Rapat Paripurna DPR ke-23 mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan (RUU PPP). Pengesahan revisi RUU PPP merupakan tindaklanjut keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja).
Rapat Paripurna dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, dihadiri total 338 anggota dewan, dengan rincian 56 orang hadir secara fisik 220 orang hadir secara virtual. Sedangkan, sebanyak 62 orang tak hadir atau izin.
"Apakah RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang PPP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" kata Puan sembari mengetuk palu setelah mendengar jawaban setuju dari peserta rapat.
Ketua DPR Puan Maharani dalam keteranganya mengatakan, revisi UU PPP dilakukan karena pada UU 12/2011 yang merupakan pedoman penyusunan PPP belum mengatur mengenai metode omnibus law. MK kemudian mengamanatkan agar UU Cipta Kerja dilakukan perbaikan pembentukan dalam kurun waktu dua tahun sejak putusan yang diambil pada November 2021.
Dalam laporannya, Wakil Ketua Badan Legislasid (Baleg) DPR, M Nurdin mengyebut, RUU PPP disepakati dalam keputusan tingkat I pada 13 April 2022. Dari sembilan fraksi partai politik di DPR, delapan fraksi menyatakan sepakat agar RUU PPP dilanjutkan ke tingkat II atau Rapat Paripurna. Adapun Fraksi PKS menyatakan belum setuju untuk disahkan.
Menurutnya, dalam rapat, Baleg DPR, pemerintah dan DPD RI menyepakati 19 poin dalam revisi UU PPP. Secara garis besar sebagai berikut:
Pertama, perubahan Pasal 1 yang akan mengatur mengenai definisi metode omnibus. Kedua, perubahan penjelasan Pasal 5 huruf g yang mengatur mengenai penjelasan asas keterbukaan.
Ketiga, perubahan Pasal 9 mengatur penanganan pengujian peraturan perundang-undangan. Empat, penambahan bagian ketujuh dalam Bab 4 Undang-Undang PPP.
Penambahan Pasal 42a yang mengatur mengenai perencanaan pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Enam, perubahan Pasal 58 yang mengatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep atas rancangan peraturan daerah.
Tujuh, Pasal 64 yang mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus. Kemudian, perubahan Pasal 72 yang mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan rancangan undang-undang, setelah rancangan undang-undang disetujui bersama, tetapi belum disampaikan kepada presiden.
Delapan, perubahan Pasal 72 mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan rancangan undang-undang. Setelah rancangan undang-undang disetujui bersama, namun belum disampaikan kepada presiden.
Sembilan, Pasal 73 yang mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun telah disampaikan kepada presiden. Ke-10, perubahan Pasal 95a yang mengatur mengenai pemantauan dan peninjauan undang-undang, dan ke-11 adalah perubahan Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat.
Ke-12, penambahan Pasal 97a, Pasal 97b, Pasal 97c yang mengatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, pengharmonisasian rancangan perundang-undangan di lingkungan pemerintah serta evaluasi regulasi.
Kemudian, perubahan Pasal 99 yang mengatur mengenai keikutsertaan jabatan fungsional analis legislatif dan tenaga ahli dalam pembentukan undang-undang perda provinsi dan perda kabupaten/kota selain perancang peraturan perundang-undangan. Ke-14, perubahan lampiran 1 bab II huruf D mengenai naskah akademik.
Lalu, perubahan lampiran 2 angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6, angka 7, angka 9, angka 10, angka 19, angka 31, angka 33, angka 77, angka 98, angka 104, angka 111, angka 158, angka 176, angka 180, angka 188, angka 190, dan angka 238 mengenai teknis perancangan peraturan perundang-undangan.