Crowdfunding, solusi memupus politik balas budi
Upaya Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menggalang dana (crowdfunding) saat akan maju dalam pilpres 2008 terbilang sukses. Tak heran, cara tersebut lantas diadopsi sejumlah negara lainnya, termasuk di Indonesia.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah terlebih dahulu melakukan crowdfunding saat akan maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu. Sementara, dari kalangan partai, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Gerindra juga melibatkan massa dalam pendanaan mereka.
Crowdfunding Gerindra ini dicurigai menjadi sinyalemen jika partai tersebut kekurangan modal, seperti yang disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hasyim Djoyohadikusumo. Apalagi sebelumnya, Prabowo Subianto sengaja mengulur waktu deklarasi pencapresan.
Namun, langkah Prabowo tersebut justru menuai apresiasi dari pengamat politik sekaligus peneliti Saiful Mujani Research & Consultants (SMRC) Sirojuddin Abbas. Menurutnya, cara itu menjadi bukti kedewasaan dalam berdemokrasi di mana partisipasi publik tak dipinggirkan. Ini juga dipercaya bisa memupus peluang munculnya oligarki politik. Berbeda jika dana partai hanya bersumber dari rente-rente ekonomi atau iuran internal parpol.
Menurutnya, jika crowdfunding dilakukan benar-benar demi menggaet dukungan massa, maka demokrasi akan lebih sehat.
"Kalau betul-betul dilaporkan seperti Ahok, mengenai jumlahnya, dan dibuat transparan, ini bisa menghindari cukong-cukong. Namun, bisa berarti hanya (dijadikan) gimmick," katanya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman menyatakan, yang dilakukan partainya sudah sesuai regulasi. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 34 menjelaskan, pendanaan parpol bisa berasal dari sumbangan sukarela masyarakat yang tidak mengikat.
Terlebih lagi mekanisme crowdfunding bukan sesuatu yang baru dilakukan, pesohor lain seperti Barack Obama, Donald Trump, bahkan Clinton sudah pernah menerapkannya. Spiritnya, kata Habiburokhman, melibatkan partisipasi masyarakat dalam politik, terutama dalam hal pendanaan," katanya.
Partisipasi politik dari masyarakat justru perlu dilakukan, sebab jika hanya mengandalkan dana politik dari satu atau beberapa orang semata, justru akan menimbulkan politik balas budi. Akhirnya memicu saling sandera antara kandidat dan sumber pendanaan. Lebih lanjut, dengan adanya crowdfunding, keputusan politik diharapkan tidak mengakomodir segelintir elit, tetapi juga publik.
Apalagi, dalam praktiknya, mengelola partai atau mengantarkan kader menuju kursi kepemimpinan, membutuhkan dana relatif banyak. Dalam hal pendidikan politik saja, partai membutuhkan anggaran hingga ratusan juta. Habiburokhman mengklaim, anggaran pendidikan politik kepada 2.000 kader Gerindra membutuhkan dana sekitar Rp500 hingga Rp700 juta.
"Bahkan bisa mencapai Rp1 miliar, pengeluaran kita besar sekali, maka tidak ada individu yang sanggup mengeluarkan biaya tersebut sendiri, tidak akan ada. Meskipun Pak Prabowo kaya, tentu ini berat jika ditanggung sendirian," katanya.
Berulang kali ia mengatakan kepada Prabowo agar tidak mencemaskan masalah pembiayaan. Ia yakin, pembiayaan dari cukong-cukong bisa dikalahkan dengan dana yang berasal dari partisipasi masyarakat.
"Meskipun besarannya kecil, namun apabila diberikan secara massal akan sangat banyak. Itu memang terlihat kecil kalau satu persatu, tapi sebetulnya itu merupakan dana raksasa," imbuhnya. Ia sendiri mengklaim, dalam tiga hari, pihak Gerindra berhasil mengantongi dana lebih dari Rp300 juta. Jumlah itu diprediksi akan terus naik, apalagi jika didukung kampanye dan sosialisasi masif.
"Jadi (Gerindra) bukan kehabisan uang, tapi memang enggak punya uang. Bahkan partai kami selama ini berjalan karena semangat gotong royong," katanya lagi.
Ia tak mengkhawatirkan akan tersandung audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selama ini, Gerinda ia nilai menjadi partai yang transparan dalam pelaporan keuangan.
Ongkos politik mahal
Kendati Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, namun pendanaan parpol tetap menjadi isu utama jelang hajatan demokrasi.
Ilustrasi korupsi jelang pilkada./ Wordpress
Aturan baru yang mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 itu sendiri, mengatrol dana bantuan untuk partai dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara, di tingkat DPRD provinsi, menjadi Rp1.200 per suara, dan DPRD kabupaten atau kota Rp1.500 per suara.
Dana itu sedianya dimaksudkan untuk pendidikan politik bagi anggota partai atau publik, di samping biaya operasional. Meski ditentang lantaran dianggap pemborosan anggaran, alokasi dana ini tetap diketok palu. Jadi, jika ditotal, anggaran parpol dari negara yang mulanya sebesar Rp13,5 miliar dalam setahun, meningkat sebesar Rp111 miliar.
Dana dari negara disebut-sebut, menurut Perludem, hanya mencukupi sekitar 1,3% kebutuhan pendanaan parpol. Habiburokhman membenarkan, jika parpol mengantarkan kader ke kursi legislatif dan eksekutif, kebutuhan dananya relatif besar. Ia mengenang pada 2014 silam, saat mendaftar sebagai caleg, ia menggelontorkan dana hingga Rp3 miliar. Suara yang ia kantongi hanya 30 ribu orang, sehingga uang miliaran itu terbuang sia-sia.
"Itu dana pribadi saya, untuk sosialisasi dari kampung ke kampung, bikin kalender, itu yang resmi lho," tegasnya. Menyadari kekurangannya, pada pileg 2019 ini ia sengaja mempersiapkan dana sekitar Rp6 miliar untuk maju kembali.
Jika untuk pileg saja dananya relatif besar, imbuhnya, maka dana pilkada dan pilpres tentu lebih bombastis lagi. Sebagai contoh, biaya untuk saksi di TPS estimasinya per orang dianggarkan Rp250 ribu. Idealnya satu TPS minimal terdapat tiga orang saksi. Jadi, total biaya saksi untuk satu TPS mencapai Rp750 ribu untuk masing-masing partai. "Tinggal hitung ada berapa TPS di banyak wilayah. Itu baru perkara menghadirkan saksi," jelasnya.
Belum soal pembuatan logistik dan biaya kampanye lainnya. Dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan, ada tujuh metode kampanye, yakni pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik/ debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak dan media massa elektronik, dan atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari sekian banyak metode kampanye ini, tak semua dibiayai KPU dari dana yang berasal dari APBN. Pasangan calon hanya menanggung biaya kampanye dalam bentuk pertemuan dan dialog. Masalahnya, perkara dialog dan pertemuan tatap muka ini, belakangan kembali dilakukan sejumlah elit, untuk membangun kedekatan dan menciptakan citra tertentu di mata publik.
Sebagai ilustrasi, Perludem membeberkan biaya kampanye yang dilakukan oleh Aher dan Dedy Mizwar pada 2013 lalu. Dalam pilgub Jabar periode silam, pasangan ini menggelontorkan dana hingga Rp25 miliar. Itu baru untuk alokasi kampanye, belum termasuk pembuatan materi kampanye, biaya saksi, logistik, dan 'ongkos serangan fajar' jika ada. Sementara setingkat kota, Garut mengeluarkan biaya kampanye kurang lebih Rp2 miliar, sedang Bogor mencapai Rp6 miliar.
Sehingga, dalam pilkada memang dibutuhkan dana yang cukup tinggi. Oleh karena itu, crowdfunding bisa menjadi solusi.
Pilkada serentak, ilusi efisiensi dana
Tingginya ongkos politik ini membuat pemerintah berinisiatif menyusun pilkada serentak tahun ini. Namun, itu dianggap tak ubahnya paradoks efisiensi pembiayaan, sebab anggaran belanja partai dan calon masih saja membengkak.
Ilustrasi uang./ Pixabay
Aktivis Perludem Usep Hasan Sadikin menerangkan dua hal yang menyebabkan tingginya biaya pencalonan, yakni kampanye dan politik uang. Di dalamnya termasuk praktik mahar politik.
"Soal kampanye sebetulnya bisa dibuat irit dan setara. Regulasi bisa melarang sama sekali, ihwal kampanye di frekuensi publik (tv dan radio)," katanya.
Sebab, kampanye melalui frekuensi publik, memiliki biaya paling mahal dibanding kampanye media lain. Regulasi harusnya bisa melarang kampanye alat peraga di ruang publik. Jadi, kampanye di frekuensi dan ruang publik berada di ranahnya KPU, bukan calon.
Sayang, meski sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009, calon tetap membutuhkan anggaran tambahan. Belum lagi, jika mereka menggunakan jasa konsultan dan lembaga survei politik.
Sementara terkait politik uang, imbuhnya, agar irit kuncinya berada di penegakan hukum serta pendidikan politik. Masalahnya, akar persoalan politik uang, yakni mahar politik pun masih banyak dijumpai dewasa ini. Alhasil, calon tertentu kerap mencari sumber dana dari nonpemerintah, baik dari kelompok, individu, maupun badan usaha. Sebagian besar pendanaan dari sumber tersebut tidak tercatat dan jumlahnya berlipat-lipat lebih besar. Biasanya, para rente akan menggelontorkan dana dengan motif dan tujuan tertentu, seperti pengamanan dan penjaminan usaha mereka.
Hal ini dapat memunculkan kecenderungan, para politisi untuk menghamba kepada sang pemberi modal politik, ketimbang mengabdi pada kepentingan rakyat. Celakanya lagi, persoalan ini juga mengantarkan para politisi ke gerbang praktik korupsi, sebab mereka butuh uang balik modal.
Meniru PSI dan Gerindra
Melihat realitas politik saat ini, Partai Gerindra terang-terangan menggalang dana untuk kepentingan perjuangan ketua umumnya merebut kursi kekuasaan. Ahamad Muzani selaku Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, mengungkapkan hal itu dilakukan karena biaya politik amat mahal, sehingga Partai Gerindra perlu melakukan penggalangan dana.
"Dana yang telah terkumpul Rp296 juta, dari berbagai lapisan masyarakat. Paling tinggi ada yang nyumbang 15 juta dan terendah 100 ribu," paparnya di Kediaman Zulkifli Hasan di Widya Chandra, Senayan, Jakarta, Selasa, (26/6).
Tak hanya Gerindra, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga telah memulai melakukan crowdfunding. Juru bicara PSI Dedek Prayudi menyatakan, berdasarkan hitung-hitungan partainya, paling tidak partai butuh Rp1 triliun untuk menjadikan kadernya sebagai Presiden. Lalu 10 miliiar untuk calon legislatif.
Kendati demikan, menurut Dedek, ada sesuatu yang lebih penting dalam politik dari pada penggalangan uang, yaitu membangun kohesivitas sosial di tengah masyarakat. Tujuannya, agar massa mau berpartisipasi dalam penyusunan dan pembangunan partai.
"Itu yang penting, jadi bagaimana menciptakan dan mengajak orang untuk turut terlibat dalam langkah partai. Tujuannya agar rakyat itu merasa bagian dari partai," ujarnya. Sementara yang dilakukan Gerindra, imbuhnya, tidak membangun hal itu, karena partai ini figur sentrisnya relatif tinggi.
Menyikapi permasalahan ongkos politik yang cukup tinggi tersebut, Perludem melalui risetnya mendorong agar pemerintah dan DPR kembali memformulasikan penganggaran dana partai, seperti yang tertuang dalam PP yang diteken Jokowi. Selebihnya, tinggal perkara menghilangkan politik uang termasuk mahar politik, yang diyakini Perludem sudah menjadi budaya.