close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas_) Partai Gerindra di Jakarta, September 2024. /Foto Instagram @jokowi
icon caption
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas_) Partai Gerindra di Jakarta, September 2024. /Foto Instagram @jokowi
Politik
Senin, 09 September 2024 15:02

Dosa-dosa pemberantasan korupsi era Jokowi

Bisakah Prabowo-Gibran diharapkan menghapus warisan buruk Jokowi di bidang pemberantasan korupsi?
swipe

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata kembali mengeluhkan gagalnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak lagi malu-malu, Alexander menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut bertanggung jawab dalam melemahkan upaya-upaya pemberantasan korupsi. 

"Kunci pemberantasan korupsi supaya berhasil itu di presiden. Harus ada political will. Omong kosong berharap terlalu tinggi ke KPK kalau tidak ada political will," kata Alex, sapaan akrab Alexander, dalam diskusi bertajuk "Evaluasi Kinerja KPK 2019-2024" di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (6/9)

Pada kesempatan itu, Alex memberikan nilai 6,5 dari 10 untuk kinerja KPK periode 2019-2024. Adapun untuk periode 2015-2019, Alex memberikan angka 8. Menurut Alex, kinerja KPK menurun karena KPK tak lagi independen setelah revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). 

"Terutama kalau dikaitkan dalam masalah independensi, dalam masalah merekrut pegawai. Dulu, sebelum ada perubahan UU KPK, kita bebas merekrut pegawai termasuk pejabat. Kalau sekarang, kan harus lewat mekanisme rekrutmen ASN," ujar Alex. 

Dalam rapat dengar pendapat di DPR, Senayan, Jakarta, Juli lalu, Alex juga blak-blakan mengakui KPK gagal menangani korupsi. Ia berkaca pada fluktuasi indeks persepsi korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International. 

“Saya masih ingat tahun 2015, pertama kali saya masuk ke KPK, indeks persepsi korupsi itu 34. Lalu sempat naik ke angka 40. Sekarang (tahun 2024) kembali di titik 34,” ucap dia.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengatakan stagnannya IPK mengindikasikan kegagalan pemberantasan korupsi era Jokowi. Ia sepakat revisi UU KPK turut berkontribusi melemahkan kinerja KPK dalam memberantas korupsi. 

"Kemudian penegakan hukum sangat buruk. Hukum menjadi alat politik. Korupsi (yang melibatkan aparat) penegak hukum juga tinggi, mulai dari kepolisian dan kejaksaan, bahkan KPK, MA dan peradilan di bawahnya," ucap Zaenur kepada Alinea.id, Sabtu (7/9).

Revisi UU KPK diketok pada September 2019. Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut-sebut turut membidani substansi revisi. Salah satu poin revisi yang diinginkan Jokowi ialah adanya wewenang KPK untuk menghentikan penyidikan perkara korupsi. 

"Tidak ada produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DPR yang mempercepat upaya pemberantasan korupsi. UU Perampasan Aset sampai sekarang tidak disahkan, sementara UU KPK justru direvisi," ucap Zaenur.

Selama sepuluh tahun memimpin, menurut Zaenur, agenda pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Mantan Wali Kota Surakarta itu, kata Zaenur, terkesan hanya sibuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemberantasan korupsi.

"Yang justru juga ternyata gagal diwujudkan karena faktor hukumnya tidak dibenahi terdahulu. Pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas, sangat bergantung pada ekstraksi sumber daya alam yang sarat korupsi di berbagai sektor. Korupsi menjadi penghambat dari pertumbuhan ekonomi dan investasi asing," ujar Zaenur.

Warisan buruk Jokowi pada bidang pemberantasan korupsi tidak boleh dibiarkan berlanjut pada era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran). Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan fokus memperbaiki dua komponen yang menjadi hitungan IPK, yaitu pada penegakan hukum dan korupsi politik. 

"Bagaimana caranya untuk yang korupsi politik? Solusinya, yang direformasi itu kepartaian dan reformasi kepemiluan. Kedua, untuk korupsi hukum, yaitu lewat reformasi di institusi aparat dan sistem hukum," ucap Zaenur.

Jika Prabowo-Gibran serius ingin mendongkrak IPK, maka marwah KPK sebagai lembaga independen perlu dikembalikan."Agar KPK secara efektif melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu dan tebang pilih," ucap Zaenur.

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul), Orin Gusta Andini pesimistis pemerintahan Prabowo-Gibran bakal berani mengeluarkan terobosan di bidang pemberantasan korupsi. 

"Apalagi wapresnya (Gibran, putra sulung Jokowi) sendiri penuh kontroversi dan tidak bisa dilepaskan dari jejak buruk Jokowi," ucap Orin kepada Alinea.id. 

Orin berbagi beragam solusi untuk mendongkrak IPK. Pertama, rekrutmen pegawai dan petinggi KPK harus dipastikan bebas dari intervensi kekuasaan. "Hal itu agar KPK tidak melayani kepentingan dan hasrat penguasa seperti saat ini," ucap Orin.

Ia juga menyarankan agar lembaga negara yang berkaitan dengan penegakan hukum bidang korupsi diaudit dan dievaluasi. Lembaga-lembaga itu lantas diisi dengan orang- orang yang tidak berafiliasi politik dan profesional.

Selain itu, KPK juga harus dikembalikan menjadi lembaga independen dan bukan lembaga di bawah rumpun eksekutif. "Lewat Revisi UU KPK juga bisa. Segera bahas dan sahkan RUU Perampasan Aset. Revisi UU Pemberantasan Korupsi karena sudah banyak perkembangan delik korupsi agar selaras dengan tujuan awal," tutur Orin.

 

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan