Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut wacana penundaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan presiden mulai kehilangan pamor. Pangkalnya, berdasarkan hasil survei opini publik dari lembaga survei yang kredibel, publik memiliki kecenderungan untuk menolak kedua hal tersebut.
"Survei opini publik hasilnya sudah jelas. Kalau dari lembaga-lembaga big data kredibel, banyak orang yang nggak setuju," kata Arya dalam sebuah dikusi daring di Jakarta, Minggu (13/3).
Arya menegaskan, situasi perpolitikan antarpartai menunjukkan mayoritas partai politik di DPR juga telah menyatakan sikap berupa penolakan terhadap usulan penundaan Pemilu 2024. "Karena sekarang mayoritas fraksi di DPR itu juga menolak secara tegas gagasan untuk menunda Pemilu 2024," ujar dia,
Oleh karena itu, Arya mengatakan, tidak ada alasan politik cukup kuat untuk menunda agenda Pemilu 2024. Apalagi kondisi politik Indonesia saat ini sedang mengalami kompleksitas tinggi di tingkat internasional maupun domestik.
Di tingkat internasional, Indonesia sedang mengemban tugas Presidensi G-20 di 2022 dan sebagai Ketua ASEAN di 2023. Sedangkan, di tingkat domestik, beberapa kepala daerah akan berganti menjadi pelaksana tugas.
"Kita juga menghadapi situasi pandemi, harus melakukan proses pemulihan ekonomi yang total. Harusnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mendorong isu penundaan pemilu," jelasnya.
Dengan demikian, Arya menyimpulkan, pemerintah seharusnya tidak membawa kembali isu penundaan Pemilu 2024. "Stabilitas pemerintah tergantung legitimasi publik dan politik. Nggak ada alasan moral untuk mendorong penundaan pemilu," pungkasnya.
Sebelumnya, pengamat kepemiluan Titi Anggraini usulan untuk menunda Pemilu 2024 bukan berdasarkan aspirasi masyarakat, namun dari pebisnis di Indonesia.
"Kalau soal aspirasi masyarakat sebenarnya kan aspirasi yang ditampung itu dalam kelompok kecil masyarakat, kelompok usaha dan dunia bisnis," ujar Titi.
Menurut Titi, permintaan para pebisnis tidak bisa mewakili kemauan rakyat secara luas. Kelompok itu juga diyakini cuma sebagian kecil jika dibandingkan dengan kemauan seluruh masyarakat Indonesia. "Kalau kita bicara rakyat secara keseluruhan skalanya sangat besar," ujar Titi.