Denny Siregar: Saya bekerja tanpa komando
Pegiat media sosial Denny Siregar kembali menuai kontroversi karena unggahannya. Kali ini, pendukung fanatik Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu diburu warganet karena seri cuitannya di Twitter yang dianggap mendiskreditkan aksi unjuk rasa mahasiswa menolak rencana pengesahan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada periode 23-25 September lalu.
Dalam salah satu cuitan, Denny sempat menyebar informasi keberadaan ambulans berlogo DKI Jakarta yang kedapatan membawa batu. Cuitan itu membuat heboh jagat maya. Pemprov DKI dihujat warganet yang tak tahu benar duduk perkaranya. Tak ketingggalan, petugas medis pun jadi korban perundungan.
Namun, ternyata Denny 'sedikit' keliru. Pemprov DKI dan Palang Merah Indonesia (PMI) pusat membuktikan ambulans bukan instrumen pendukung aksi unjuk rasa.
Polri membela Denny. Di ambulans itu, kata polisi, terbukti ada batu. Tapi, memang bukan dipakai untuk menyuplai para perusuh.
Cuitan lainnya juga membuat warganet, khususnya anak-anak sekolah teknik mesin (STM), geram. Di cuitan tersebut, Denny menyebut ada banyak wajah 'boros' dalam aksi unjuk rasa anak-anak STM pada 25 September. Tak butuh lama, tagar #DennySiregarDicariAnakSTM pun trending.
Kepada Alinea.id, mantan jurnalis dan penulis sejumlah buku itu mengklarifikasi kegiatannya di media sosial yang kerap bikin 'gaduh'. Ia pun membantah dibayar untuk menjadi bemper Jokowi di media sosial.
Menurut Denny, ia aktif di media sosial karena tergerak untuk membersihkannya dari penyakit-penyakit. "Tuhan telah memberikan saya alat perjuangan yang bernama media sosial," kata dia.
Berikut isi perbincangan Alinea.id bersama Denny Siregar di Jakarta, Selasa (8/10) lalu.
Awalnya bagaimana memilih terjun aktif di media sosial?
Dimulai saat saya menulis tentang spiritual. Buku saya yang pertama yang berjudul "Tuhan Dalam Cangkir Kopi" yang sebenarnya tak ada kaitannya dalam politik mendorong saya untuk membela orang yang saya anggap benar di 2014. Ya, Jokowilah orangnya. Tapi, perlu dipahami, bukan politiklah yang melatarbelakangi saya membela Jokowi. (Itu) karena politik bukan jalan saya.
Kenapa membela Jokowi?
Bagi saya, Jokowi bagaikan anomali. Dulu yang saya pahami, untuk menjadi presiden harus dari kalangan kaya raya, tentara, dan memiliki darah bangsawan. Tapi, kemunculan Jokowi meruntuhkan hal itu semua. Oleh sebab itu, saya tergerak untuk membelanya di 2014. Tapi, saya heran kenapa baru sekarang saya dikatakan buzzer Jokowi. Padahal saya sudah lama dukung Jokowi.
Jadi Anda benar buzzer Jokowi?
Bukan, saya influencer. Sebab, saya bekerja tanpa komando. Semua propaganda saya susun sendiri.
Tapi, Anda kerap dituding sebagai buzzer?
Saya jujur, biasa saja. Sebab, dari dulu saya sudah dituding macem-macem. Mulai dari dituduh liberal, Syiah, PKI, sampai kafir. Jadi, saya sudah tak heran dengan tudingan buzzer.
Kapan Anda memulai menjadi propagandis di media sosial?
Sebenarnya sudah sejak 2011. Awalnya saya sering mengamati konflik Suriah pada tahun 2012 dan saya melihat ada pola-pola di Suriah yang mirip dengan pola-pola yang ada di Indonesia. Jadi, ada model framing melalui pemberitaan--yang ternyata sesudah saya teliti--tak sesuai dengan faktanya. Modelnya, orang-orang pada waktu itu, dibuat percaya sama ISIS sebagai pejuang Islam. Lalu, saya katakan tindakan mereka tak mencerminkan seorang Muslim melainkan seorang teroris. Sontak saya dikatakan kafir dan semacamnya. Tapi, akhirnya belakangan orang percaya ISIS itu memang teroris.
Artinya Anda ingin mem-framing balik mereka?
Sesudah konflik di Suriah, saya sempat berpikir bagaimana jika itu terjadi di Indonesia. Sebab, pada tahun 2013, ada kelompok yang membawa bendera ISIS ke Indonesia. Saya berkata dalam hati, ini indikasi untuk men-Suriahkan Indonesia. Dari situ, saya mulai menulis, membongkar mereka berdasarkan apa yang saya ketahui tentang Suriah.
Anda terlihat membela mati-matian Jokowi. Apakah Anda kenal dekat dengan Jokowi?
Tidak. Saya sebenarnya pun tidak total membela Jokowi. Tapi, karena dia (Jokowi) terus difitnah, semua masalah ditujukan menjadi salah Jokowi dan dia terus difitnah disebut antek PKI dan lain sebagainya. Saya tidak bisa tinggal diam. Sebab, jika dibiarkan, orang akan menganggap itu sebuah kebenaran. Sekarang media sosial itu bisa menjadi tempat penyebaran penyakit jika tak ada orang yang mencoba menetralisir.
Pernyataan Anda di media sosial kerap bikin emosi 'lawan-lawan' Anda. Apakah Anda tidak khawatir?
Saya cuek saja. Bahkan pada tahun 2017 pasca-Pilkada DKI Jakarta, saya pernah hampir ditolak saat acara di Pekanbaru dengan Anshor dan Banser. Banyak spanduk penolakan dari kelompok mereka (FPI). Tulisannya 'Keluarkan Denny Siregar dari Pekanbaru'. Tapi, ketika mereka sudah kumpul di depan hotel, saya bilang sama teman-temen Banser, undang mereka masuk ke dalam, kasih makan, saya peluk satu-satu, tapi viralkan. Biar mereka memahami bahwa yang mereka hadapi di media sosial itu berbeda dengan dunia nyata dan saya mau membuktikan itu. Tapi, mereka malah ketakutan.
Apakah Anda pernah mendapatkan intimidasi karena aktivitas di media sosial?
Secara langsung belum pernah. Saya pun tak yakin mereka berani menyerang jika sendirian. Sebab, mereka punya ciri menyerang secara keroyokan karena merasa punya massa.
Bagaimana dengan keluarga Anda. Apakah pernah mendapatkan ancaman?
Tidak. Awalnya, memang istri saya khawatir. Tapi, kemudian lama-kelamaan biasa aja.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap persekusi yang dialami relawan Jokowi Ninoy Karundeng oleh oknum-oknum Persaudaraan Alumni (PA) 212, belum lama ini?
Kasus ini merupakan alarm bagi demokrasi. Kelakuan mereka persis PKI dan ISIS karena mereka menghalalkan segala cara untuk melawan orang yang berbeda dengan mereka. Saya melihat mereka hanya copy-paste. Mestinya pemerintah sekarang jangan diam saja melihat ini. Sebab, jika dibiarkan, mereka akan merasa menang. Ketika mereka merasa menang, mereka akan seenaknya melakukan tindakan serupa. Orang-orang yang melakukan persekusi terhadap Ninoy harus dihukum seberat-beratnya. Ini mesti menjadi pelajaran. Namun, pertanyaannya, beranikah pemeritah kita bertindak tegas? Karena saya lihat ada kecenderungan pemerintah saat ini lemah jika berhadapan dengan yang berbau agama.
Sebegitu berbahayakah profesi seorang pegiat media sosial, baik itu buzzer atau influencer?
Sebenarnya hal yang biasa saja. Kasus yang menimpa Ninoy itu karena dia kebetulan pas meliput lalu ketangkap. Jadi, bukan diculik. Saya pikir, selama kita ada di rel masing-masing dan tidak mencampur-adukkan antara masalah yang ada di media sosial dengan di kehidupan nyata, tak akan ada masalah.
Anda beberapa kali dilaporkan ke polisi. Salah satunya terkait dugaan penghinaan terhadap rakyat Aceh. Tapi, sampai sekarang tidak sekali pun terjerat. Apa rahasianya?
Saya kebal hukum atau mereka yang tak memiliki bukti hukum? Untuk melaporkan seseorang ke polisi itu harus memiliki dua alat bukti. Sedangkan, mereka tak pernah memiliki alat bukti untuk memasukkan saya ke penjara. Contoh, saat ada pembunuhan suporter (Persija pada 2018) . Saya men-Tweet bagaimana bisa orang-orang mengucapkan kalimat lailahailallah sambil membunuh seseorang. Langsung saya dilaporkan karena dituding menista agama. Tapi, bukti mereka tidak kuat hingga akhirnya gagal memenjarakan saya. Karena gagal, mereka berkoar kalau saya kebal hukum. Kasus serupa juga terjadi saat saya mengkritik Parlemen Aceh tentang poligami. Itu dibingkai seolah-olah saya telah menghina bangsa Aceh. Padahal, (itu) sesuatu yang beda. Ketika mereka tak bisa membuktikan tuduhan itu, mereka mengatakan kalau Denny Siregar kebal hukum. Saya jadi bertanya, 'Ini saya yang kebal hukum, apa kalian yang memang bodoh?'
Unggahan-unggahan Anda nuansanya kental membela kepentingan pemerintah. Apakah Anda dibayar oleh pihak Jokowi?
Itu lagu lama. Sejak 2014, saya sudah disebut buzzer Jokowi. (Tahun) 2016, saya dibilang buzzer (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) Ahok. Sekarang kembali saya disebut mendapat bayaran dari Jokowi. Saya tak heran dengan tudingan itu.
Tidak benar Anda mendapat bayaran dari Jokowi?
Tidak. Itu tidak benar.
Lalu bagaimana Anda mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup?
Saya penulis buku. Ada beberapa buku yang saya tulis. Dan, bagi saya, itu sudah cukup untuk kebutuhan saya. Sebenarnya sering pertanyaan ini dilontarkan ke saya. Tapi, ini menandakan orang hanya mengukur saya dari sisi materi. Padahal, bukan itu yang saya cari ketika saya menceburkan diri menjadi influencer. Tapi, ada hal yang harus saya lawan.
Anda 'diburu' anak STM dan disebut penyebar hoaks karena seri cuitan terkait aksi unjuk rasa mahasiswa pada 23-30 September. Apakah Anda mengakui ini kasus penyebaran informasi yang off-side?
Itu merupakan propaganda untuk menciptakan kesan kalau saya adalah penyebar hoaks. Padahal, tak ada yang hoaks dari ambulans pembawa batu itu. Sebab, hoaks itu jika saya bilang ambulans itu mengangkut batu, tapi polisi bilang berbeda. Kalau belakangan polisi itu mengklarifikasi bahwa bukan paramedisnya yang membawa itu domainnya polisi.
Tapi, mengenai adanya batu di ambulans bukanlah hoaks. Sebab, ada tersangkanya, ambulans dan batunya. Meski, bukan paramedisnya yang mengangkut. Jadi, tidak ada yang hoaks di sana. Saya merasa lawan sedang ingin menjebak saya agar masuk bui. Tapi, mereka sudah dalam kondisi tidak mampu bertarung dalam narasi. Makanya, menyerang secara personal. Saya mencium ada dendam dalam perkara ini. Sebab, dulu mereka punya simbol yang bernama Jonru Ginting (pegiat media sosial kontroversial) yang dipenjara.
Bagaimana Anda melihat ekosistem buzzer saat ini ?
Saat ini, ada yang namanya buzzer, ada yang namanya influencer. Buzzer, setahu saya, itu suatu kelompok yang rata-rata memiliki akun dan followers-nya yang tidak banyak, yang dikoordinasikan untuk menciptakan situasi tertentu. Lalu, ada pula influencer. Model yang satu ini bergerak tanpa tuan dan bertujuan untuk mempengaruhi orang melalui tulisan, tanpa memikirkan suka tidaknya orang terhadap tulisannya. Tapi, karena banyak orang tidak mampu mengklarifikasikan hal itu, mereka dengan mudahnya menyebut saya buzzer.
Apakah benar buzzer hanya menjamur saat musim pemilu saja ?
Saya rasa tergantung siapa yang memelihara mereka. Saya tak percaya, baik koalisi maupun oposisi, tidak memelihara buzzer. Pasti mereka memelihara buzzer. Sebab, saat ini media sosial telah menjadi raja untuk menyampaikan informasi. Bahkan, ketika Tempo menguliti buzzer secara emosi. Saya rasa Tempo sudah merasa takut dengan media sosial. Karena sumbernya sama, cuma bedanya Tempo tak bisa mengolahnya secepat buzzer. Menurut saya, sejauh itu masih dalam adu pemikiran tak ada masalah. Namun, jika sudah membunuh karakter seseorang bahkan memfitnah, itu baru masalah.
Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan bahwa buzzer mesti ditertibkan. Tanggapan Anda?
Ini yang acapkali saya sayangkan. Pemerintahan Jokowi ternyata memiliki gaya komunikasinya yang buruk. Menurut saya, pernyataan yang dikeluarkan Moeldoko dan Wiranto ke wartawan sangat buruk. Entah karena sedang cari panggung atau cari perhatian agar dijadikan menteri lagi. Tapi, menurut saya, gaya Moeldoko kontraproduktif. Saya melihat semua orang di kabinet Jokowi ingin bicara. Tidak ada model seperti Febri (Diansyah) di KPK yang bisa berbicara mewakili instansinya.
Banyak pihak yang memandang Jokowi dikelilingi oleh oligarki. Bagaimana Anda melihat situasi ini?
Jujur saja saya tak mau naif dan belaga idealis. Oligarki itu sudah sejak lama ada di negara kita, terhitung sejak Orde Baru. Sistem kita sudah sejak lama dikuasai oligarki. Menurut saya, Jokowi tak bisa langsung membasmi oligarki dengan sekali tepukan tangan karena berisiko melahirkan revolusi. Oligarki ini memiliki kekuatan modal yang tak main-main. Mereka bisa hancurkan pemerintahan kapan pun mereka mau. Jangankan Indonesia, Amerika yang usianya sudah tua pun masih dikuasai oligarki.
Jadi, menurut saya kita tak perlu sok suci melihat keadaan ini. Yang perlu dipikirkan bagaimana membasmi oligarki itu secara pelan-pelan. Saya melihat Jokowi memiliki usaha itu. Terlihat dari pembangunan infrastruktur. Dia sedang berusaha memeratakan ekonomi agar makin banyak orang-orang biasa yang muncul ke panggung nasional untuk mengikis kaum oligarki.
Menurut Anda bagaimana mestinya buzzer dan influencer bersikap di media sosial agar tak memicu kerusuhan di kehidupan nyata?
Saya melihat bangsa ini masih mengalami euforia dari keterbukaan. Kita baru punya corong untuk berbicara 2009 ketika adanya media sosial. Usia demokrasi kita pun masih terbilang muda. Buat saya, silakan saja bersuara. Asal jangan hoaks. Ungkapkan pikiranmu seekstrem mungkin, seradikal mungkin, namun harus sejujur-jujurnya. Dan, jangan pernah punya niat untuk memancing kerusuhan. Saya yakin pelan-pelan masyarakat kita akan dewasa dalam bermedia sosial.