai pendamping Anies. Menurut Gembong, kehadiran Riza diharapkan bikin harmonis hubungan antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat. 

PDIP, lanjut Gembong, juga menugaskan Riza untuk membantu Anies merampungkan program-program prioritas yang dijanjikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) DKI Jakarta.

"Harus punya peran yang maksimal untuk bantu Pak Anies, tapi jangan jadi ban serep. Hal itu yang kita sampaikan kepada Pak Riza, dan beliau (bilang) oke," kata Gembong.

Petugas menghitung suara pemilihan Wakil Gubernur DKI Jakarta dengan calon dari Partai Gerindra Ahmad Riza Patria dan calon dari PKS Nurmansyah di Gedung DPRD DKI Jakarta di Jakarta, Senin (6/4). /Foto Antara

Kenapa PKS gagal? 

Dihubungi terpisah, politikus PKS Mardani Ali Sera mengaku partainya kecewa atas terpilihnya Riza. Meski demikian, dia mengapresiasi pemilihan Wagub DKI berjalan sesuai prosedur.

"Selalu ada menang dan kalah kalau dalam pertandingan. Kecewa tentu. Tapi, proses sudah berjalan dan kita akan terus berjuang maju ke depan," kata Mardani kepada Alinea.id, Rabu (8/4).

Sebelum mengerucut pada Anca, Mardani sempat disebut sebagai salah satu calon kuat cawagub dari PKS. Namun, kabar itu akhirnya meredup seiring waktu. "Tidak ada kekecewaan personal. Di PKS, kami dididik untuk jadi prajurit, bukan mengejar kepentingan," ujarnya.

Menyoal kesepakatan soal jatah kursi wagub, Mardani menjawab diplomatis. Menurut dia, hal itu sudah berlalu. Ia pun membantah pemilihan wagub bakal memperburuk hubungan PKS dan Gerindra di masa depan. "Buat PKS yang utama semua melayani masyarakat," ujar dia. 

Kepada Alinea.id, Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (Cespels) Ubedilah Badrun mengatakan terpilihnya Riza sebagai wagub kemungkinan besar dipengaruhi kesepakatan-kesepakatan politik di balik layar. 

Jika mengacu pada kapabilitas personal dan kebutuhan DKI, menurut Ubedilah, seharusnya Anca yang terpilih. Apalagi, dalam perebutan kursi wagub, Anca juga lolos dari serangkaian uji publik dengan catatan positif. 

"Kelebihan calon wagub dari PKS, pernah bekerja sebagai auditor, bidangnya juga akuntasi dan ekonomi. Itu bidang yang dibutuhkan untuk mendampingi Gubernur Anies Baswedan. Logikanya, seharusnya anggota DPRD DKI lebih memilih yang sesuai dengan kebutuhan DKI Jakarta," kata dia. 

Menurut Ubedilah, kemenangan Riza juga mengindikasikan kegagalan lobi-lobi politik yang dilancarkan PKS. Ia menduga PKS bertemu jalan buntu lantaran tawaran-tawaran politisnya dianggap tak memikat oleh anggota DPRD DKI. 

"Kemungkinan PKS tidak mau memilih jalan transaksional yang mengarah pada money politic. Dalam perspektif politik permukaan, ini bisa disebut kegagalan lobi-lobi politik PKS," jelasnya.

Ubedilah juga mengkritik sikap Gerindra yang tidak konsisten. Menurut dia, kembalinya kursi wagub ke tangan Gerindra bakal menjadi catatan buruk bagi partai besutan Prabowo Subianto itu. 

"Jika kesepakatan ketua umum dinilai tidak sah, berarti ada sesuatu yang aneh dalam tubuh partai Gerindra. Dia (Gerindra) tidak menunjukkan dirinya sebagai partai modern," kata dia. 

Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai ada dua faktor yang menyebabkan PKS gagal menguasai kursi DKI-2. Pertama, lemahnya lobi-lobi. Kedua, bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi parpol pendukung  pemerintahan Jokowi-Mar'uf. 

"Jumlah suara PKS berapa sih? Secara matematis, sudah bisa diprediksi bahwa PKS tidak akan menang. Kemudian dalam konfigurasi politik pasca-Pilpres 2019, kan menonjol PKS itu partai oposisi. Itu membuat partai-partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf bersatu untuk memenangkan Riza," jelas dia. 

Di DPRD DKI, PKS hanya punya 16 kursi. PDI-P dan Gerindra berturut-turut memiliki 25 dan 19 kursi. Terkecuali Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang hanya punya 1 kursi, sisa kursi lainnya terbagi ke parpol-parpol lainnya secara relatif merata. 

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) didampingi Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih Ahmad Riza Patria (kanan) memberi salam usai pemilihan di Gedung DPRD DKI Jakarta di Jakarta, Senin (6/4). /Foto Antara

Memaknai akhir perebutan kursi wagub 

Namun demikian, Karyono menilai, PKS tak sepenuhnya dirugikan dengan kekalahan itu. Menurut dia, PKS bakal dipersepsikan publik sebagai partai yang dizalimi. Pasalnya, opini publik bahwa kursi wagub jatah PKS telah terbangun sejak Sandiaga mundur pada 2018. 

"PKS dikeroyok, PKS dianiaya oleh Gerindra. Ini yang terbangun di mata dan dalam benak publik. Di satu sisi, ini bakal menguntungkan PKS," kata dia.

Meski Anca kalah, Karyono menilai, bukan berarti PKS dan Gerindra bakal benar-benar pecah kongsi. Berkaca dari realitas politik Indonesia, menurut Karyono, koalisi kedua parpol pada pentas lokal dan nasional tetap terbuka. 

Di sisi lain, Karyono menilai, kemenangan Riza juga bisa dimaknai kian akrabnya hubungan antara Gerindra dan PDI-P. Ia pun menyebut peluang koalisi parpol itu di Pilpres 2024 bakal terbuka lebar. 

"Ya, tentu ada ekspektasi bisa saja. Dalam konteks melihat DKI Jakarta, ada satu kepentingan politik yang sama, ada platform politik yang sama (antara PDI-P dan Gerindra)," ujar Karyono. 

Infografik Alinea.id/Hadi Tama

Analisis serupa juga diutarakan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno. Menurut Adi, kegagalan PKS disebabkan kombinasi dari mentahnya lobi-lobi dan perubahan peta politik di tingkat nasional. 

"Andai sejak lama PKS mampu mampu meyakinkan fraksi-fraksi di Kebon Sirih, saya kira, kursi wagub PKS punya. Tentu lobi dalam politik  bukan hanya soal menjual kandidat, ya. Tapi, menyangkut hal-hal yang bisa didedikasikan. Dalam politik, pasti ada kompromi," kata dia. 

Menurut Adi, kekalahan Anca juga bakal menandai berakhirnya hubungan mesra antara Gerindra dan PKS. Apalagi, PKS praktis tak mendapatkan apa-apa setelah berkoalisi dengan Gerindra sejak era Pilgub DKI pada 2017. 

"Udah enggak bisa diselamatkan. Ya, tentu kecewa secara alamiah. Secara politik, tentu PKS kecewa. Karena ya di-PHP (pemberi harapan palsu). Artinya, loyalitas yang diberikan PKS terhadap Gerindra selama ini tidak berbuah. Tidak happy ending," kata dia. 

Soal hubungan PDI-P dan Gerindra yang dianggap tengah mesra, Gembong tak membantah. Namun demikian, menurut dia, belum ada wacana membangun koalisi di Pilpres 2024 antara partainya dan Gerindra. 

"Politik Jakarta ini sangat dinamis. Tetapi, itu belum menjadi kesepahaman atau kontrak politik yang kita bangun antara PDI-P dan Gerindra," katanya.
 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan