Dalam jumpa pers di Kantor DPP Partai Golkar di Kemanggisan, Jakarta Barat pada Kamis (11/7), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengungkapkan, menawarkan kadernya yang sudah berpengalaman, yakni Muhammad Jusuf Hamka alias Babah Alun, kepada Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, jika maju sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Airlangga, kemacetan yang merupakan salah satu persoalan di Jakarta, membutuhkan peningkatan infrastruktur jalan. Karenanya, Jusuf Hamka yang dikenal sebagai pengusaha jalan tol didorong untuk membenahi Jakarta.
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Citra Institute, Yusak Farchan menilai, ada anomali dalam pengusungan dua nama itu. Sebab, Kaesang menjadi calon gubernur, sedangkan Jusuf Hamka sebagai wakilnya.
Masalahnya, kata dia, dari hasil Pemilu 2024 jumlah kursi Partai Golkar lebih banyak ketimbang PSI di DPRD DKI Jakarta. Partai Golkar meraih 10 kursi, sementara PSI delapan kursi. Lalu, Babah Alun juga lebih senior daripada putra bungsu Presiden Joko Widodo atau Jokowi itu.
Selain itu, ada arus kuat di partai berlambang pohon beringin itu yang tetap ingin Ridwan Kamil bertarung di Pilgub Jawa Barat. Partai Golkar, dinilai Yusak, juga lebih “seksi” dibanding PSI.
“Kenapa harus Kaesang? Saya kira, ini memunculkan persepsi publik bahwa mencari muka di depan Jokowi,” kata dia kepada Alinea.id, Minggu (14/7).
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan Partai Golkar sebagai salah satu anggotanya, masih bimbang untuk menghadirkan lawan bagi Anies Baswedan di Jakarta.
Besar kemungkinan, KIM menyerah dan melakukan kompromi politik, yakni menyodorkan nama Kaesang sebagai pendamping Anies. Pasalnya, pemenangan di kota “seksi” yang jadi epsentrum politik seperti Jakarta adalah tujuan utama.
Dengan menjadikan Anies sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dan Kaesang sebagai calon wakilnya, tetap akan dihitung sebagai kemenangan KIM. Setidaknya, KIM di Jakarta sudah diwakili Kaesang.
“Minimal titip wakil lah untuk pemenangan Jakarta agar linear dengan program pemerintah pusat,” ucap dia.
Terpisah, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul menilai, kondisi ini menunjukkan Pilgub Jakarta masih sangat cair. Bisa saja banyak plot twist yang akan terjadi, baik itu kocok ulang pengusungan maupun putar balik halauan politik. Kondisi demikian, kata Adib, bakal terus begitu hingga pendafataran calon pada 27-29 Agustus nanti.
“Tarik-ulurnya masih ada ini, masih belum deal,” ujar Adib, Senin (15/7).
Menurut Adib, untuk Jakarta harus ada kekhususan politik. Artinya, figur yang dihadirkan punya ukuran akurat, baik itu popularitas, penerimaan publik, hingga elektabilitas. Sebab, Jakarta bisa memengaruhi peta politik daerah lainnya.
“Ini kan saling bermanuver, ujungnya mereka ingin bargaining position ini diterapkan,” tutur dia.