Ditinggal Jokowi, kenapa PDI-P masih perkasa?
Satu per satu keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan PDI-Perjuangan (PDI-P). Awal November lalu, Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi dilaporkan telah mengembalikan kartu tanda anggota PDI-P. Wali Kota Solo itu berkonflik dengan PDI-P setelah maju menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Wali Kota Medan, Bobby Nasution juga dikabarkan bakal hengkang dari PDI-P. Beberapa hari lalu, menantu Jokowi itu resmi mendeklarasikan dukungan untuk pasangan Prabowo-Gibran. Sebelumnya, Bobby sempat menyatakan bakal berdiri di barisan pendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD, sebagaimana keputusan PDI-P.
Jokowi telah lebih dahulu pecah kongsi dengan PDI-P. Meski tak pernah menyatakan secara eksplisit, Jokowi dianggap jadi "dalang" terwujudnya pasangan Prabowo-Mahfud. Akhir Oktober lalu, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyebut Jokowi telah meninggalkan PDI-P.
"Kami begitu mencintai dan memberikan privilege yang begitu besar kepada Presiden Jokowi dan keluarga, namun kami ditinggalkan karena masih ada permintaan lain yang berpotensi melanggar pranata kebaikan dan konstitusi," ujar Hasto.
Meski tak bersama Jokowi lagi, saat ini elektabilitas PDI-P ternyata tak terpengaruh signifikan. Dalam survei yang dirilis Charta Politika, beberapa hari lalu, partai berlambang banteng moncong putih itu punya tingkat keterpilihan hingga 26,3%, dibuntuti Gerindra (17,8%) pada posisi kedua dan Golkar (8,1%) di peringkat tiga.
Peneliti Charta Politika Ardha Ranadireksa mengatakan elektabilitas PDI-P relatif stabil. Meskipun efek ekor jas dari Jokowi kepada PDI-P kuat pada Pemilu 2014 dan 2019, menurut Ardha, Jokowi bukan lagi faktor utama mayoritas publik memilih PDI-P.
"Infrastruktur partai yang sudah terbentuk dalam kurun waktu yang cukup lama, saya pikir, juga menjadi salah satu faktor kuatnya pemilih PDI-P saat ini,’’ ujar Ardha saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Jelang Pemilu 2014, elektabilitas PDI-P sempat diprediksi bakal melorot. Namun, PDI-P muncul jadi pemenang setelah mengusung Jokowi sebagai capres. Ketika itu, diasumsikan raihan suara PDI-P terdongkrak elektabilitas Jokowi yang tinggi.
‘’Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa PDIP sebagai partai yang memiliki popularitas tertinggi di antara partai-partai lainnya. Dengan asumsi itu, saya pikir sangat wajar jika kemudian partai ini masih mendapatkan pilihan tertinggi pada saat ini,’’ ujar Ardha.
Meski hubungan Jokowi dan PDI-P renggang, partai besutan Megawati Soekarnoputri itu belum menentukan sikap yang tegas terkait Jokowi. Tak seperti Gibran, Jokowi tak diminta mengembalikan KTA PDI-P. Hingga kini, belum ada pertemuan antara elite PDI-P dengan Jokowi.
‘’Selama dukungan Jokowi kepada Prabowo-Gibran belum diungkapkan secara eksplisit, saya pikir PDIP akan tetap melakukan kalkulasi lebih detil mengenai untung ruginya dari keberadaan atau hengkangnya Jokowi dari partai tersebut. Sangat mungkin publik saat ini masih mengasosiasikan Jokowi dengan PDI-P. Begitu pula sebaliknya,’’ jelas Ardha.
Peneliti lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, menilai elektabilitas PDI-P tetap tinggi lantaran PDI-P merupakan partai utama pendukung pemerintah. PDI-P, ia sebut, limpahan suara seiring tingginya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi.
"Bagaimana pun, PDI Perjuangan adalah partai utama yang mendukung pemerintah. Publik umumnya puas dengan kinerja pemerintah. Karena itu, wajar kalau partai utama pemerintah mendapatkan apresiasi yang tinggi," ucap Saidiman kepada Alinea.id, Rabu (8/11).
Ia sepakat PDI-P merupakan partai yang cukup solid baik di tingkat elite maupun di akar rumput. Performa mesin partai yang apik ini membuat dominasi PDI-P di papan survei sulit untuk digoyahkan oleh parpol-parpol lainnya.
"Ini membuat pergerakan mesin partai relatif sangat baik. Salah satu penentu suara partai adalah kerja struktur partai dan calon (anggota legislatif) di tingkat massa. Kalau gerakan mereka massif dan efektif, suara secara nasional juga bisa terdongkrak," kata Saidiman.
Lebih jauh, Saidiman memandang perseteruan PDI-P dan Jokowi belum berpengaruh terhadap elektabilitas PDI-P. Pasalnya, elite-elite PDI-P ini cenderung lunak menyikapi konflik dengan Jokowi. "Sejauh ini, belum terlihat ada pengaruhnya," imbuh Saidiman.
Migrasi pemilih
Pendapat berbeda diungkap peneliti Pusat Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Djati. Menurut Wasisto, elektabilitas PDI-P cenderung menguat karena adanya migrasi pemilih kritis yang kecewa dengan pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
"Saya pikir itu ada kaitannya dengan persepsi publik soal nominasi Gibran Rakabuming Raka yang kemudian memicu migrasi pemilih dan munculnya pemilih kritis yang berasal dari kelompok pemilih yang selama ini belum menentukan pilihan,"ucap Wasisto kepada Alinea.id, Rabu (8/11).
Gibran mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi merilis putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Oktober lalu. Putusan itu merevisi syarat usia bagi calon capres-cawapres yang tertuang dalam UU Pemilu.
Dalam putusannya, MK membolehkan calon yang belum berusia 40 tahun untuk berkompetisi menjadi capres dan cawapres. Syaratnya, sang calon harus pernah dipilih atau menjabat menjadi kepala daerah. Saat putusan itu diketok Ketua MK Anwar Usman, Gibran masih berusia 36 tahun. Anwar ialah paman Gibran.
Wasisto berkata bila pemilih kritis yang selama ini tidak terafiliasi secara politik kepada salah satu parpol tertentu mulai merapat ke parpol-parpol yang berhadapan dengan pemerintah Jokowi. Salah satunya ialah PDI-P. "Dengan nominasi GRR, mereka kemudian merasa terpanggil untuk memilih," kata Wasisto.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengklaim stabilnya elektabilitas PDI-P di survei Charta bukan karena elite-elite partai piawai mengelola konflik dengan Presiden Jokowi. Ia mengaku tak khawatir konflik PDI-P dengan keluarga Jokowi mempengaruhi elektabilitas. "Kami bekerja keras menjaga suara partai," kata Hasto.