Dua kandidati dipastikan bertarung pada Pilgub Jawa Timur (Jatim) 2018. Pasangan Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno akan berhadapan dengan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak.
Namun, jelang batas akhir pendaftaran calon, Rabu (10/1) kemarin, PKS, Gerindra dan PAN yang tadinya digadang-gadang akan memunculkan calon alternatif, justru berpaling. Jika PAN memutuskan untuk mendukung Khofifah, PKS dan Gerindra justru memilih Gus Ipul.
"Awalnya Gerindra, PKS, dan PAN mengupayakan kekuatan poros baru di Jawa Timur. Tapi, karena perkembangan dinamikanya tidak berhasil membentuk poros baru itu, bukan karena tidak ada kader,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono saat berbincang dengan Alinea, Kamis (11/1).
Ferry mengungkapkan, pemilihan Gus Ipul bukan tanpa alasan. Terlebih Gerindra sebelumnya telah menjalin kemesraan dengan PKB untuk Pilgub Jateng. “Gerindra mendukung Pak Saifullah-Puti karena dipengaruhi kesediaan PKB bergabung dengan koalisi kita di Jawa Tengah. Hingga kemudian kita memutuskan untuk berkoalisi juga di Jawa Timur," terangnya.
Ia membantah bahwa batalnya poros baru di Jatim karena adanya mahar politik. Terlebih sempat muncul tudingan dari La Nyalla Mataliti terkait permintaan sejumlah uang jika mantan Ketua PSSI itu ingin maju di Jatim melalui Gerindra.
"Kita sudah memberikan surat penugasan kepada Pak La Nyalla untuk mencari pasangannya, namun sampai pada tanggal 20 Desember 2017, Pak La Nyalla belum berhasil mendapatkan wakilnya, sehingga surat penugasan itu dikembalikan kepada Gerindra,” paparnya.
Sedangkan Gerindra, mulai kesulitan memunculkan poros baru ketika PAN cenderung merapat ke Khofifah. “Jadi kemudian keputusan dikembalikan ke Partai Gerindra. Kami pun juga mengalami kesulitan, oleh karena itu proses pembentukan poros baru juga menjadi terkendala," jelasnya.
(Khofifah-Emil daftar di KPUD Jatim. foto: Antara)
Sementara pengamat politik dari Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DSCC), Zaenal A Budiyono, menilai gagalnya poros baru di Pilgub Jatim menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia tidak memiliki basis ideologi yang jelas, solid, dan konsisten. Sebaliknya, mereka hanya mementingkan elektoral sesaat, atau kepentingan pragmatis.
"Agar tradisi oposisi berjalan sehat untuk mengawal konsolidasi demokrasi, perlu kiranya pelembagaan oposisi permanen melalui UU. Dengan demilikan publik akan benar-benar bisa mengenal pola perpolitikan di Indonesia,” terang Zaenal kepada Alinea.
Pengajar Universitas Al-Azhar itu menambahkan, Pilkada seharusnya dimaknai dengan adu program dan gagasan untuk membangun daerah. “Bukan soal koalisi untuk memenangkan pemilihan, seperti sistem sekarang," tukasnya.