Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengecam keras penembakan yang dilakukan tentara Israel yang menewaskan jurnalis Al Jazeera, Shireen Abu Akleh saat meliput di Jenin, Tepi Barat. Ia menyerukan kepada seluruh pemerintah, parlemen, dan komunitas internasional untuk menuntut Israel agar bertanggung jawab atas pembunuhan Shireen Abu Akleh.
"Tuntutan kepada Israel ini untuk mengingatkan pada semua pihak bahwa jurnalis yang meliput situasi konflik harus dipastikan keamanan dan perlindungannya setiap saat," ujar Meutya dalam keterangannya, Kamis (12/5).
Sebagai mantan jurnalis yang pernah meliput di wilayah konflik bersenjata, Meutya merasakan kehilangan sosok wartawan yang amat dihormati karena telah meliput di tanah pendudukan Palestina sejak awal Intifada Palestina kedua pada tahun 2000.
"Saya mengutuk keras pembunuhan wartawan yang sedang bertugas di wilayah pendudukan Palestina. Ini adalah sebuah tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan tentara Israel dan tidak dapat dibenarkan oleh dalih apa pun karena Shihreen bertugas dengan mengenakan rompi bertuliskan pers," katanya.
Menurut Meutya, dalam ketentuan hukum humaniter internasional, jurnalis/wartawan yang berada di situasi konflik bersenjata harus mendapatkan perlindungan dari kedua belah pihak yang bertikai. Ia menilai, bahwa penembakan terhadap Wartawan Shireen Abu Akleh oleh pasukan Israel termasuk dalam pelanggaran berat menurut Konvensi Jenewa 1949.
Konvensi Jenewa tentang Hukum humaniter internasional mengatur tentang perlindungan terhadap wartawan baik sebagai warga sipil maupun sebagai wartawan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat A sub 4 Konvensi IV Jenewa 1949 dan Pasal 79 Protokol Tambahan I 1977 di mana wartawan merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi dalam sengketa bersenjata dan selayaknya diperlakukan sebagai warga sipil.
"Dengan aturan tersebut, saya berpandangan tindakan penembakan brutal terhadap Shireen Abu Akleh yang dilakukan oleh Pasukan Israel merupakan sebuah pelanggaran berat yang masuk ke dalam kategori kejahatan perang, karena telah melanggar ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Jenewa 1949," kata politikus Partai Golkar ini.
Ia juga menuntut pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan pidana pada para pelaku yang terlibat termasuk komandan yang bertanggung jawab dalam pembunuhan. Sudah saatnya para pelaku kejahatan perang ini diadili dan dimintai pertanggungjawaban pidana internasional.
Sebagai mitra Komisi I DPR RI, lanjutnya, Meutya akan meminta pada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk menggalang kerja sama internasional untuk penyelidikan segera dan menyeluruh dan bagi mereka yang bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban.
"Saya juga meminta Kemlu untuk menggalang solidaritas internasional untuk memastikan hukum dan norma internasional ditegakkan demi melindungi wartawan yang sedang bertugas dan pekerja media tidak lagi menjadi sasaran perang," ucap dia.
"Itulah yang saya rasakan saat menjadi jurnalis meliput di wilayah konflik bersenjata hingga pernah disandera di Iraq. Risiko cedera, cacat permanen, hingga kematian mesti saya tanggung ketika meliput di wilayah konflik bersenjata. Saya tahu betul akan hal ini dan dapat merasakan para jurnalis yang tewas, tertembak, terluka, ataupun disandera saat melakukan peliputan. Penegakan hukum dan perlindungan terhadap jurnalis yang sedang meliput membutuhkan komitmen semua pemangku kepentingan," sambung Meutya.