Fenomena aklamasi kembali berulang dalam pemilihan ketua umum partai politik. Teranyar, Kongres III NasDem kembali menyepakati Surya Paloh sebagai ketua umum NasDem periode 2024-2029. Artinya, Paloh sudah tiga kali terpilih jadi Ketum NasDem secara aklamasi.
Selain di NasDem, proses pemilihan ketum secara aklamasi juga dijalankan di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dalam Muktamar ke-6 PKB yang digelar di Bali, pekan lalu, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin terpilih jadi Ketum PKB. Ini artinya Cak Imin bakal memimpin PKB untuk periode keempat.
Di Munas Golkar, Bahlil Lahadalia juga terpilih secara aklamasi setelah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mundur dari pencalonan. Model pemilihan aklamasi juga rencananya bakal dijalankan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk memilih kembali Zulkifli Hasan sebagai ketum.
Di Gerindra dan PDI-Perjuanngan model pemilihan ketum secara aklamasi juga sudah jadi tradisi. Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri bahkan sudah lima kali dipilih secara aklamasi. Sejak memimpin PDI-P pada 1999, Mega tak pernah punya saingan.
Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal menilai proses pemilihan ketum secara aklamasi mengindikasikan mandeknya regenerasi kepemimpinan di tubuh parpol. Secara kelembagaan, parpol belum mampu memunculkan figur-figur baru yang layak memimpin partai.
"Terlepas dari apakah regenerasi ini dihambat atau terjadi secara alami, ini wujud lemahnya lembaga partai," ucap Ikbal kepada Alinea.id, Senin (26/8).
Menurut Ikbal, parpol yang mengandalkan figur sulit melakukan regenerasi lantaran keengganan partai untuk lepas dari figur itu. Model kelembagaan parpol semacam itu kental terlihat pada PDI-P, Gerindra, dan NasDem.
"Patronase mengikat hubungan mereka sehingga (kader-kader) mengikuti arah pimpinan dalam rangka timbal balik," imbuh Ikbal.
Sistem pemilihan ketum secara aklamasi, menurut Ikbal, punya dampak buruk. Salah satunya ialah parpol mengalami personalisasi sehingga sulit untuk menjaga soliditas saat figur pemimpin tidak lagi mampu memanajemen konflik.
"Ketika tidak ada figur pengingat, partai rawan mengalami konflik internal. Ketika tidak ada figur, saat citra partai memburuk, partai rawan ditinggal pemilih," ucap Ikbal.
Analis politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai fenomena pemilihan ketum secara aklamasi bisa dipandang dari dua sisi. Pertama, aklamasi merupakan perwujudan dari aspirasi politik internal partai dan tak dilarang.
Kedua, aklamasi merupakan dampak negatif dari mandeknya kaderisasi di partai politik. Dari sisi ini, terlihat ketidakmampuan parpol dalam regenerasi kepemimpinan dan membangun iklim demokrasi di internal parpol.
"Seharusnya elite partai mempersiapkan diri untuk ke depan. Apakah tantangan-tantangannya. Untuk (mengatasi) itu, kemudian dibutuhkan orang-orang yang baru yang mungkin bisa beradaptasi memimpin partai," ucap Cecep kepada Alinea.id, Selasa (27/8).
Selain mandeknya regenerasi, sistem pemilihan ketum secara aklamasi juga menunjukkan kelemahan kelembagaan parpol. Banyak parpol masih sangat tergantung pada figur-figur yang mampu mendanai operasional parpol.
Walhasil, sebagai pengendali dan pemodal parpol, ketua umum punya otoritas yang sangat kuat. Dia, misalnya, bisa menentukan calon kepala daerah tanpa harus meminta persetujuan dari para petinggi parpol di daerah.
"Di sini, posisi ketum partai sangat strategis. Dia harusnya yang berperan menjadi manajarial partai. Di banyak negara modern, manajemen partai itu adalah orang yang mengelola partai. Sebagai contoh di Amerika Serikat, Partai Republik dan Partai Demokrat punya banyak elite senior. Ketua umum hanya manajerial," ucap Cecep.
Cecep pesimistis model pemilihan ketum secara aklamasi bakal memudar. Menurut dia, regenerasi kepemimpinan berbasis sistem meritokrasi masih sulit dijalankan di parpol-parpol di Indonesia.
"Ketua umum partai merasa partai itu dibuat oleh dirinya. Jadi, dia yang memimpin partai itu, dari awal sampai akhir," imbuhnya.