Deretan UU yang dilanggar dalam pelantikan Iriawan
Menurut Komisioner Ombusman Laode Ida, Presiden Jokowi harus diingatkan, pelantikan Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar menyalahi sejumlah UU.
Setidaknya ada tiga UU yang dilanggar, terutama terkait dengan posisi Iriawan sebagai jenderal polisi aktif saat ini. Dalam UU Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat 3 disebutkan, anggota kepolisian dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Hukumonline menulis, jika ditafsirkan secara a contrario, ketentuan tersebut berarti, seorang anggota kepolisian yang masih aktif dilarang untuk menduduki jabatan di luar kepolisian.
"Keinginan mengangkat perwira Polri atau TNi aktif itu sebenarnya sudah diniatkan sejak awal tahun ini, ditandai dengan digulirkannya Permendagri Nomor 1 Tahun 2018," ujar Laode.
Namun, saat itu, imbuhnya, sejumlah pihak termasuk ia sudah mengingatkan pemerintah, khususnya Mendagri atau Presiden, agar tidak memaksakan melanggar UU ini, dengan memberlakukan Permendagri Nomor 1 Tahun 2018. Menurutnya, Jokowi harus segera menyetop Permendagri ini, sebab Jokowi sudah disumpah untuk menjalankan UUD 1945 dan sekaligus wajib mematuhi UU yang berlaku.
"Sayang, rupanya Pak Jokowi sudah tak peduli dengan peringatan semua kalangan itu. Ini sangat memprihatinkan dan perlu dicermati secara serius apa agenda di balik pemaksaan (Permendagri) ini," tuturnya.
Selain melanggar UU Kepolisian, pelantikan Iriawan juga melanggar Pasal 201 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sebagai payung hukum pengisian posisi penjabat gubernur, dan Pasal 19 ayat (1) huruf b UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Dalam UU Pilkada disebutkan, untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, maka Plt mesti segera diangkat. Yang boleh jadi Plt adalah, mereka yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Lebih lanjut, dalam UU tentang ASN diterangkan, pimpinan tinggi madya adalah sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara.
Iriawan sendiri dipilih, lantaran ia tak lagi mengisi posisi strategis di Polri. Ia hanya menjabat sebagai pejabat eselon satu, atau sebanding dengan dirjen atau sekjen di kementerian. Menurut anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Luthfi Andi Mutty, hal ini tetap tak dibenarkan.
Luthfi Andi Mutty mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan jabatan pimpinan tinggi madya, sebagai dalih yang didengungkan Mendagri Tjahjo Kumolo sebelumnya, atas pelantikan Iriawan. Menurut dia, dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) disebutkan, jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.
Prajurit TNI dan anggota Polri, kata dia, pada dasarnya dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tapi berdasarkan ketentuan pasal 104 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2014 menentukan, jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri, setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
"Dengan begitu, jelas terlihat ada tiga UU yang dilanggar dalam pelantikan Iriawan sebagai Plt Gubernur Jabar," tandasnya dalam pernyataan tertulis, Senin (18/6), dilansir Antara.
Pelantikan Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar./ Antarafoto
Hal itu diamini pemerhati ketatanegaraan, politik, dan pemilu Said Salahudin. Ia berpendapat, pelantikan dan penempatan perwira aktif Polri, Komjen Polisi M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat adalah pengangkangan terhadap UU.
"Undang-Undang memang membuka ruang bagi anggota Kepolisian termasuk juga anggota TNI untuk menduduki jabatan ASN. Namun UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN (UU ASN) tegas membatasi jabatan mana saja yang boleh diisi oleh anggota Polri-TNI," kata Said.
Said merujuk pada Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU ASN, yang mengatur anggota Polri atau prajurit TNI hanya diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu saja, yaitu jabatan yang ada pada instansi pusat, tidak untuk jabatan pada instansi daerah.
"Apa itu instansi pusat. Instansi pusat adalah kementerian, lembaga nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. Pada pos-pos inilah anggota Polri dan prajurit TNI boleh ditempatkan," kata Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma) ini.
Namun, lanjut dia, penempatan pada instansi pusat itu pun tidak bisa dilakukan sesuka penguasa. Ada asas kepatutan yang penting diperhatikan. Ia mencontohkan, KPU dan Bawaslu itu lembaga nonstruktural di tingkat pusat. "Namun, apakah pantas jika anggota Polri atau prajurit TNI ditempatkan sebagai sekretaris jenderal di lembaga penyelenggara pemilu? Tentu ini kurang tepat," jelas Said.
Jadi, tambah dia, kalau pada instansi pusat saja ada rambu-rambu etika yang harus diperhatikan oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, apalagi jika mereka ditempatkan pada instansi daerah, yang jelas-jelas ditutup pintunya oleh UU ASN.
"Jadi kalau menduduki jabatan setingkat sekretaris daerah atau sekda saja tidak diperbolehkan oleh UU ASN, apalagi jika anggota Polri atau prajurit TNI ditunjuk sebagai penjabat gubernur. "Itu lebih tidak masuk akal lagi," urainya.
Oleh sebab itu, Said menentang keras penunjukan perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur. "Hormatilah amanat reformasi yang menghendaki penghapusan dwifungsi ABRI, termasuk dwifungsi Polri. Mari cintai institusi Polri dengan mengawalnya di jalan yang benar. Viva Polri yang profesional," kata Said Salahudin.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan pelantikan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Mochamad Iriawan sebagai Penjabat Gubernur Jawa Barat, tidak melanggar undang-undang.
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo menuturkan, pelantikan ini sudah sesuai dengan ketentuan UU. "Saya sesuai aturan dan UU karena nama yang saya usulkan saya kirim kepada Pak Presiden," katanya, di Bandung, Senin (18/6).
Iriawan sendiri menjabat sebagai Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan kini dilantik sebagai Pj Gubernur Jawa Barat, menggantikan Ahmad Heryawan yang masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat selesai pada 13 Juni 2018.
Ramai usulan hak angket
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai, dilantiknya mantan Kapolda Metro Jaya Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat, berpotensi menimbulkan kecurigaan dari berbagai kalangan.
"Pelantikan itu berpotensi menimbulkan kecurigaan karena dalam kontestasi pemilihan gubernur Jabar itu, terdapat salah satu calon yang berlatar belakang dari Kepolisian," kata Taufik dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, ketika isu Pj Gubernur dari Polri itu muncul akhir tahun lalu, dan akhirnya dibatalkan, semua pihak memuji hal itu karena saat itu sempat ramai dan ada yang menentang.
Taufik mengingatkan, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo harus menjelaskan secara utuh mengenai penunjukkan Pj Gubernur dari Polri ini. "Tapi sekarang Kemendagri tetap melantik Pj Gubernur dari kalangan Perwira Tinggi Polri, ini sangat berpotensi menimbulkan kecurigaan," ujarnya.
Menurut dia, sebaiknya Mendagri memilih Pj Gubernur dari lingkungan Kemendagri, hal itu pernah dilakukan salah satunya di DKI Jakarta ketika pilkada 2017, yang diisi Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono. Taufik menilai penunjukan Pj Gubernur dari Polri sebaiknya dievaluasi dan Kemendagri tidak membuat gaduh di tahun politik ini, karena penunjukan itu menimbulkan kecurigaan.
Faktanya, sejumlah fraksi di DPR sudah ramai mengajukan protes terkait pengangkatan Iriawan ini. Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat Ferdinad Hutahaean, bahkan mengaku pihaknya akan segera menyusun hak angket atas persoalan ini. Menurutnya, pengangkatan Iriawan adalah gejala kerusakan demokrasi yang sebenarnya. "Kemungkinan nanti Demokrat yang akan inisiasi hak angket itu," ujarnya.