Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna ke-19 masa persidangan IV, Selasa (12/4). Pengesahan regulasi ini disebut sebagai arah baru dalam upaya melindungi kaum perempuan Indonesia dan hadirnya keadilan negara dalam kasus kekerasan seksual.
Pengesahan RUU TPKS dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani setelah mendengar laporan pembahasan RUU TPKS oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya. Rapat dihadiri oleh 311 orang anggota DPR dengan rincian 51 hadir secara fisik dan 225 secara virtual. Adapun yang izin sebanyak 27 orang.
"Selanjutnya kami menanyakan kepada setiap fraksi apakah Rancangan Undang-Undang Tentang Tindak Pidana kekerasan Seksual dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?," tanya Puan di Senayan, Selasa.
Setelah menanyakan dua kali dan mendapat persetujuan dari anggota dewan yang hadir, Puan lantas mengetuk palu tanda disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang. Ketuk palu disambut tepuk tangan kelompok masyarakat sipil yang hadir.
Dalam laporannya, Wakil Ketua Baleg Willy Aditya menyebut, penuntasan pembahasan RUU TPKS merupakan komitmen politik DPR bersama pemerintah. Dalam perjalanannya, RUU TPKS dibahas secara intensif dan maraton, mulai dari 29 Maret hingga 6 April 2022.
"Komitmen politik yang besar dari DPR, pemerintah serta partisipasi publik yang besar sangat luas khususnya 120 kelompok masyarakat sipil yang kami terima dalam proses penyusunan RUU TPKS. Bahkan di detik-detik akhirpun kami masih menerima masukan dan audiensi dari berbagai kelompok masyarakat sipil," ujar Willy dalam laporannya.
Menurut politikus Partai Nasdem ini, ada beberapa hal progresif yang terdapat dalam RUU TPKS. Pertama, aturan baru ini berpihak dan berperspektif terhadap korban. Kedua, aparat penegak hukum memiliki payung hukum yang selama ini belum ada terhadap setiap jenis kekeerasan seksual. Ketiga, RUU TPKS sebagai bentuk kehadiran negara untuk memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadp korban kekerasan seksual yang selama ini disebut sebagai fenomena gunung es.
"Negara hadir dalam bentuk, ketika restitusi tidak hadir maka kemudian negara hadir dalam bentuk dana kompensansi. Serta RUU ini memuat victim trust fund atau dana bantuan korban," katanya.
Dia menambahkan, RUU TPKS merupakan sebuah langkah maju bagaimana negara hadir dalam memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia.
"Ini merupakan penantian korban, penantian perempuan Indonesia, kaum disabilitas dan anak-anak Indonesia dari predaktor seksual yang selama ini masih bergentayangan. Ini adalah sebuah undang-undang yang kata Ibu Puan sebagai kado Hari Ibu Kartini, walaupun sebelumnya kami ingin menjadikan ini sebagai kado valentine, tapi tidak jadi. Inilah sebuah pencapaian kami bersama," pungkas Willy Aditya.
Sekedar informasi, RUU TPKS pertama kali dibahas di DPR pada Mei 2016 lalu, atau saat Ketua DPR Puan Maharani menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Saat itu namanya adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Hampir genap berusia enam tahun, RUU yang diyakini bisa menjawab keresahan para perempuan terkait kekerasan seksual ini akhirnya memasuki babak akhir saat Puan menjabat Ketua DPR.
RUU TPKS telah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna yang diselenggarakan pada 18 Januari 2022. RUU yang sebelumnya dikenal sebagai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini telah masuk dalam 40 Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2022.