Anggota Komisi III DPR Supriansa menjelaskan alasan belum disahkannya Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dari 40 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2022.
Desakan sejumlah pihak agar DPR mengesahkan RUU TPKS, belum terjawab hingga DPR RI menutup masa persidangan II tahun sidang 2021-2022 pada hari ini, Kamis (16/12).
Menurut Supriansa, semua upaya telah dilakukan Badan Legislasi (Baleg) DPR agar RUU TPKS bisa disahkan. Namun, Baleg DPR memiliki bersikap hati-hati terhadap isi RUU untuk meminimalisir judicial review di Mahkamah Konstitusi.
"Tidak ada tanda-tanda bahwa ada upaya untuk tidak dilaksanakaan sebuah undang-undang yang sekarang ini, termasuk RUU TPKS. Karena memang melahirkan undang-undang ini, banyak tahapan yang harus dilalui. Maka memang kita harus berhati-hati supaya kita melahirkan undang-undang yang rapi nanti, tidak mudah melahirkan sebuah gugatan di Mahkamah Konstitusi," kata Supriansa di Senayan, Kamis (16/12).
Menurut politikus Partai Golkar ini, untuk mengisi kekosongan hukum terhadap persoalan kekerasan seksual, sudah terdapat regulasi yakni Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) pasal 289 dan pasal 296. Dia meyakini RUU TPKS segera dapat disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang sehingga menjadi pedoman penyelesaian berbagai persoalan kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat.
"Itu langsung kita bisa gunakan sambil menunggu nanti pembahasan lebih lanjut dengan yang ada di RUU TPKS. Kami menyambut baik bahwa tidak terlalu lama nanti, dengan hadirnya UU TPKS ini, maka ini bisa menjadi pedoman dalam rangka penyelesaian persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat," ujarnya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan sangat menyangkan tidak ditetapkannya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna hari ini. Padahal, ICJR dan sejumlah lembaga kemanusian seperti IJRS dan PUSKAPA menantikan UU TPKS sebagai payung hukum untuk menyetop siklus kekerasan seksual di Tanah Air.
"Kami menyerukan bahwa pembahasan RUU TPKS harus dimulai seketika ketika masa sidang selanjutnya dilakukan," ujar Maidina kepada Alinea.id, Kamis.
"Melihat kasus kekerasan seksual yang belakangan diberitakan, dengan berbagai permasalahannya, mulai dari sulitnya korban mendapat ruang aman, adanya ancaman kriminalisasi bagi korban, hingga korban dan keluarga korban sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, maka RUU TPKS semakin dibutuhkan," sambung dia.
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR Luluk Nur Hamidah meminta pimpinan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU Inisiatif DPR. Menurut dia, siklus kekerasan seksual tidak bisa dihentikan sampai menunggu anggota DPR dan keluarganya mengalaminya sendiri.
Diketahui, meski RUU TPKS sudah diambil keputusan setelah disetujui tujuh fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR, namun rapat paripurna DPR untuk menutupi masa persidangan II tahun sidang 2021-2022, tidak mengesahkan RUU TPKS. Rapat hanya mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang Undang (UU) Nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan.
"Tak perlu kita menjadi korban. Dan tak perlu menunggu anak kita dan orang-orang yang kita cintai menjadi korban. Enough is enough, ketua," kata Luluk saat menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna DPR di Senayan, Kamis (16/12).
Luluk meminta anggota DPR untuk menempatkan rasa kemanusiaan melihat masalah kekerasan seksual di Tanah Air dengan menyampingkan kepentingan politik di balik pengesahan RUU TPKS.
"Saya mohon, dengan kebijaksanaan dan juga rasa kemanusiaan yang kita tempatkan dan kita lebih tinggi dari sekedar kepentingan politik, apalagi kepentingan politik jangka pendek, maka RUU TPKS hendaknya bisa diputuskan bersama-sama menjadi RUU Inisiatif DPR. Hari ini juga!," ungkap politikus PKB ini.