Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) layak pecat Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, bila tidak mengantongi izin ihwal keterlibatannya dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat. Baginya, sidang KLB itu merupakan tragedi demokrasi yang fatal.
"Saya terusik, berpendapat tentang KLB Partai Demokrat di Deli Serdang, karena menciptakan kegaduhan nasional dan mengganggu tatanan demokrasi Indonesia. KLB itu menampilkan atraksi politik dan tragedi demokrasi yang fatal," ujar Din, kepada Alinea.id, Senin (8/3).
Guru Besar Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Jakarta ini menilai, Presiden Joko Widodo perlu memberikan pernyataan terkait izin keterlibatan Moeldoko dalam gerakan KLB Partai Demokrat. Hal itu, jelasnya, perlu diterangkan pada publik guna menangkal perserpsi buruk bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Jika Presiden Joko Widodo mengizinkan atau memberi restu maka dapat dianggap Presiden telah mengintervensi sebuah partai politik dan merusak tatanan demokrasi," tegas Din.
Namun, sambungnya, jika Presiden Joko Widodo tidak pernah memberikan izin, maka Moeldoko layak dipecat dari KSP karena dianggap telah merusak citra Presiden Jokowi. Di samping itu, Din merasa, jabatan pimpinan partai politik akan mengganggu pelaksanaan tugas Moeldoko sebagai KSP.
"Maka yang tepat dan terbaik bagi pemerintah adalah menolak keputusan KLB tersebut. Jika pemerintah mengesahkannya maka akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan demokrasi Indonesia, dan menciptakan kegaduhan nasional," tegas Din.
Terlepas dari itu, Din menilai pelaksanaan KLB telah membuktikan bahwa Moeldoko terlibat dalam upaya pendongkelan terhadap kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
"Bantahan (Moeldoko) itu telah berfungsi semacam self fulfilling prophecy atau hal yang diciptakan untuk menjadi kenyataan," papar Din.
"Sesuai informasi yang ada pelaksanaan KLB yang tidak berizin tersebut tidak sesuai dengan AD dan ART Partai Demokrat, dan bertentangan dengan paradigma etika politik berdasarkan Pancasila," pungkas Din.