DPD 'hidup segan mati tak mau': Sudah saatnya bubar?
Wacana pembubaran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kembali bergulir. Tak seperti biasanya, wacana tersebut diembuskan oleh anggota DPD RI sendiri, yakni Jimly Asshiddiqie. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menyebut eksistensi DPD RI saat ini bak lembaga swadaya masyarakat (LSM).
"Dia (DPD) hanya memberi saran, pertimbangan, usulan, tapi enggak pernah didengar. Jadi, dia tidak memutuskan. Padahal, ini lembaga resmi," kata Jimly kepada wartawan di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, belum lama ini.
Pembubaran DPD, lanjut Jimly, bisa dilakukan via amendemen konstitusi. Nantinya, fungsi DPD sebagai wakil daerah bisa digantikan dengan membentuk fraksi utusan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perwakilan daerah tersebut bisa berperan dalam melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Ia juga mengusulkan adanya utusan golongan yang menjadi fraksi sendiri di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mewakili kelompok yang tidak direpresentasikan partai politik, semisal kelompok organisasi masyarakat (ormas).
"Tapi, khusus untuk fraksi utusan golongan hanya adhoc. Dia hanya ikut rapat kalau ada sidang MPR. Kalau perwakilan daerah itu harus dilembagakan di DPR supaya dia ikut mengambil keputusan. Itu kira-kira esensinya," kata Jimly.
Ketua Komite 1 DPD RI Fachrul Razi mengatakan usulan pembubaran DPD yang digulirkan Jimly merupakan gagasan yang berakar dari dua opsi penguatan DPD yang berkembang di kalangan senator. Pertama, peguatan kewenangan DPD supaya serupa dengan DPR. Kedua, peleburan unsur DPD ke DPR.
"Saya pikir lebih baik unsur DPD dilebur saja ke DPR, dengan kamar tersendiri yakni fraksi daerah. Jadi, DPR itu nanti terdiri dari dua kamar bikameral yang berasal dari partai politik dan berasal dari perseorangan," ucap Fachrul kepada Alinea.id, Senin (21/8).
Menurut Fachrul, wacana penguatan kewenangan DPD sudah bergulir di kalangan para senator sejak DPD terbentuk atau sekitar 25 tahun lalu. Wacana tersebut rutin diperjuangkan para Ketua DPD RI dan para senator, termasuk di antaranya lewat uji materi di MK. Namun, upaya-upaya tersebut tak berbuah manis.
"Tapi, gagal dan tidak berhasil untuk memperkuat DPD. Wacana yang bergulir sekarang itu (DPD) dianggap tidak efektif. Lebih efektif MPR ini jadi lembaga tertinggi negara, bukan lembaga politik. Sementara DPD ini menjadi unsur di DPR. Jadi, DPR itu berasal dari dua (sumber) nanti, yaitu dari partai politik dan perseorangan," ucap Fachrul.
Secara pribadi, Fachrul tak ingin DPD benar-benar bubar tanpa jejak. Ia lebih berharap DPD diformulasi menjadi salah satu fraksi di DPR. "Jadi, DPD tetap ada dan punya kewenangan yang sama dengan DPR baik itu legislasi, baik itu pengawasan dan budgetting," ucap Fachrul.
Pendapat berbeda diutarakan anggota DPD RI Elviana. Ia tak setuju DPD dibubarkan atau dilebur ke DPR. Menurut dia, DPD harus tetap jadi lembaga negara sendiri.
"DPD-RI adalah kebutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal yang perlu adalah penguatan fungsi DPD," ucap Elviana kepada Alinea.id, Rabu (23/8).
Tak dikehendaki?
Guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Ni'matul Huda menganggap wajar jika DPD tak bertaji. Menurut dia, lembaga yang lahir setelah amendemen UUD 1945 itu memang terasa seolah tak didukung untuk eksis.
"Ibarat janin yang tidak dikehendaki yang dipaksa lahir seadanya. Keanggotaannya tidak boleh lebih dari sepertiga anggota DPR, kedudukannya tidak kuat, kewenangannya juga sangat sumir," ucap Ni'matul kepada Alinea.id, Senin (21/8).
Pada Pasal 22 C UUD 1945 disebutkan bahwa anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Adapun pada Pada Pasal 22D UUD 1945, dirinci bahwa kewenangan DPD di bidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan pemerintah dalam penyusunan RUU tertentu.
Selain itu, DPD juga berwenang untuk memberi pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, memberi pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. DPD juga berwenang mengawasi pelaksanaan UU tertentu.
