Para tahanan yang dijerat dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE diminta dibebaskan.
Saran ini disampaikan anggota Komisi III DPR Fraksi Demokrat Benny Kabur Harman menyusul terbitnya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia (SE Kapolri).
"Dengan SE ini, sebaiknya para tersangka yang telanjur ditahan karena dituduh melanggar UU ITE segera dibebaskan dan mengikuti proses hukum tanpa ditahan," ujar Benny K Harman dihubungi Alinea.id, Selasa (23/2).
Politikus Demokrat itu melanjutkan, jargon restorative justice yang digemborkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak hanya diterapkan pada tahapan penyidikan, melainkan juga di proses persidangan.
"Perkara bisa tidak dilanjutkan jika para pihak yang bersengketa mau damai dan mengakhiri perseteruan di antara mereka," terang Benny.
Terlepas dari itu, Benny menyambut baik SE penanganan kasus dalam UU ITE ini. Terlebih, terdapat ketentuan pengecualian penahanan bila tersangka telah meminta maaf. Dia memandang ketentuan itu merupakan cerminan dari aturan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).
"SE ini sebenarnya merupakan penegasan dalam ketentuan KUHAP bahwa tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun tidak harus ditahan," terang dia.
Benny menilai, ketentuan pengecualian penahanan itu selama ini tidak dilaksanakan oleh Polri.
"Atau dilaksanakan tetapi diskriminatif, dipakai sebagai alat untuk menjaring lawan-lawan politik," lanjutnya.
Kendati demikian, Benny menyarankan Polri agar dapat membuat pedoman penanganan kasus bagi para penyidik. Pedoman dimaksudkan agar penyidik tidak menahan tersangka dengan ancaman hkuman dibawah lima tahun.
"Sebaiknya Kapolri buat peraturan polri yg ditujukan kepada semua penyidik agar tidak melakukan penahanan terhadap para tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun," terang dia.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat edaran (SE) mengenai penananganan kasus yang diduga melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.
Sejumlah poin dalam SE tersebut yakni:
a. Mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya
b. Memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat
c. Mengedepankan upaya preemptif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber
d. Dalam menerima laporan dari masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil
e. Sejak penerimaan laporan, agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. Melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme
i. Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali
j. Penyidik agar berkoordinasi dengan JPU dalam pelaksanaanya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan
k. Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan.