Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menggugat keabsahan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden ke Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN). Gugatan yang teregister dengan nomor perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT itu dilayangkan PDI-P karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan menerima pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Pada 2023, KPU menerima pendaftaran Gibran usai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Putusan itu menganulir soal batas usia pencalonan peserta pilpres sehingga Gibran yang belum genap 40 tahun bisa ikut kontestasi. Sesuai aturan, KPU seharusnya berkonsultasi dulu dengan DPR dan merevisi PKPU terkait.
Pembacaan putusan atas gugatan itu semestinya digelar pada 10 Oktober 2024. Namun, PTUN menunda pembacaan putusan tersebut hingga 24 Oktober 2024. Staf humas PTUN beralasan ketua majelis hakim yang menangani perkara tersebut sedang sakit sehingga sidang harus ditunda usai pelantikan Prabowo-Gibran.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut penundaan pembacaan putusan oleh hakim PTUN beraroma politis. Ia pun meminta agar MPR menunda pelantikan Gibran sampai hakim PTUN mengeluarkan putusan terkait keabsahan pencalonan Gibran.
“Apalagi penundaan pembacaan putusan tersebut sudah ditetapkan menjadi tanggal 24 Oktober 2024, yaitu melewati tanggal pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029, yang sedang disengketakan,” katanya kepada Alinea.id, Senin (14/10).
Anthorny berpendapat semestinya putusan terkait pencalonan Gibran dikeluarkan para hakim PTUN sesegera mungkin. Dengan begitu, publik tak lagi mempertanyakan aspek legalitas capres dan cawapres terpilih yang dilantik nanti.
“Akibat penundaan pembacaan putusan tersebut, maka rakyat Indonesia masih terus meragukan keabsahan Gibran sebagai wakil presiden, meskipun dilantik,” ujarnya.
Pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan Gibran bisa dimakzulkan jika PTUN--lalu kemudian Mahkamah Agung--menganggap pencalonannya melanggar aturan kepemiluan yang berlaku.
"Putusan (PTUN) itu nanti keluar pada saat dirinya sudah dilantik. Nah, implikasinya kalau sudah dilantik nanti itu, bisa di-impeach, dimakzulkan sebagai wakil presiden,” jelas Yance kepada Alinea.id, Jumat (11/10).
Namun demikian, prosesnya bakal panjang. Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, wacana pemakzulan presiden atau wakil presiden harus disepakati DPR. Rekomendasi DPR kemudian harus diperiksa dan diputuskan oleh hakim-hakim MK.
Dalam hal ini, presiden dan wakil presiden dianggap melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Rekomendasi pemakzulan, menurut Yance, kemudian dikembalikan MK ke MPR. Keputusan MK final dan wajib dipatuhi MPR. “Lalu nanti MPR akan memilih wakil presiden baru,” imbuhnya.