Partai Demokrat mewacanakan duet Jusuf Kalla (JK) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilu Presiden 2019. Wacana ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
"Putusan MK hari ini juga semakin menguatkan dan meyakinkan kami untuk mengusung JK jadi calon Presiden didampingi AHY sebagai wakilnya di Pemilu 2019," kata Ketua DPP Partai Demokrat, Jansen Sitindaon dikutip Antara, Kamis (28/6).
Menurutnya, putusan MK telah membuat jelas bahwa JK tidak bisa kembali ke kontestasi Pilpres sebagai cawapres. Dikatakan Jansen, JK harus mengajukan diri sebagai capres jika masih ingin maju di Pilpres.
Menurutnya, duet JK-AHY akan menjadi kolaborasi yang sangat komplit karena menampilkan "wajah" politik yang moderat saat ini dan bertemunya wisdom dan passion. Duet keduanya, juga diyakini dapat membuat sejuk kondisi Indonesia. Demokrat pun meyakini partai lain akan memberi dukungan sehingga tercapai koalisi baru di luar yang saat ini sudah muncul.
"Terkait dukungan politiknya, kami yakin soal suara yang masih kurang 9 persen untuk melengkapi suara yang telah dimiliki Demokrat untuk mengusung pasangan ini, akan mampu mencarinya dengan membangun komunikasi dengan partai lain yang seide dan sepahaman," ujarnya.
JK menolak
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, mengatakan bahwa hal ini harus diinterpretasikan dengan keputusan dan konstelasi yang ada. Fadli menyerahkan hal tersebut pada JK jika konstelasi tersebut memungkinkan.
"Kalau misalnya konstelasi yang ada memungkinkan, ya itu tergantung yang bersangkutan. Pada dasarnya kan siapa pun berhak untuk dipilih dan memilih," ujarnya.
Hanya saja, JK mengisyaratkan penolakannya untuk kembali maju di ajang pesta demokrasi lima tahunan. JK mengaku ingin istirahat dan mendorong nama-nama baru untuk maju dalam kontestasi politik tersebut.
"Saya ingin cukuplah, saya ingin istirahat. Sekarang gilirannya yang muda-muda," katanya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji ketentuan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
"Amar putusan menyatakan, permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman, ketika mengucapkan amar putusan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis (28/6).
Permohonan uji materi ini diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia Muhammad Hafidz, dan dua organisasi, yaitu Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan Perkumpulan Rakyat Proletar.
MK menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, sehingga permohonan mereka tidak dapat diterima.
"Pihak yang mungkin dapat dinilai mengalami kerugian konstitusional dengan berlakunya norma a quo adalah partai politik yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan pertimbangan Mahkamah.