Anggota Komisi VII DPR Mulyanto menyebut rancangan Peraturan Menteri (permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap masih harus disempurnakan. Menurutnya, isi rancangan permen yang ada sekarang ini masih sumir dan berpotensi merugikan PLN. Salah satunya tentang ketentuan harga jual-beli (ekspor-impor) listrik dari pengguna tenaga surya ke PLN.
Dalam rancangan permen yang baru itu, Menteri ESDM mewajibkan PLN membeli listrik dari pengguna PLTS Atap setara dengan harga jual listrik PLN ke masyarakat. Besaran harga jual dan beli listrik itu setara 1:1.
Menurut Mulyanto, ketentuan ini bagus untuk mendorong produksi listrik EBT. Namun, apabila yang menikmati regulasi ini pelanggan di wilayah Jawa-Bali-Sumatera yang surplus listrik, apalagi di perumahan mewah di kota besar, maka selain PLN akan semakin buntung juga melukai rasa keadilan.
"Surplus listrik makin bertambah, mesin argo TOP (take or pay) makin tinggi, ditambah PLN harus bayar tambahan selisih ekspor-impor listrik PLTS sebesar 35 persen tarif. Karena sekarang ini tarif ekspor-impor=1:0.65. Sementara yang menikmati adalah rumah mewah orang kaya di kota," kata Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (18/8).
Mulyanto mengatakan, seharusnya dalam aturan tersebut ada batasan.Misalnya hanya berlaku di daerah minus listrik dan diproduksi oleh lembaga sosial seperti pesantren, lembaga pendidikan, rumah sakit dan sejenisnya.
"Bukan dari rumah mewah di kota yang surplus listrik lagi. Kalau aturannya seperti itu, maka ketentuan jual-beli listrik PLTS Atap ini akan lebih tepat sasaran," ujar dia.
Mulyanto menjelaskan, dalam Permen itu juga harus ditentukan batasan maksimum daya listrik yang dapat dibeli PLN. "Pemerintah harus melihat secara objektif kewajaran produksi listrik di setiap tempat. Besaran itu ditentukan oleh kewajaran kebutuhan dimana listrik itu diproduksi. Tentu besaran produksi listrik di perumahan berbeda dengan industri," ujar politikus PKS itu.
Hal ini, kata Mulyanto, perlu diatur agar tidak ada pengusaha yang membonceng Permen ini untuk kepentingan bisnisnya. "Sekarang mulai banyak ditemukan pengembang perumahan mewah menjadikan fasilitas PLTS Atap sebagai bahan jualannya. Para pengembang mengimingi-imingi calon pelangganya akan dapat subsidi listrik dari Pemerintah karena menggunakan PLTS Atap," beber Mulyanto.
Secara ekonomi, lanjut dia, kondisi ini tentu tidak adil, sebab pemerintah memberi subsidi kepada masyarakat yang mampu. Sementara di wilayah terpencil lainnya masih ada masyarakat yang belum dapat menikmati listrik.
Mulyanto menegaskan, pemerintah harus hati-hati membuat aturan pengganti Permen Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh konsumen. Jangan sampai aturan pengganti nanti jadi celah bagi pengusaha nakal untuk terjun ke sektor ketenagalistrikan melalui cara yang tidak tepat.
"Sebelum diberlakukan baiknya ESDM mengundang semua stakeholder. Terutama PLN. Karena dari semua pihak yang terkait PLN akan menjadi pihak yang akan dirugikan," tandas Mulyanto.