Di balik kencangnya eksodus politisi PSI
Partai Solidaritas Indonesia kembali ditinggalkan oleh pentolan-pentolannya. Pertengahan Desember lalu, Direktur Advokasi dan Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Pusat PSI Rian Ernest resmi cabut dari PSI. Rian mengikuti jejak sejumlah politikus PSI lainnya yang telah lebih dahulu mengembalikan kartu keanggotaan.
Rian mengatakan keputusan untuk mundur dari PSI diambil karena ia merasa sudah saatnya menempa diri di wadah perjuangan yang baru. Ia tak membenarkan atau membantah spekulasi adanya masalah internal yang mengakibatkan banyak pesohor PSI hengkang.
"Kami punya independensi dalam berpikir, menentukan sikap, dan pilihan. Saya ragu setiap dari kami (politikus PSI) yang pamit punya alasan yang sama," ujar Rian saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (21/12).
Rian menepis anggapan yang menyebut ia mundur karena kecewa. Ia justru mengaku merasa berat hati saat memutuskan meninggalkan PSI. Terlebih, parpol yang kini dipimpin Giring Ganesha itu turut membesarkan namanya sebagai politikus.
"PSI punya kekhasan organisasi dan juga pilihan-pilihan politik. Semuanya punya keunggulan dan kelemahan. Tentu sedikit banyak itu memengaruhi pilihan saya," katanya.
Rian menegaskan keputusannya mundur tak terkait dengan pilihan politik PSI pada Pilpres 2024. Secara terbuka, Rian mengaku menyokong Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk maju di Pilpres 2024. Pilihan itu notabene sejalan dengan arah kebijakan partai.
"Ada juga nama cawapres yang saya idolakan dari kalangan dunia usaha yang akhir-akhir ini juga dekat dengan dunia politik," ucap Rian tanpa merinci.
Belakangan, Rian santer dikabarkan bakal dipinang Partai Perindo. Ditanya soal itu, Rian tak membenarkan atau membantah. "Saya masih berharap dapat merealisasikan nilai dan idealisme di partai politik," imbuh dia.
Eksodus politikus muda PSI terekam terjadi sejak awal 2022. Selain Rian, politikus PSI yang resmi mundur, antara lain Tsamara Amany, Azmi Abubakar, Sunny Tanuwidjaja, Surya Tjandra, dan Michael Victor Sianipar.
Tsamara pernah menjabat sebagai Ketua DPP PSI, sedangkan Azmi pernah berstatus sebagai Ketua DPW PSI Banten. Sunny ialah eks Sekretaris Dewan Pembina PSI, sedangkan Surya Tjandra merupakan kader PSI yang pernah menjadi Wamen Agraria dan Tata Ruang (ATR). Michael menjabat sebagai Ketua DPW PSI DKI Jakarta.
Berbeda dengan Rian, Surya mengaku mundur karena perbedaan pilihan politik terkait Pilpres 2024. Oktober lalu, Surya memutuskan hengkang dari PSI lantaran ingin menyokong eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai capres.
"PSI kan menolak Pak Anies, sementara saya mau mendukung Pak Anies. Jadi, enggak klop. Kebebasan setiap orang buat memilih pilihan politiknya. Kalau saya pribadi, saya merasa biar nyaman saja," kata Surya kepada Alinea.id, Rabu (21/12).
Ditanya mengenai isu konflik di internal PSI, Surya juga membantah rumor tersebut. Saat keluar dari partai, ia mengaku tak punya masalah dengan para petinggi PSI. Ia menegaskan keputusannya mundur hanya terkait perbedaan pilihan capres.
“Terserah mereka (PSI) mau pertimbangannya apa ke saya, tujuannya apa. Kalau saya sih, enggak dalam konteks itu. Tetapi, lebih menghormati pilihan saya dan saya menghormati pilihan PSI. Yang paling penting saya menghormati pilihan politik saya sendiri,” kata dia.
Surya dicopot dari posisi sebagai Wamen ATR, Juni lalu. Posisi Surya digantikan Sekjen PSI Raja Juli Antoni. Sempat beredar kabar Surya beralih mendukung Anies dan keluar dari PSI lantaran kecewa dicopot dari jabatannya. Namun, ia menepis tudingan itu.
“Itu mungkin bisa ditanya ke PSI dan masyarakat yang menilai apa yang terjadi dan kenapa seperti itu. Buat saya pribadi kayak tadi. Tidak ada masalah dengan PSI," kata dia.
Pergeseran nilai
Berbeda dengan Surya dan Rian, eks Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor mengaku hengkang lantaran sudah tak sejalan dengan PSI. Tanpa merinci, ia menyebut terjadi pergeseran nilai-nilai perjuangan di tubuh partai berlambang tangan mengenggam bunga mawar itu.
"Pada saat saya mencapai titik di mana saya merasa idealisme yang saya cita-citakan itu enggak bisa dilanjutkan di PSI, ya, saya memilih untuk keluar. Saya memutuskan untuk mencoba melanjutkan perjuangan saya di tempat lain," ucapnya kepada Alinea.id, Rabu (21/12).
Idealisme PSI, dirinci Michael, ialah meritokrasi, egaliter, demokrasi, dan transparansi. Sejak 2019, ia merasa nilai-nilai itu tak lagi dipegang teguh oleh para petinggi partai.
Michael enggan menyebut pergeseran tersebut terjadi karena pengaruh Ketua Umum PSI Giring Ganesha. Menurut dia, persoalan di internal PSI tak adil jika hanya dibebankan kepada satu atau dua orang.
“Saya yakin seharusnya pembenahan itu terjadi secara menyeluruh, holistik. Jadi, bukan hanya tanggung jawab satu-dua orang. Kalau permasalahan di internal... Pertanyaannya itu saja, menurut saya, yaitu apakah ada upaya membenahi atau enggak," tuturnya.
Hingga kini, Michael belum menemukan parpol baru untuk berlabuh. Namun, ia mengaku telah menjalin komunikasi dengan sejumlah parpol dan organisasi sipil. Ia berharap bisa kembali meneruskan karier politiknya awal tahun depan.
“Nilai-nilai yang kita perjuangkan tidak boleh berhenti, harus mencari kendaraan yang mampu mewujudkan itu," ujar pria berusia 31 tahun tersebut.
Ditanya soal eksodus kader PSI, juru bicara DPP PSI Sigit Widodo enggan buka-bukaan. Menurut dia, setiap kader yang hengkang punya alasan sendiri. Sigit pun menepis spekulasi adanya masalah di internal partai.
"Saya sudah lebih dari lima tahun bergabung di PSI dan empat tahun menjadi juru bicara DPP PSI. Saya sama sekali tidak melihat ada masalah internal yang bisa jadi alasan kader-kader mengundurkan diri," kata Sigit kepada Alinea.id, Kamis (22/12).
Perbedaan pendapat antara kader di internal partai, jelas Sigit, merupakan hal yang wajar. Namun, perbedaan persepsi itu terbuka disampaikan dan didiskusikan. Ia menyebut aktivitas para kader PSI tak terganggu selepas ditinggal sejumlah pentolan partai.
"Saya sendiri sudah sebulan lebih melakukan advokasi sebagai relawan di SDN Pondok Cina 1 Kota Depok dan juga melibatkan LBH PSI di dalamnya. Semua berjalan biasa saja," ujarnya.
Sigit juga membantah anggapan PSI telah kehilangan nilai yang diperjuangkan sejak awal partai berdiri. Sebaliknya, dia melihat saat ini PSI justru semakin konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Nilai utama yang dimaksud Sigit adalah antikorupsi dan antiintoleransi. Dia mengatakan, dua hal tersebut merupakan DNA PSI.
"Bisa dicek bagaimana kami selalu tegas menolak perilaku koruptif, menolak caleg eks napi korupsi, menolak mahar untuk pencalonan di pemilu maupun pilkada, dan tegas menolak bekerja sama dengan orang-orang yang memilikinya rekam jejak melakukan politisasi agama dan politik identitas," jelasnya.
Ganjal persiapan pemilu
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, berpendapat minggatnya para pentolan PSI terjadi karena partai tersebut kehilangan idealismenya. Menurut dia, PSI terlihat sudah tak lagi memperjuangkan nilai-nilai yang diperjuangkan ketika berdiri.
Pada awal pembentukan, Ujang memaparkan, PSI memperjuangkan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sampai membangun masyarakat yang berkeadilan serta kesejahteraan.
“Karena nilai-nilai itu hilang, ya, maka banyak tokoh di internal PSI yang mundur,” jelas Ujang saat dihubungi Alinea.id, Rabu (21/12).
Ujang menambahkan, hengkangnya para kader PSI tidak hanya terjadi di tingkat pusat saja. Menurutnya, kondisi yang sama juga berlaku di daerah.
“Ada adik-adik saya yang dulu satu kampus, itu jadi ketua-ketua (PSI) di kabupaten. Mereka mundur. Mereka memang mengatakan di partai sudah tidak ada roh perjuangannya lagi. Hanya soal politik pragmatis,” ucapnya.
Alasan lainnya para kader mengundurkan diri, jelas Ujang, bisa jadi karena sudah tidak nyaman. Ketidaknyaman tersebut dapat muncul karena perbedaan dukungan untuk Pilpres 2024. Faktor lainnya ialah sikap oposan yang berlebihan terhadap lawan politik.
“Yang dilakukan agenda-agenda politik saat ini adalah menyerang lawan politik. Itu kan tidak bagus, tidak pas. Mestinya dalam konteks membangun konstruksi berpartai itu kan mengkritisi yang salah, mengapresiasi yang kinerjanya bagus,” jelasnya.
Pada konteks tersebut, Ujang mencontohkan, PSI yang hampir selalu “menyerangr” Anies saat menjabat sebagai gubernur Jakarta sekalipun kebijakan Anies sedang tak perlu dipersoalkan. Namun, kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), PSI terlihat selalu manut. Padahal, ada kebijakan Jokowi yang dinilai keliru.
“Ini kan dilihat oleh internal PSI sendiri maupun publik tidak bagus. Tentu banyak faktor lain yang memengaruhi eksodusnya tokoh-tokoh atau kader PSI,” ujarnya.
Dengan keadaan yang seperti itu, Ujang berpendapat, peluang hengkangnya kader PSI masih terbuka di masa mendatang. Situasi yang dialami PSI, lanjutnya, bikin peluang partai menang di Pemilu 2024 mendatang menjadi berat.
Terlebih, kader yang hengkang merupakan tokoh-tokoh yang berpengaruh di PSI. Bukan tak mungkin PSI "ketinggalan gerbong" sebab saat ini sudah banyak partai yang mulai memanaskan mesin dengan melakukan konsolidasi internal.
“Di saat yang sama, di PSI malah terjadi perpecahan. Bagaimana ingin konsolidasi yang kuat untuk menang kalau partainya terbelah, kalau internal tidak solid?” ucapnya.