"Merujuk Pasal 22 C dan D UUD 1945, sangat bisa dipahami bila DPD itu merupakan bawahan dari DPR. Sehingga sulit mengimbangi DPR dalam urusan legislasi dan anggaran. Ibarat hidup segan mati tak mau," kata Ni'matul.
Kewenangan DPD, lanjut Ni'matul, sebelumnya diperkuat lewat putusan MK bernomor 92/PUU-X/2012. Disebutkan dalam putusan itu, DPD berkedudukan setara dengan DPR dan Presiden dalam proses pembentukan undang-undang tertentu.
"Akan tetapi, fakta di lapangan DPD sangat jarang dilibatkan dalam pembentukan UU yang terkait dengan kepentingan daerah. Jadi, DPD sejak kelahirannya memang sudah cacat sehingga banyak kekurangannya," ucap Ni'matul.
Kekuatan DPR dan DPD yang tidak seimbang, menurut Ni'matul, telah berdampak buruk terhadap kualitas pembentukan undang-undang. Ia menyebut banyak produk legislasi yang dilahirkan DPR yang hanya mengakomodasi kepentingan penguasa.
"Sehingga baru satu atau dua tahun sudah memunculkan masalah serius, misalnya, UU IKN, UU Cipta Kerja, UU KPK, dan lain-lain. Tetapi, nampaknya usulan untuk memperkuat kedudukan DPD tidak disukai oleh DPR sehingga usulan amendemen yang digaungkan DPD tidak pernah sukses diperjuangkan," ujar Ni'matul.
Ni'matul menilai bukan perkara gampang membubarkan lembaga negara yang diatur konstitusi. Apalagi, seiring wacana pembubaran DPD, Ketua DPD La Nyalla Mattalitti juga mengusulkan agar amendemen konstitusi digelar untuk mengembalikan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR.
"Usulan ini tentu tidak populer di mata publik. Masyarakat justru semakin kecewa terhadap DPD. Ternyata yang digagas oleh DPD itu setback dan tidak produktif. Jadi, seperti memutar arah jarum jam ke belakang. Kalau memang DPD sudah tidak diperlukan, ya, dibubarkan saja daripada membuang anggaran negara," ucap Ni'matul.
Wewenang yang bermakna
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai kunci penguatan DPD sangat bergantung pada ada atau tidaknya komitmen politik dari DPR RI. Menurut dia, peleburan DPD ke DPR pun tak akan berguna selama anggota DPR tak mau berbagi kekuasaan dengan para senator.
"Kuncinya itu political will dari DPR, yang kemudian akan terkait masalah aturan main. Sementara keberadaan bikameral dengan adanya DPD itu sudah diatur secara konstitusional. Jadi, kalau ada perubahan menjadi fraksi saya kira itu nanti perdebatannya di level konstitusi," ucap Firman kepada Alinea.id, Senin (21/8).
Firman tak yakin bila wacana pembubaran DPD atau peleburan DPD ke DPR merupakan aspirasi dari mayoritas anggota. Ia mengamati sebagian anggota DPD menginginkan diberi kewenangan yang setara dengan DPR, tanpa pembubaran DPD.
"Kalau diubah menjadi fraksi, nanti ada persoalan akan penyusunan fraksi. Di situ, bisa main lagi DPR untuk melemahkan fraksi utusan daerah. Sehingga ini kayak lingkaran setan. Masyarakat enggak merasakan keberadaan DPD, sementara DPD sendiri menjadi tidak terasakan karena tidak diberikan kewenangan," ucap Firman.
Firman berpandangan DPD sebaiknya dibiarkan tetap eksis. Namun, lembaga tersebut perlu diberi kewenangan yang bermakna sebagai utusan daerah dalam aspek legislasi, anggaran, dan pengawasan sehingga mengimbangi DPR.
"Semisal fungsi untuk memberi saran itu menjadi sesuatu yang betul-betul menjadi rujukan utama. Kalau tidak dilakukan, maka DPD bisa menganggap aturan perundang-undangan yang dibuat itu tidak sempurna secara prosedural dan bisa digugat ke MK," jelas Firman.
Lebih jauh, Firman menyarankan agar DPD dengan DPR "bertemu" untuk membahas pembagian kuasa di parlemen yang lebih adil. Biar bagaimanapun, menurut dia, DPD tetap dibutuhkan sebagai penyeimbang dan pengontrol DPR.
"Jadi, check and balances di internal legislatif agar aturan yang dikeluarkan oleh DPR itu memang make sense (masuk akal), baik secara logika hukum maupun peluang untuk diimplementasikan dan relevansi situasi yang ada. Itu sebetulnya makna dari check and balances internal legislatif," ucap Firman.