close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Warga melintas di dekat akses masuk kampung yang ditutup di kawasan Pakem Sleman DI. Yogyakarta, Jumat (27/3)/Foto Antara/Andreas Fitri Atmoko.
icon caption
Warga melintas di dekat akses masuk kampung yang ditutup di kawasan Pakem Sleman DI. Yogyakarta, Jumat (27/3)/Foto Antara/Andreas Fitri Atmoko.
Politik
Selasa, 31 Maret 2020 12:07

Darurat sipil Covid-19 perlihatkan upaya lepas tangan pemerintah

Status darurat sipil Covid-19 berpotensi picu tindakan represif
swipe

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempertanyakan wacana penerapan status darurat sipil dalam menangani pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19.

Darurat sipil kemungkinan diterapkan melalui payung hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959.

Menanggapi hal itu, Juru Bicara PKS, Ahmad Fathul Bari menilai kebijakan tersebut relevan dengan kondisi dan situasi saat ini. Menurut dia, pemberlakuan status darurat sipil malah memperlihatkan upaya lepas tangan pemerintah.

"Terkesan sebagai upaya lepas tangan pemerintah dengan tanggung jawab lebih besar dalam mengambil langkah yang lebih tepat sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan," kata Fathul via keterangan tertulisnya, Selasa (31/3).

Selain itu, Fathul menilai bahwa Perppu tersebut berpotensi menimbulkan masalah baru bila disalahgunakan penerapannya, yakni memungkinkan adanya langkah yang kurang sesuai dengan semangat demokrasi yang menjadi amanat Reformasi 1998.

Artinya, kata dia, wacana darurat sipil tidak tepat. Penerapan status darurat sipil itu malah membuka ruang penyalahgunaan wewenang dan langkah represif, dibanding upaya penanganan wabah Covid-19 yang lebih baik.

"Pemerintah makin tidak jelas dalam menghadapi pandemi Covid-19," tegasnya.

Bagi Fathul, payung hukum yang relevan sudah ada melalui status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Lebih jauh, ketidakjelasan orientasi kebijakan Pemerintah Pusat bahkan membuat sebagian Kepala Daerah di Indonesia mengambil langkah antisipatif yang seolah dilakukan tanpa komando dan tanpa koordinasi dengan Pemerintah Pusat.

"Kami mendesak pemerintah untuk mengambil kebijakan yang lebih tepat dan jelas orientasinya, serta menggunakan payung hukum yang lebih relevan, agar bisa menyelamatkan masyarakat melewati masa-masa sulit menghadapi wabah covid-19 ini, bukan malah memperlihatkan ketidakjelasan orientasi dan ketidakberpihakan kebijakannya terhadap masyarakat kita," pungkasnya.

Senada dengan Fathul, Ketua DPP PAN Saleh Partaonan Daulay sebelumnya menyampaikan bahwa pemerintah nampak tidak ingin mengeluarkan biaya dengan bila tidak memilih karantina wilayah. Termasuk untuk membiayai kebutuan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut. Belum lagi, dampak sosial ekonomi yang mengiringinya.

Jika karantina wilayah yang diberlakukan, lanjut Saleh, konsekuensinya memang akan banyak perusahaan dan tenaga kerja yang berhenti beroperasi.

Dikatakan dia, dampak sosial ekonominya tentu tidak sedikit. Oleh karena itu, belum tentu semua pihak siap menerimanya.

“Menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. Kalaupun mau menerapkan darurat sipil, masih memerlukan aturan tambahan lainnya. Ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama lagi," tegas dia.

Dengan adanya opsi baru ini, Saleh menilai pemerintah kelihatannya belum siap untuk mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus rantai penyebaran coronavirus di Tanah Air.

img
Fadli Mubarok
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan