Dari Sabang sampai Merauke, kecurangan itu terjadi...
Kecurangan terkait pemilu jelang dan setelah pemungutan suara marak. Dari hasil pemantauan selama 14-19 Februari, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pemilu Curang menemukan setidaknya 104 dugaan kecurangan saat penyelenggaraan Pemilu 2024. Koalisi terdiri sejumlah LSM, semisal Indonesia Corruption Watch (ICW), Themis Indonesia, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Dari jumlah itu, 31 kecurangan di ranah pemilu presiden (pilpres), 34 kecurangan di pemilu legislatif (pileg), 10 kecurangan di pilpres-pileg, dan 29 kecurangan lainnya bersifat umum. Sebanyak 81% temuan dugaan kecurangan terkait pilpres mengarah pada pasangan nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Berdasarkan hasil pemantauan di 10 provinsi, pelanggaran atau dugaan kecurangan didominasi oleh indikasi yang berkaitan dengan netralitas aparatur negara dan desa, serta penyelenggara pemilu. Masing-masing kasus jumlahnya mencapai 32 temuan.
"Ternyata yang paling banyak bertindak tidak netral sepanjang penyelenggaran pemilu adalah kepala desa. Kita ketahui bahwa kepala desa ini sebelum hingga sepanjang penyelenggaran Pemilu 2024, diduga telah memihak kepada salah satu pasangan calon tertentu," kata peneliti Themis Indonesia, Hemi Lavour dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (22/2).
November lalu, sejumlah organisasi yang beranggotakan perangkat desa menggelar Silatnas Desa Bersatu 2023. Dalam acara itu, tersirat dukungan dari peserta Desa Bersatu untuk pasangan Prabowo-Gibran. Gibran dan sejumlah petinggi parpol hadir dalam acara tersebut.
Pada kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai dugaan kecurangan sudah memenuhi elemen terstruktur, sistematis, dan masif. Itu terjadi lantaran penyelenggaran pemilu sudah bermasalah sejak di hulu.
”Dugaan kecurangan ini juga terjadi merata, dari ujung Aceh hingga Papua. Ini sudah menggambarkan situasi, tinggal dikonversi jumlah suaranya (yang terindikasi curang),” tambahnya.
Dari hasil penelusuran Alinea.id, politik uang juga marak di DKI Jakarta. Sejumlah warga DKI Jakarta yang ditemui Alinea.id mengaku menerima duit dari calon anggota legislatif di tingkat DPRD dan DPR RI. Ada pula yang mengaku ditugasi menyebar duit untuk serangan fajar jelang pencoblosan.
Alinea.id sudah berupaya mengonfirmasi laporan dugaan kecurangan yang diungkap Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pemilu Curang kepada Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja dan anggota Bawaslu RI Puadi. Namun, keduanya tidak merespons permintaan wawancara dari Alinea.id.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak mengatakan fenomena politik uang tak hanya terpantau terjadi di Jakarta saja. Menurut dia, praktik jual-beli suara juga terjadi merata di semua daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke.
"Berdemokrasi dalam mayoritas masyarakat yang masih merasa lapar atau kesulitan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, risikonya seperti itu. Uang menjadi pemain penting dalam elektoral," ucap Zaki kepada Alinea.id.
Modus paling lazim, kata Zaki, ialah pemberian duit di dalam amplop dengan instruksi untuk memilih salah satu kandidat. Isi amplop bervariasi, tapi lazimnya Rp100 ribu per amplop. Selain itu, ada juga yang menggunakan bantuan sembako sebagai pengganti politik uang.
"Paling umum adalah melalui operator lapangan. Ini untuk menghindari tertangkap tangan secara langsung. Penerima kemudian diminta membuat komitmen, biasanya sumpah, akan mencoblos nama kandidat yang memberi uang. Model seperti ini yang marak terjadi," kata Zaki.
Praktik politik uang, kata Zaki, terus berulang karena tidak ada tindakan tegas dari pengawas pemilu. "Jadi, ada kondisi struktural yang mendorong money politic menjadi semakin normal. Hal seperti inilah yang menyebabkan demokrasi elektoral di Indonesia semakin rendah kualitasnya," ucap Zaki.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati menilai kasus-kasus dugaan kecurangan Pemilu 2024 menyeruak di berbagai daerah karena sejak awal Presiden Joko Widodo sengaja melemahkan kinerja lembaga penyelenggara pemilu. Ia mencontohkan pemberian tunjangan di luar ketentuan kepada pegawai Bawaslu jelang pencoblosan.
"Ini (tunjangan) menimbulkan kecemburuan untuk penyelenggara pemilu yang lain. Terkait Sirekap, misalnya. Temuannya sudah sangat jelas, tetapi Bawaslu hanya merekomendasikan menghentikan Sirekap dan meminta publik melakukan audit," kata Neni kepada Alinea.id, Jumat (23/2).
Walhasil, baik KPU maupun Bawaslu, kerap tutup mata atas kecurangan yang terjadi. Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Bawaslu mulai dari pencegahan, pengawasan, penanganan pelanggaran, bahkan sampai dengan penyelesaian sengketa.
"Ini seolah Bawaslu seperti jubir KPU saja. Temuan itu sangat banyak, tetapi proses penanganan pelanggarannya lemah," ujar Neni.
Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengimbau KPU dan Bawaslu serta DKPP tidak tutup mata terhadap laporan-laporan dugaan kecurangan pemilu yang dilaporkan kalangan masyarakat sipil. Ia berharap penyelenggara pemilu tetap bersikap profesional.
"Transparan, akuntabel, dan bermartabat karena apa pun suara yang diberikan oleh rakyat adalah harapan yang harus dijaga demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik," ucap Indraza kepada Alinea.id.