close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo bersama Prabowo Subianto. Foto: Antara
icon caption
Presiden Joko Widodo bersama Prabowo Subianto. Foto: Antara
Politik
Jumat, 16 November 2018 21:05

Diksi politik Jokowi dan Prabowo tak memberi manfaat bagi publik

Diksi politik masing-masing capres sama sekali tak memberikan pencerahan politik kepada masyarakat.
swipe

Pernyataan politik yang dilontarkan dua Calon Presiden (Capres) pemilu 2019, Joko Widodo  dan Prabawo Subianto belakangan menjadi bahan perbincangan masyarakat. Masing-masing kandidat mulai melontarkan diksi-diksi yang bersifat satire ke kubu lawannya.

Dimulai dari Joko Widodo yang mengucapkan diksi "Politisi Genderuwo”. Kemudian Prabowo Subianto yang mengatakan tentang “Boyolali”. Diksi-diksi itu diproduksi guna mendeligitimasi satu pihak dari pihak lainnya dalam suasana kampanye politik saat ini. Hal itu pun akhirnya berdampak pada ketidakmunculan visi-misi dari masing-masing capres untuk menarik simpati publik.

Politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar, beranggapan bahwa hal tersebut sama sekali tak memberikan pencerahan politik kepada masyarakat. Menurut Agun, perkembangan pileg dan pilpres sampai detik ini hanya mempertunjukkan sesuatu kepada publik yang hanya terjebak pada diskursus yang tak memberikan manfaat.

“Hal tersebut tak membuat masyarakat menjadi lebih cerdas menentukan pilihan,” kata Agun dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (16/11).

Sebaliknya, Menurut Agun, pernyataan politik yang dikeluarkan kedua paslon itu baik politisi genderuwo maupun wajah Boyolali justru sama-sama dapat memecah belah masyarakat. Padahal, dalam ajang pemilu sebetulnya hal ini sebagai sebuah kontestasi demi mewujudkan persatuan Indonesia bagi seluruh rakyatnya. 

“Kalau sekarang ini, seperti Perang Badar antara paslon nomor satu dan dua,"sebutnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Pengamat Politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago. Menurutnya, calon peserta harus menjaga diksi bicaranya. Sebab, hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap masing-masing calon seperti yang dialami Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada DKI Jakarta.

"Apa yang telah disampaikan itu menjadi perbincangan. Kalau timsesnya bicara silahkanz tapi calon presidennya harus hati-hati karena kan demokrasi harus penuh kehati-hatian itu penting, hati-hati dalam menjaga perkataan. Kenapa? Karena kalau dia tak bisa menjaga perkataan, mulut dia itu bisa mengalahkan dirinya sendiri,"ujarnya.

Karenanya, Pangi berharap ke depan baik Prabowo maupun Jokowi bisa mengembangkan narasi-narasi atau diksi-diksi yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya, polemik mengenai kenaikan harga tempe. 

“Masing-masing  sama-sama ke pasar saja, lihat dengan uang Rp. 100 ribu  itu dapat apa saja, bener tidak harga-harga naik semua. Nanti di-counter oleh lawan, bahwa bawa duit Rp 100 ribu ke pasar dapet banyak tahunya. Kalau bisa begitu bagus," ujar Pangi.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan