Komentar dan pernyataan "konyol" terlontar dari mulut para calon kepala daerah dalam sesi debat di berbagai daerah. Tak hanya salah memahami konsep, ada calon kepala daerah yang seolah tak punya program terencana jika terpilih. Ada juga kandidat yang berdebat demi formalitas semata.
Di debat Pilbup Nganjuk 2024, belum lama ini, misalnya, calon bupati Nganjuk Ita Triwibawati bikin ngakak dengan rencana inovatifnya. Saat menyampaikan visi-misi, Ita menyebut bakal berinovasi mengubah padi menjadi beras. Potongan video momen kocak itu viral di media sosial.
Ketua DPC Hanura Nganjuk, Aditya Haria Yuangga berdalih Ita hanya demam panggung. "Grogi saat penyampaian visi-misi. Spontan karena saat itu tidak ada script," kata Angga seperti dikutip dari Antara.
Blunder fatal juga ditunjukkan calon wakil bupati Tangerang Irvansyah Asmat dalam debat perdana Pilbub Tangerang yang digelar di Aston Hotel Serang, Banten, Sabtu (19/10) lalu. Didampingi Mad Romli, Irvansyah beradu gugasan dengan pasangan Moch Maesyal Rasyid-Intan Nurul Hikmah dan Zulkarnain-Lerru.
Saat ditanya cara meningkatkan indeks kemandirian fiskal (IKF) Kabupaten Tangerang oleh Maesyal, Irvansyah malah menjanjikan bakal meningkatkan inflasi. "Dengan meningkatkan inflasi, kita akan menggerakan ekonomi mikro di tingkat RT," kata Irvansyah.
Padahal, inflasi semestinya ditekan serendah-rendahnya. Inflasi yang tinggi akan mendongkrak harga-harga barang. Meskipun pemahaman Irvansyah keliru, Mad Romli tidak berupaya mengoreksi pernyataan tandemnya itu sepanjang debat.
Sedikit berbeda, warganet mengkritik garingnya debat Pilgub Jambi 2024 yang mempertemukan pasangan Al Haris-Abdullah Sani dan Romi Hariyanto-Sudirman,. Tak hanya tanpa kontroversi, debat juga miskin substansi. Para kandidat kerap hanya saling mengamini pernyataan lawan debat mereka.
Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy menilai ada sejumlah faktor yang membuat para calon kepala daerah bikin kesalahan kesalahan saat debat. Yang utama ialah kurangnya persiapan dan tidak melakukan riset mendalam tentang isu-isu yang relevan dengan tema debat.
"Atau terlalu defensif. Menanggapi kritik dengan emosi atau defensif justru dapat memperburuk citra calon di mata pemilih. Kesalahan fakta, menyampaikan informasi yang salah atau tidak akurat dapat merusak kredibilitas calon," kata Memed, sapaan akrab Chumaedy, kepada Alinea.id, Selasa (29/10).
Tak kompetennya para kandidat di panggung debat, menurut Memed, merupakan buah dari kelalaian parpol dalam menyeleksi calon pemimpin. Parpol kerap lebih mementingkan kemampuan logistik dan popularitas para kandidat ketimbang mengukur kompetensinya terlebih dahulu.
"Partai politik harus memiliki kriteria jelas dan standar yang tinggi untuk calon, termasuk pengalaman, rekam jejak, dan kemampuan kepemimpinan. Keseluruhannya ini adalah untuk meyakinkan publik bahwa kandidat yang diusung oleh partai politik tersebut memenuhi standar yang diinginkan publik di satu daerah tersebut," kata Memed.
Debat publik, kata Memed, seharusnya jadi perhatian serius bagi tim sukses dan para kandidat. Debat bisa mempengaruhi preferensi politik masyarakat setempat. Apalagi jika blunder yang dilakukan kepala daerah saat berdebat viral dan jadi buah bibir warga selama masa kampanye.
Memed menyarankan sejumlah strategi agar kandidat tak tampil buruk di panggung debat. Pertama, riset mendalam tentang isu lokal dan nasional serta yang bertalian dengan kebutuhan warga setempat. Kedua, melatih kepemimpinan, komunikasi dan manajemen konflik.
Selain itu, tim ahli harus rutin memberi asupan materi debat kepada para kandidat. Terakhir, para kandidat harus melatih kemampuan berkomunikasi yang efektif serta mendengarkan aspirasi publik dan menjadikannya sebagai rujukan ketika berdebat.
"Melibatkan masyarakat dalam program dan visi, serta mengakomodasi masukan dari mereka. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan calon kepala daerah yang dihasilkan oleh partai akan lebih berkualitas dalam debat dan terhindar dari blunder yang berdampak terdegradasi elektabilitasnya," tutur Memed.
Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Faiz Kasyfilham berpendapat blunder-blunder yang tersaji panggung debat berbagai daerah menjadi cerminan tak kompetennya para kandidat yang diloloskan parpol.
"Kesalahan artikulasi dan tawaran program bisa menjadi sinyal kesalahan dalam identifikasi masalah. Jika kualitas dasar kepemimpinan ini tidak dimiliki, maka blunder seperti ini menjadi tidak terelakkan," kata Faiz kepada Alinea.id.
Secara lebih luas, blunder-blunder para kandidat di panggung debat mengindikasikan problem serius dalam rekrutmen calon pemimpin. Di daerah, parpol cenderung memilih kader dan tokoh populer sebagai calon pemimpin.
Tak hanya itu, menurut Faiz, ada pula calon pemimpin yang merupakan titipan dari oligarki politik lokal. Di lain sisi, sosok-sosok kompeten dikesampingkan karena tak populer, bukan kader parpol, atau bukan mewakili oligarki.
"Pasca-Reformasi banyak muncul oligarki politik lokal yang menguasai sumber daya politik dan ekonomi di daerah. Aktor-aktor ini terus berupaya melanggengkan akses atas kuasa melalui pilkada meskipun aktor yang bermain di panggung politik formal berganti," kata Faiz.