Partai Demokrat berharap adanya pertemuan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertemuan kedua tokoh tersebut dianggap bisa mengatasi masalah kriminalisasi yang dialami kader partai berlambang bintang mercy, Syaharie Jaang.
“Mudah-mudahan lah (ada pertemuan), kalau tidak juga kan kita sudah ekspose ke media. Artinya tidak ada alasan untuk presiden tidak tahu masalah (kriminalisasi) ini,” ujar Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Andi Nurpati saat berbincang dengan Alinea, Jumat (5/1).
Andi meyakini, Presiden Jokowi bukanlah sosok yang ingin mencederai demokrasi. Sebaliknya, Demokrat menyebut ada oknum yang ingin merusak demokrasi di Indonesia. Melalui pertemuan antara SBY dan Jokowi, Andi menganggap bisa jadi simbol komitmen pemerintah agar Pilkada berjalan dengan baik.
“Itu oknum-oknum tertentu saja, mungki ada ‘sosok’ yang punya power besar, belum tentu presiden yang ingin merusak demokrasi, menggunakan aparat dan lain-lain. Tentu kita wajib menyampaikan agar demokrasi berjalan dengan baik,” sambungnya.
Sebelumnya, Rabu (3/1) lalu, SBY menggelar emergency meeting untuk membicarakan masalah yang membelit Jaang. Terlebih Walikota Samarinda itu akan dijagokan untuk Pilgub Kalimantan Timur dan dituduh melakukan pemerasan seta pencucian uang.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing menilai tak perlu ada pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan, ia menyebut jika pertemuan itu terjadi, akan jadi preseden buruk untuk demokrasi di Indonesia.
“Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks Pilkada, sikap Jokowi tidak boleh melakukan pertemuan dengan pimpinan partai, termasuk dengan SBY. Karena ini menyangkut Pilkada. Sebab bisa dipersepsikan publik sebagai bentuk dukungan terhadap paslon atau ketum,” jelas Emrus kepada Alinea.
Sebaliknya, jika Partai Demokrat merasa dikriminalisasi, Emrus menyarankan untuk diselesaikan juga dengan cara hukum. Apalagi, jika kadernya tidak terbukti melakukan kesalahan sebagaimana dilaporkan, justru bisa menjadi poin untuk merebut simpati dan empati pemilih.
“Segala persolan hukum tentang Pilkada dihadapi dengan hukum, jangan menarik presiden ke ranah itu. (kalau) dibebaskan (tak terbukti) dia bisa melejit, dari segi politik orang tersebut sebagai political victim, atau dizalimi. Itu orang akan memberikan simpati. Itu bisa melejit,” tandasnya.